OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 26 Juli 2017

Saudi dan Ikhwanul Muslimin: Dulu Berteman, Mengapa Dimusuhi?

Saudi dan Ikhwanul Muslimin: Dulu Berteman, Mengapa Dimusuhi?

Penggolongan Ikhwanul Muslimin, secara keseluruhan, sebagai sebuah "kelompok teror" adalah bermasalah

Reuters

Raja Saudi Abdullah bin Abdul Aziz Al Saud, (kanan) menerima Syeikh Yusuf al-Qaradhawi, di Riyadh pada tahun 2009

PADA awal bulan ini, Arab Saudi, serta Mesir, Uni Emirat Arab dan Bahrain, memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar, menuduhnya mendukung “ekstrimisme” dan merusak keseimbangan wilayah.

Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir mengatakan pada wartawan ketika mengunjungi Paris dua hari setelah itu, bahwa Qatar harus menghentikan dukungannya pada Ikhwanul Muslimin dan kelompok Palestina Hamas sebelum memperbaiki hubungan dengan negara Teluk Arab lainnya.

Tidak lama setelah itu, blok Saudi merilis sebuah daftar terduga “teroris” yang berhubungan dengan Qatar, termasuk ulama Mesir Yusuf al-Qaradhawi, anggota senior dari Ikhwanul Muslimin.

Tetapi Arab Saudi tidak selalu menganggap Ikhwanul Musliminsebagai ancaman kawasan. Faktanya, hubungan antara keduanya naik-turun dipengaruhi keharmonisan dan ketegangan sejak pertemuan bersejarah antara Raja Abdulaziz Al Saud dan pendiri gerakan itu, Hassan al-Banna di tahun 1936.

Jaringan politik bebas yang diciptakan pada 1928 oleh seorang guru sekolah di kota pelabuhan Ismailia, Mesir, Ikhwanul Muslimin awalnya bertujuan untuk mempromosikan reformasi sosial menggunakan Islam pada intinya.

Hingga tahun 1940-an, kelompok ini diperkirakan telah memiliki setengah juta anggota aktif di Mesir dan gagasannya telah mencapai Negara-negara Arab tetangga. Cabang lokal dibangun di seluruh negeri, masing-masing menjalankan sekolah, masjid dan klub olahraga.

Al-Banna melihat Ikhwan sebagai sebuah gerakan yang meliputi semua, dia menggambarkannya sebagai “Memiliki pesan Salafi, cara Sunni, kebenaran Sufi, sebuah organisasi politik, kelompok atletik, persatuan pendidikan-budaya, perusahaan ekonomi dan gagasan sosial”.

Baca: Ikhwanul Muslimin Tolak Tuduhan Arab Saudi


Gerakan itu dengan cepat menjadi sebuah kekuatan politik rakyat yang menantang trio kekuatan yang memerintah Mesir hingga Revolusi 1952: kerajaan, kolonialisme Inggris dan Partai al-Wafd.

Ketika itu, Ikhwan mengembangkan sayap bersenjata, dan dituduh bertanggungjawab terhadap pembunuhan sejumlah pejabat negara penting, termasuk Perdana Menteri Mahmour Nuqrashi pada 1948.

Tidak lama setelah itu, Hassan al-Banna ditembak oleh agen dinas rahasia Mesir.

Pada 1952, kelompok Ikhwan mendukung kudeta militer olehGerakan Opsir Merdeka pimpinan Gamal Abdel Nasser. Tapi hubungan dengan militer memburuk akibat kecurigaan Gamal Abdel Nasser bahwa Ikhwan berada di balik peristiwa percobaan pembunuhan dirinya. Maka ribuan anggota Ikhwanul Muslimin ditangkapi serta dihukum mati rezim Nasser.

Dampaknya, gerakan terpaksa bergerak di bawah tanah, dikejar-kejar dan disiksa. Beberapa anggota Ikhwan akhirnya mendorong penggunaan senjata untuk melawan sikap rezim.

Baca: Mesir dan Ikhwanul Muslimin Perbaiki Hubungan Disponsori Saudi


Selain itu, Gerakan Opsir Merdeka , yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, tidak setuju dengan pandangan Ikhwanul Muslimin yang ingin menerapkan hukum Islam dan dia lebih menyukai contoh sosialis sekular.

Setelah gagalnya upaya pembunuhan Nasser di Alexandria pada 1954, yang lagi-lagi dituduhkan kepada oleh Ikhwanul Muslimin, ribuan anggotanya dieksekusi, ditahan, disiksa dan diasingkan.

