OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 06 Agustus 2017

Benarkah Nabi Tidak Marah Jika Agama Allah Dihina?

Benarkah Nabi Tidak Marah Jika Agama Allah Dihina?


Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)

Beberapa waktu lalu ada sebuah artikel menarik di sebuah situs Islam nasional, tajuknya adalah “Benarkah Nabi Marah Jika Agama Allah Dihina?”. Artikel ini ditulis sebagai tanggapan atas beredarnya Hadits Rasulullah yang menunjukkan bahwa beliau marah ketika agama Allah dilanggar. Berikut kutipan teksnya:

‎كان صلى الله عليه وسلم لا يغضب لنفسه فإذا ا تنتهكت حرمات الله لم يقم لغضبه شيء

Lalu diterjemahkan sebagai berikut:

"Nabi SAW tidak marah untuk kepentingan (pribadinya). Namun jika agama Allah dihina (ajaranNya dilanggar), maka tidak ada sesuatu apapun yang bisa tegak di hadapan kemarahan beliau."

Penulis tersebut menilai penerjemahan teks Hadits diatas “cukup keliru” dan “tendensius”, meski dia mengakui kesahihan Hadits diatas karena ada riwayat senada dari riwayat Imam Bukhari.

‎٦٢٨٨ - حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَأْثَمْ فَإِذَا كَانَ الْإِثْمُ كَانَ أَبْعَدَهُمَا مِنْهُ وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ

"Rasul memilih perkara yg ringan jika ada dua pilihan selama tidak mengandung dosa. Jika mengandung dosa, Rasul akan menjauhinya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan pribadi, tapi jika ajaran Allah dilanggar maka beliau menjadi marah karena Allah (lillah)."

Penulisnya menyalahkan jika makna “ajaran Allah dilanggar” sama dengan “ajaran Allah dihina”. Seakan jika orang melanggar aturan Allah maka Rasulullah marah, namun jika agama Allah ‘hanya’ dihina saja beliau tidak marah. Padahal, orang tua kita saja dihina saja kita marah besar dan berusaha membela mati-matian. Ini Tuhan dihina kita mau marah tidak boleh, dikata tidak ikut Haditsnya Kanjeng Nabi. Logika aneh bin ajaib.

Akal-akalan mudah saja. Salahkah menganggap penghinaan dan penistaan Tuhan dan agama dianggap sebagai melanggar aturan? Kita menghina presiden atau lambang negara saja dipastikan melanggar aturan negara tentang penistaan dan pasti dipenjara. Ini Allah dan agamanya dihina kita umat Islam tidak boleh marah dan dianggap bukan melanggar aturan agama? Keadilan berpikir dimana?

Selanjutnya, penulis artikel diatas sepertinya tidak memahami makna “Hurumat” dalam hadits diatas. Disangkanya “Untuhikat HurumatuLlah” maknanya hanya “dilanggarnya ajaran Allah”. Padahal, “Hurumat” dalam keterangan pensyarah Hadits artinya tidak hanya larangan namun juga meliputi berbagai kewajiban dan perkara yang wajib ditegakkan menurut agama (Muhammad Humaidi, Tafsir Gharib ma fi al-Shahihain, juz 1 hlm. 191), termasuk di dalamnya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar ketika terjadi perusakan ataupun penghinaan agama. Barangsiapa yang merusak atau melecehkan “HurumatuLlah”baik perintah maupun larangannya, maka Rasulullah akan marah terhadapnya. Itu makna Hadits tersebut. Lha sekarang Anda bersikeras Islam dihina tidak perlu dibela. Ghirah Islamiyyah Anda dimana?

Sekarang masuk ke ranah Fiqih. Penghinaan terhadap ajaran Islam merupakan tindakan extraordinary crime dalam Islam yang berkonsekuensi sangat serius dunia akhirat. Jika pelakunya adalah Muslim, maka hal itu mengantarkannya menjadi seorang murtad dimana amal perbuataannya sewaktu di dunia hangus semua tidak ada sisa, sekaligus wajib bagi pemerintahan untuk mendesak dan memeranginya hingga dia bertaubat. Jika pelakunya adalah non-Muslim, maka penistaan tersebut dapat menjadikannya seketika berstatus sebagai kafir harbi atau yang konfrontasi terang-terangan kepada umat Islam.

Maka sudah sewajarnya dan seharusnya umat Islam marah dan membela jika agamanya dihina dan dinodai baik oleh sesama Muslim sendiri maupun lainnya. Ini sebagai langkah menghentikan perbuatan mereka agar mereka berhenti, syukur jika mau bertaubat. Lha kok malah dilarang dengan alasan “Tuhan tidak perlu dibela”? Ngaji lagi yang serius.

