Kejernihan Hati Menjadi Lentera
10Berita, JAKARTA -- Kisah keteladanan banyak dicontohkan oleh tokoh sufi berikut ini. Ia adalah Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-Hafi. Tokoh yang lahir di Kota Merv pada 767 M/150 H ini dikenal banyak memiliki karamah. Masa kelamnya sebagai seorang berandal dijadikan sebagai stimulan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui berbagai olah spiritual inilah, ia kepada para sahabat karibnya menceritakan banyak kejadian-kejadian yang mengisyaratkan kebersihan hatinya.
Suatu ketika, Bisyr pernah berkunjung ke saudara perempuannya. Tetapi, kali ini kedatangannya tidak menampakkan keceriaan. Ia limbung seperti halnya orang yang tengah kebingungan. Belum lagi duduk atau berkata sepatah kata pun untuk basa-basi, Bisyir malah melenggang meninggalkan ruang tamu, “Saya akan naik ke atas,” begitu kata Bisyr tanpa basa-basi, membuat saudara perempuannya heran.
Keheranan saudara perempuan Bisyr kian bertambah. Pasalnya, setelah melewati beberapa anak tangga menuju ke loteng, Bisyr berhenti. Ia terdiam di sana sampai saat Subuh tiba.
“Mengapa sepanjang malam tadi engkau hanya berdiri di tangga itu?” tanya saudara perempuan Bisyr sesaat setelah Bisyr selesai melaksanakan shalat Subuh.
“Ketika saya baru naik, tiba-tiba muncul pemikiran dalam otakku. Di Baghdad ini banyak orang yang memiliki nama Bisyr, ada yang Yahudi, Kristen, Majusi. Aku sendiri seorang Muslim yang bernama Bisyr. Saat ini aku mendapat kebahagiaan yang besar.
Aku bertanya dalam diriku: Apakah yang telah aku lakukan ini sehingga mendapat kebahagiaan sedemikian besar, dan apa pula yang selama ini mereka kerjakan sehingga tidak mendapat kebahagiaan seperti yang kudapat? Itulah yang membuatku berdiri di tangga itu sepanjang malam tadi,” kata Bisyr kepada suadara perempuannya.
Peristiwa lainnya juga menunjukkan derajat kewaliannya. Suatu ketika cuaca sangat dingin, orang-orang yang tidak kuat dengan cuaca itu merangkap bajunya beberapa lembar, tapi Bisyr malah melepas bajunya yang dipakai sehingga menggigil kedinginan.
“Mengapa engkau melepas bajumu wahai Abu Nashr, bukankah engkau menggigil kedinginan. Lihatlah orang-orang itu, mereka mengenakan baju berlapis-lapis,” kata salah seorang sahabat yang merasa aneh dengan tingkah Bisyr.
“Aku teringat pada orang-orang miskin, betapa menderitanya mereka saat ini, sementara aku tidak punya uang untuk membantu mereka. Karena itu, aku turut merasakan penderitaan seperti yang mereka rasakan saat ini,” kata Bisyr. Sahabatnya tidak bisa berkata-kata.
Pada waktu yang lain, Bisyr berjanji hendak mengunjungi Ma'ruf, salah satu sahabatnya. Mendapati janji tersebut Ma'ruf dibuat girang. Dengan sabar Ma'ruf menunggu kedatangan Bisyr hingga waktu Zhuhur tiba, Bisyr belum juga tiba hingga usai shalat Ashar.
Bahkan, setelah menunaikan salat Isya pun, Bisyr belum juga tiba. Ma'ruf tetap bersabar menunggu kedatangan Bisyr, Ia yakin Bisyr tidak mungkin mengkhianati janjinya. Harapan dan kesabaran Ma'ruf tidak sia-sia. Ketika malam semakin larut, ia melihat Bisyr dari kejauhan, tangannya mengapit sebuah sajadah.
Saat sampai di Sungai Tigris, Bisyr menyeberang sungai itu dengan cara berjalan di atas air. Hal sama dilakukannya ketika hendak pulang saat waktu Subuh tiba setelah mereka berbincang sepanjang malam. Seorang sahabat, Ma'ruf, yang menyaksikan kejadian itu mencoba mengejar Bisyr, kepadanya ia minta didoakan. Setelah mendoakan sahabatnya Ma'ruf sesuai yang dimintanya, Bisyr berpesan agar apa yang dilihatnya itu tidak diceritakan kepada siapa pun. Dan orang itu tetap menjaga rahasia tersebut sepanjang masa hidup Bisyr.
Sumber: Republika