Nasser kemudian menjadi presiden pada 1956, dan dengan itu, mendorong gerakan itu menjadi gerakan underground yang melawan pemerintahan.

Namun, tindakan keras pemerintah memicu sebuah pergeseran penting di dalam ideologi Ikhwan, terbukti dalam tulisan-tulisan Sayyid Qutb, seorang ideolog Ikhwan.

Tulisan-tulisan Sayyid Qutb di penjara menganjurkan perjuangan bersenjata melawan Barat dan rezim korup Arab untuk menyebarkan nilai-nilai Islam.

Ribuan anggota gerakan itu –yang khawatir menjadi korban balas dendam– mencari suaka di Arab Saudi dan segera mengakar di masyarakat. Muncul menjadi negara modern yang baru, kerajaan menemukan bahwa tamu-tamunya merupakan para pendidik, birokrat dan insinyur berkualitas yang dibutuhkan kerajaan itu.

Raja Faisal bin Abdulaziz, yang memimpin dari 1964 hingga 1975, juga menemukan di dalam mereka suara yang dia butuhkan untuk mengimbangi penyebaran Pan-Arabisme dan komunisme di wilayah itu yang mengancam posisi Arab Saudi sebagai pusatnya.

Pendek kata, Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin menemukan Gamal Nasser sebagai musuh bersama.

Hal itu berlangsung hingga masa pemerintahan Anwar Sadar, penerus Nasser, di mana Ikhwanul Muslimin diperkenalkan kembali ke arena politik, meskipun bukan sebagai sebuah partai resmi.*

Invasi Soviet pada Afghanistan di tahun 1979 merupakan perkembangan lain yang memperkuat hubungan keduanya (Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin).

Bersama Amerika Serikat, Arab Saudi secara rahasia menyalurkan miliaran dolar pada kelompok mujahidin Afghanistan yang memerangi Uni Soviet. Melalui pengumpulan donasi dan upaya-upaya mobilisasi, Ikhwanul Muslimin dikatakan telah menjadi bagian integral dalam pendirian yang disebut sebagai “orang Arab Afghanistan“, yang nantinya ada kelompok al-Qaeda (al-Qaidah).

Tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Keharmonisan antara mereka terganggu dua perkembangan penting di wilayah itu:Ikhwanul Muslimin yang menyambut Revolusi Iran pada 1979 dan mengecam Arab Saudi yang mengundang tentara asing ke dalam Perang Teluk.

Mantan Presiden Iraq Saddam Hussein telah memerintahkan invasi dan penjajahan Kuwait pada 1990 dalam upaya untuk memperoleh cadangan minyak negara itu.

Waspada akan itu, Arab Saudi dan anggota Dewan Kerajasama Teluk (GCC) lainnya meminta AS dan negara Barat untuk menangkis ancaman Iraq dan ekspansi di wilayah itu –sebuah langkah yang oleh Ikhwanul Muslimin dan cabang lokalnya dikritik secara terang-terangan.

Baca:  Ikhwanul Muslimin: Mesir Telah Berubah Menjadi Negara Bandit

Sebuah gerakan Islam Saudi, dikenal sebagai Sahwa(Kebangkitan Islam) melancarkan kampanye domestiknya sendiri untuk memobilisasi masyarakat Saudi melawan keputusan kerajaan yang memperbolehkan tentara AS menggunakan wilayah Saudi dalam memerangi Saddam Hussein.

Kelompok itu juga menulis beberapa surat terbuka pada Raja Fahd yang menuntut reformasi politik radikal.

Gerakan itu dinilai menjadi tanda ‘sebuah penyimpangan’  yang jelas dari kerangka tradisional yang melaluinya pendirian agama berinteraksi dengan monarki, yang biasanya meninggalkan kebijakan dan politik luar negeri untuk dikelola secara eksklusif oleh keluarga penguasa sementara organisasi keagamaan mengendalikan budaya dan urusan keagamaan.

Pada 1995, kerajaan itu telah menutup gerakan Sahwa, tetapi secara penuh menyalahkan Ikhwanul Muslimin karena dinilai menjadi pembuat masalah yang bertanggungjawab atas perbedaan pendapat yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Baca:Mesir Hari Ini Lebih Buruk dari Husni Mubarak

Pasca serangan 11 September 2011 juga menandai pergeseran lain dalam dinamika antara kerajaan Saudi danIkhwanul Muslimin.

