OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 23 Juli 2017

Kisah Blusukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Kisah Blusukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Oleh: Erie Sudewo*

Umar bin Abdulazis (UBA) sosok langka. Bukannya merasa hebat, jabatan khalifah justru buat stress. Tiap sampai rumah, UBA langsung sujud di ruang khususnya. Sambil bercucur air mata, ucapnya: “Ya ummati. Ya ummati”.

Boro-boro nikmati, fasilitas khalifah tak terpikir. Kengerian pertanggungjawaban telak terpahat. Khalifah dan hamba menyatu dalam diri. Memimpin umat dengan kepala. Mengelola umat dengan hati. Khalifah bangunannya, hamba landasannya, & iman jiwanya.

Khalifah memang penting. Cuma baginya, dirinya tak penting. Kebijakan dan sikap, itu yang terpenting. Sebagai khalifah, kebijakannya harus maslahat. Sebagai hamba, sikapnya musti tawadhu. Kehambaan. Berapa banyak pejabat yang sadar dirinya tetaplah hamba Allah?

Sejak jadi khalifah, taqwanya makin kuat. Sebelumnya dia masih senang bermewah, makan enak, dan plesiran. Itupun masih dia lakukan saat jadi Gubernur Makkah, Madinah, dan Thief.

Sebagai khalifah, ketaqwaan UBA memang diuji. Suatu saat datanglah rombongan. Saat mulai dialog, berdirilah anak yang belum 20 tahun. “Yang lebih tua silakan bicara”, pintanya.

Apa jawaban pemuda itu? “Tuanku. Jika usia jadi ukuran. Tentu masih banyak orang yang lebih berhak duduk sebagai khalifah ketimbang tuanku”.

Kali ini UBA terkejut. Sambil minta maaf, dipersilakan pemuda itu memimpin.

Tak lama kemudian, datanglah seseorang membawa anggur. Lantas apa pula kata UBA: “Jual anggur ini ke pasar. Hasilnya berikan untuk makanan kuda itu”.

Tanggung jawab sebagai khalifah, menuntun UBA blusukan. Baginya blusukan musti diam-diam. Jelang tengah malam. Tak boleh ada yang tahu. Sekalipun pengawalnya. Menyamar. Itu caranya.

Setidaknya ada dua tujuan blusukan. Pertama,  tahu kondisi rakyat sesungguhnya. Kedua, blusukan itu jadi bahan kebijakan. Keadilan musti tegak, demi kehidupan rakyat. Itulah mengapa keadilan mendekati taqwa. Yang taqwa pasti egaliter, dekat rakyat, dan selalu ingat Allah SWT.

Bersyukurlah rakyat yang pemimpinnya blusukan. Cuma ada syarat. Tak terang-terangan. Apalagi diawasi pengawal dari kejauhan. Wajah yang blusukan tak boleh dikenali. Agar informasi murni. Tak ada takut. Tak ditutup-tutupi. Dan tak perlu jaga perasaan karena tak kenal yang blusukan.

Kebiasaan blusukan UBA mewarisi kebiasaan Umar bin Khatab ra, sang kakek. Khalifah yang langsung usung karung di pundak. Khalifah yang hidupnya amat sederhana. Bajunya dihiasi 14 tambalan.

Blusukan UBA juga cerdas. Di antaranya khafilah yang bermalam di tenda-tenda disambangi. Mereka inilah yang tahu kondisi sebenarnya masyarakat. Begitulah saat bincang di satu tenda khafilah. “Masyarakat baik-baik. Beda dengan sebelumnya. Kini mereka tak bicara buruk pada kerajaan”.

“Malah ada peternak yang gembira. Kambingnya tak lagi diterkam serigala. Bukankah janji Allah betul. Bahwa saat keadilan tegak, binatang pun tak lagi semena-mena. Peternak itu bilang. Ini pasti khalifahnya adil,” jelas yang lain di rombongan itu.

Segera UBA menghilang di kegelapan padang pasir. Sambil menangis UBA mohon ampun. Dia khawatir. Apa betul yang disangkakan orang. Jangan-jangan rakyat tetap hidup susah.

Maka UBA pun bertanya pada pembantunya. “Bagaimana kabar, umat?”

“Makin hari makin baik. Kecuali tiga pihak”, jawab pembantunya.

“Siapa?”

“Aku. Kuda tuanku. Dan keluarga tuanku”.

Mendengar itu meledaklah tangisnya. “Ampuni aku ya Rabb. Ampuni aku”, lirihnya. Begitu takutnya UBA akan pengadilan nanti. Keluarganya pun kini musti hidup sesederhana rakyatnya.

Pemimpin memang tak musti miskin. Tapi pemimpin tak boleh buat rakyat susah. Berjuang juga bukan harus berpayah-payah sengsara. Namun saat rakyat hidup miskin, pemimpin musti tampil jadi pembela.

Pengusaha tak perlu diurus. Karena juga seperti orang kaya, mereka bisa urus dirinya. Tapi saat orang kaya yang justru diurus negara, bisa-bisa mereka tekuk negara.

* Erie Suduweo, Pendiri Dompet Duafa.

Sumber: Republika