OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 15 Agustus 2017

FPRI Amerika Ungkap Penyebab Kedekatan Hubungan Turki – Rusia

FPRI Amerika Ungkap Penyebab Kedekatan Hubungan Turki – Rusia


Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertemu Presiden Rusia Vladmir Putin. (alresalah.ps)

10Berita – Washington. Lembaga studi kebijakan luar negeri asal Amerika (Foreign Policy Research Institute) dalam rilisnya menyebutkan sebab keseimbangan politik antara Turki dan Rusia. Hubungan Turki-Rusia itu disebut sebagai bentuk ketidakpercayaan pemerintah Erdogan pada Barat dan Amerika Serikat (AS).

Berbagai hal ditengarai menjadi penyebab kurang percayanya Turki pada Barat dan AS. Di antaranya dukungan kedua blok itu pada Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang digolongkan teroris oleh Turki, keberadaan Fethullah Gulen di AS, serta upaya Turki untuk menjaga eksistensi ekonominya dengan Rusia.

Ulasan Studi yang dilakukan peneliti Selim Koru itu juga menyebutkan sejarah kebijakan Turki atas Laut Hitam sejak penaklukan kota Istanbul oleh pasukan Ottoman. Sebagai penguasa mutlak atas Laut Hitam, menjadikan setiap negara yang hendak beraktivitas di sana harus membayar upeti kepada pemerintahan Ottoman.

Fakta tersebut berjalan selama beberapa abad hingga runtuhnya kekaisaran Ottoman. Pada saat yang sama, kekuatan negara-negara semakin besar, hingga puncaknya pada abad ke-18 Rusia di bawah kekuasaan Pyotr I menjelma sebagai tantangan utama bagi Ottoman Turki.

Perang antara Rusia dan Ottoman tampak mengungtungkan Rusia karena mendapatkan wilayah Krimea pada tahun 1783 silam. Inilah kekalahan pertama bagi pemerintahan Ottoman itu yang berakibat jatuhnya salah satu tanah wakaf umat Islam kepada kekuatan Nasrani.

Sejatinya, Rusia telah lama mengidamkann akses ke wilayah pelabuhan air hangat untuk dapat bersaing dengan negara-negara Eropa. Dengan begitu, Turki-lah yang menjadi sasaran empuk dari ambisi Imperium Rusia tersebut.

Di saat Istanbul merasa tidak mampu melakukan pekerjaan itu sendiri, maka datanglah dukungan dari para pesaing Rusia di Eropa. Buktinya terjadi saat tahun perang Krimea tahun 1853-1852. Saat itu, Ottoman Turki berkoalisi dengan Prancis dan Inggris sehingga Rusia dapat dikalahkan.

Ancaman yang  dilancarkan Rusia atas Ottoman terus berlanjut pada abad ke-20. Puncaknya terjadi pasca Perang Dunia I saat kontrol Turki atas beberapa Selat diperlemah dengan adanya perjanjian Laussane 1923. Perjanjian ini merupakan bentuk pelucutan pada kekuatan Turki yang berkedok perdamaian yang diawasi oleh Liga Bangsa-bangsa saat itu.

Perdamaian yang dijanjikan ternyata tidak berjalan lama. Hanya sebagai waktu jeda untuk mengembalikan kekuatan negara-negara besar untuk kembali berperang.

Pada tahun 1936, Turki yang telah berubah menjadi republik, menyeru negara-negara untuk menggelar konferensi di kota Montreux, Swiss, guna renegosiasi perjanjian Laussane. Hasilnya, Turki memberikan izin bagi negara-negara lain untuk melawati Laut Hitam. Sedangkan Turki sendiri diberi hak persenjataan dan pertahanan jika terjadi perang atau ada ancaman.

Di sisi lain, Rusia diperbolehkan untuk mencapai Laut Tengah, dengan syarat adanya persetujuan dari Turki. Secara tidak langsung, perjanjian ini memberikan penghalang antara agresi Rusia dan pertahanan Barat.

Pasca Perang Dunia II, Stalin berupaya melakukan negosiasi ulang atas perjanjian Montreux ini. Stalin memiliki ambisi untuk mengontrol provinsi-provinsi di timur laut Turki. Menghadapi fakta tersebut, pemerintah Turki saat itu lalu mendekat pada sekutu Baratnya untuk mendapat bantuan. Maka jadilah Turki sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pada tahun 1952.

Pada masa Perang Dingin, Turki merupakan satu-satunya negara di kawasan Laut Hitam yang tidak tergabung dalam Uni Soviet. Namun, dinamika saat itu tidak memungkinkan bagi Turki untuk mengembangkan kebijakan nyata bagi rivalnya di utara itu. Elit Turki saat itu hanya fokus untuk Eropanisasi negara, dan memberikan permasalahan Laut Hitam pada Washington.

Ulasan studi sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan Turki di Laut Tengah merupakan hasil dari status quo akibat kepatuhan terhadap konvensi Montreux yang telah berusia 80 tahun itu. Peran ini memaksa Turki untuk mencapai keseimbangan. Para Diplomat Turki sangat tahu jika keseimbangan ini hilang, akan menimbulkan dampak serius bagi negara.

Sejak abad ke-18, Turki memiliki keseimbangan kekuatan dengan Rusia atas dukungan militer Barat yang akktif. Tapi, saat ini negara beserta pemimpinnya malah melihat Barat sebagai ancaman juga bagi Turki. Jika hal ini berlanjut, maka hanya ada dua pilihan bagi Turki. Mencari langkah penyeimbangan lain dengan Rusia, atau menjadi sekutu bagi Kremlin.

Jika NATO tidak menghendaki kemitraan antara Turki dan Kremlin terjadi, maka mereka dipaksa untuk meninjau ulang prioritas untuk mencerminkan kenyataan ini. (whc/)

Sumber: Turkpress.co, dakwatuna