Selanjutnya, kami ingin berdiskusi dengan beberapa alasan yang dikemukakan dalam masalah ini yang mewakili kelompok “kepala dingin”.

Pertama, kata penulis artikel diatas, “Rasulullah marah bukan karena Allah dihina. Tapi marah kalau kebenaran/ajaran Allah dinodai dengan cara melanggar atau mendustai ajaran Islam itu sendiri. Jadi marahnya Rasul itu semata karena Allah, bukan karena dendam pribadi apalagi karena urusan politik pilpres dan pilkada di TPS (tempat pemungutan suara).”

Sudahlah, tidak perlu kami jelaskan keanehan berpikirnya lagi karena sudah kami jelaskan diatas. Tambahan saja, Anda tidak bisa memukul rata ribuan umat Islam yang menyalurkan aspirasi dan pembelaan mereka kepada Islam lewat media manapun bahkan hingga harus turun ke jalan berkali-kali saking terlalu “dinginnya” kepala orang-orang yang dikritik dan diingatkan itu tidak ikhlas, hanya karena kepentingan politik, ataupun diperalat politik saking lugunya. Seakan Anda menganggap kelompok yang kontra atau tidak senang dengan yang mereka lakukan itu sudah yang paling ikhlas, paling adem, paling toleran, dan seterusnya. Itu namanya stigmatisasi tanpa dasar, dan itu bukan tipe orang yang “kepalanya dingin” karena menuduh orang serampangan tanpa mikir dulu.

Kedua, kata penulis itu “Kita marah, terus kita sok penting seakan-akan Allah juga ikutan marah. Emang siapa kita sih?! Terus kita marah-marah dengan kutip sana-pelintir sini, biar disangka Allah ikutan marah juga.” Terus Anda mengajak orang tidak marah, adem-adem saja melihat agama sendiri dihina. Kira-kira Allah lebih marah kepada siapa? Kepada orang yang membela agama yang memang diperintahkan Allah menjaganya, atau kepada orang yang berlagak elegan melihat agamanya digempur sana-sini?

Namun marah juga memang harus di-manage.Jangan sampai marah kita menjadikan kita tidak terkendali hingga kita juga jatuh dalam caci maki dan anarkisme, bahkan sampai melintir-melintir dalil. Melawan kejahatan tidak bisa dengan kejahatan pula, harus dilawan dengan kebaikan meskipun harus dilakukan secara keras. Jangan mau kita jadi seperti mereka yang sok kepala dingin itu, tapi di belakang paling hobi memperkosa dalil dan keterangan ulama.

Ketiga, kata penulis tadi “kasih sayang Allah itu melebihi murkaNya! Kalau kita terbalik: marahnya kita sampai ke ubun-ubun hingga lepas kontrol mengeluarkan kosa kata yang tidak pantas, dan marahnya terus berkepanjangan dari 2014 sampai 2019.” Jadi jutaan orang yang berkumpul membela agama, contoh saja soal penistaan agama Ahok dan keharaman memilih pemimpin non-Muslim, menurut Anda hanya karena mereka kalah pilpres tahun 2014 dan berkepanjangan hingga 2019?

Duh Gusti (pake “G” besar), umpama orang yang kontras dengan kepentingan mereka adalah kyai-kyai dan santri-santri pesantren apalagi pesantren salaf yang tiap harinya makan nasi dua ribu rupiah per makan dan tidak pernah sama sekali ikut makan uang partai, masihkah Anda berani menganggap mereka mempunyai kepentingan politik? Dimana logika “dingin” dan nurani “adem” Anda dan teman-teman pendukung Anda?

Kami tidak akan putus-putusnya mengingatkan sebagai sesama Muslim untuk selalu berjalan yang bener-bener saja sesuai aturan Allah. Pedoman kita adalah Al-Quran Sunnah dan kitab-kitab ulama sebagai penjelasnya yang otoritatif dan dapat dipercaya.

Anda mau menuduh tidak ikhlas, kepentingan politik, itu hak Anda sebagai bagian penyampaian aspirasi dan dialog, tapi mbokya mikir dulu sebelum menuduh. Kami hanya selalu berusaha menyesuaikan dengan pedoman tersebut dalam kehidupan kami. Semoga saja dihitung amal shalih dan meningkatkan keikhlasan kami kepada Allah Ta’ala. Amin. [syahid/]

Sumber:voa-islam.com