OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 13 Juli 2017

Pemerintah Terbitkan Perppu 2/2017 tentang Ormas, Ini Empat Catatan Kritis PKS

Pemerintah Terbitkan Perppu 2/2017 tentang Ormas, Ini Empat Catatan Kritis PKS


10Berita, Jakarta – Fraksi PKS menyampaikan keprihatinan atas terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang menganulir UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Jazuli Juwaini, selaku ketua fraksi menjelaskan banyak ‘pasal-pasal karet’ dan pengabaian proses peradilan dalam Perppu tersebut, yang dikhawatirkan sangat potensial merubah komitmen negara hukum (rechstaat) menjadi negara kekuasaan(machtstaat).

Untuk itu, lanjut Jazuli, Fraksi PKS memberikan empat catatan kritis atas terbitnya Perppu tersebut, yaitu sebagai berikut:

Pertama, Pemerintah mengeluarkan Perppu dengan alasan UU 17/2013 tidak lagi memadai sebagai sarana mencegah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Benarkah UU 17/2013 sudah tidak memadai? Padahal UU ini sendiri terhitung belum lama disahkan oleh DPR bersama Pemerintah, tentu dengan pembahasan yang matang mempertimbangkan kondisi kemasyarakatan yang berkembang–yang mana kondisinya tidak jauh berbeda dengan saat ini–termasuk utamanya penegasan dan penjagaan prinsip-prinsip demokrasi dan akuntabilitas publik dalam proses pembinaan dan pembubaran ormas. Sehingga wajar saja jika banyak pihak yang mempertanyakan dimana letak “kegentingan yang memaksa” keluarnya Perppu.

Kedua, Perppu menganulir proses pembatalan ormas melalui peradilan sebagaimana diatur dalam UU 17/2013 lalu diganti dengan secara sepihak pemerintah dapat membatalkan ormas. Apakah hal itu tidak malah mengesampingkan upaya untuk menghadirkan supremasi hukum, sebaliknya membuka peluang tindakan yang sewenang-wenang? Ingat komitmen kita adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan.

Ketiga, Perppu memangkas tahapan pemberian sanksi dalam UU 17/2013 khususnya proses dialogis dan persuasif sebelum pembubaran ormas. Apakah pemerintah berniat menafikan proses ini dalam bernegara sehingga menjadi kemuduran ( set back ) dalam berdemokrasi. Padahal demokrasi yang matang menonjolkan proses dialog untuk sebuah konsensus/permusyawaratan daripada tindakan represif.

Keempat, Perppu mengintrodusir pasal-pasal larangan bagi ormas yang bisa ditafsirkan luas (karet) seperti larangan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pasal ini membuka peluang kesewenang-wenangan apalagi Perppu menghapus proses peradilan bagi ormas yang dinilai melanggar larangan itu. Lebih lanjut, Perppu mengatur pidana kepada setiap orang (anggota ormas) yang melanggar ketentuan larangan bagi ormas. Bagaimana sebuah aturan tentang ormas sebagai sebuah organisasi menyasar orang per orang anggota ormas. Bisa dibayangkan berapa banyak potensi kriminalisasi dari Perppu ini nantinya?

Dari empat catatan tersebut, menurutnya wajar jika publik mempertanyakan adanya motif politik atas Perppu, adanya upaya untuk menyasar kelompok tertentu, mengekang kebebasan berserikat dan berpendapat, serta adanya kecenderungan terbukanya peluang untuk bertindak represif dan otoriter.

“Publik sanksi Perppu dapat menghadirkan proses pembinaan ormas yang akuntabel, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, dan mengedepankan proses dialogis dalam bernegara,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Jazuli mendesak Pemerintah menjawab pertanyaan publik tersebut saat pengajuan pengesahan Perppu menjadi undang-undang di hadapan DPR.

“Kita tunggu saja argumentasi Pemerintah, mudah-mudahan hasilnya yang terbaik bagi masa depan bangsa dan negara. Pemerintah dapat menjawab kekhawatiran publik sebagaimana saya sebutkan,” pungkas Jazuli.⁠⁠⁠⁠

Reporter: Ibas Fuadi
Editor: M. Rudy

Sumber: Kiblat.