Menghadapi tekanan yang terus meningkat dari AS agar bekerjasama dalam melawan “terorisme”, kerajaan mulai bersikap keras pada organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan Ikhwan, membuka perang media melawan mereka – menandai perubahan besar dari sikap politik mereka yang pernah akrab di masa lalu.

Pangeran Nayef bin Abdul Aziz Al Saud, yang kemudian menjadi Menteri Dalam Degeri (Mendagri), secara terbuka bahkan pernah menuduh Ikhwanul Muslim menjadi “sumber semua kejahatan” dan akar dari permasalahan di Dunia Arab dan mungkin di dunia Islam.

Tak lama kemudian terjadilah Arab Spring (Musim Semu Arab) yang semakin mempersempit hubungan mereka. Di saat dunia menyaksikan keruntuhan empat kediktatoran Arab (di Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman), Sahwa Saudi melihat kesempatan baru guna mendorong pemerintah melakukan reformasi politik.

Sejumlah petisi ditandatangi dan disebarluaskan di sosial media pada 2011, seperti “Panggilan Reformasi”, ditandatangani oleh sejumlah anggota Sahwa termasuk Nasir al-Umar, dan ” Menuju sebuah negara hak dan institusi”  yang ditandatangani oleh Salman al-Awda. Al-Awda kemudian menulis surat terbuka lainnya untuk Raja Abdullah pada Maret 2013.

Meskipun tidak mencapai skala pemberontakan seperti yang terjadi negara lain selama Arab Spring terjadi di Arab Saudi, suasana Arab Spring tetap membangkitkan ketakutan pihak kerajaan.

Kemunculan politik Islam di Mesir secara khusus meresahkan rezim Saudi, terutama ketika mantan Presiden Mesir yang dikudeta, Dr Mohamad Mursi menyatakan kesiapannya untuk membangun sebuah “hubungan yang konstruktif” dengan Teheran – musuh bebuyutan Arab Saudi.

Baca: Bela Ikhwanul Muslimin Mesir, Erdogan Sebut IM Organisasi Ideologi

Itu semua membuat kerajaan, bersama Kuwait dan UEA, menjanjikan 12 miliar dolar pada Mesir di tahun 2013 – empat kali lipat dari paket bantuan yang diberikan AS dan Eropa pada Mesir – seminggu setelah penggulingan pemimpin terpilih pertama Mesir, Presiden Mursi.

Bahkan satu tahun kemudian, Arab Saudi menunjuk Ikhwanul Muslim sebagai “organisasi teroris” bersama tersangka lain yang jelas-jelas lebih teroris, seperti DAES dan kelompok garis keras besar lain yang bertempur di Suriah.

Almarhum Raja Abdullah bin Abdulaziz Al Saud mengumumkan hukuman penjara 20 tahun bagi siapapun yang didakwa anggota dari “kelompok teroris” dan ikut bertempur di luar negeri.

Tetapi penunjukan “kelompok teror” tidak menghalangi Arab Saudi dari menggeser posisinya. Pada 2015, kerajaan menjadi tuan rumah dari sejumlah pemimpin yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin: Rachid Ghannounci (pemimpin dari partai Islam Annahdah di Tuniasia), Abdul Majeed Zindadni (pemimpin partai al-Islah di Yaman), dan Khalid Misy’al (mantan pemimpin Hamas) dalam pertemuan yang dianggap memiliki kemungkinan kembalinya hubungan harmonis antara keduanya.

Sejak awal, hubungan antara Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin telah bergantung pada satu faktor: Arab Saudi.

Sejarah mendemonstrasikan bahwa Riyadh dapat menggeser posisinya tergantung tujuan politiknya.

Mengomentari hubungan diplomatik yang buruk antara Qatar dan blok Saudi, Sekretaris Negara AS Rex Tillerson mengatakan penggolongan Ikhwanul Muslimin, secara keseluruhan, sebagai sebuah “kelompok teror” adalah bermasalah.

“Terdapat elemen-elemen dari Ikhwanul Muslimin yang telah menjadi bagian dari pemerintahan,” katanya, menunjuk parlemen di Bahrain dan Turki sebagai contohnya.

“Elemen tersebut … telah melakukan hal itu tanpa menggunakan kekerasan dan terorisme,” katanya.

“Jadi dengan menunjuk Ikhwanul Muslimin  secara keseluruhan sebagai sebuah organisasi teroris … Saya pikir anda dapat mengapresiasi kerumitan yang memasuki hubungan kami dengan [pemerintah-pemerintah di wilayah],” ujarnya dikutip  Aljazeera.*

Rep: Nashirul Haq AR

Editor: Cholis Akbar


Sumber: Portal Islam