Mengungkap Sejarah Penghapusan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam dalam Film ‘Toedjoeh Kata’
Pemeran Ki Bagus Hadikusumo dalam Film “Toedjoeh Kata”
10Berita~JAKARTA Seperti namanya, Film dokumenter “Toedjoeh Kata” karya Bayu Seto menerangkan tentang sejarah pendirian bangsa Indonesia yang saat ini tidak banyak orang tahu. Yakni, tentang bagaimana tujuh kata “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” dalam Pancasila dihapuskan.
Film yang dibuat oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menggambarkan sosok sentral pendiri bangsa Ki Bagus Hadikusumo yang tegas ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Film yang berdurasi 20 menit itu juga jelas menggambarkan bagaimana kokohnya seorang Ki Bagus dalam mempertahankan pendapatnya, meskipun pada akhirnya dia harus terpaksa menerima ajakan Hatta untuk mengalah demi persatuan bangsa.
Semua itu berawal dari musyawarah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang menyepakati “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, adalah sebagai dasar negara. Kesepakatan yang ditujukan kepada umat Islam Indonesia ini dikenal dengan istilah “Tujuh Kata”.
Ki Bagus menilai bahwa syariat Islam sangatlah cocok untuk diterapkan demi keberlangsungan negara Indonesia. Kesempurnaan ajaran Islam yang mengatur segala aspek kehidupan dinilai Ki Bagus bisa menyejahterakan bangsa.
Ki Bagus menyampaikan hal ini dalam musyawarah bersama para tokoh pendiri bangsa meski pendapatnya itu berseberangan dengan Mohammad Hatta, Soekarno dan Muh Yamin yang notabenenya tak menginginkan politik dicampurkan dengan agama.
“Tuan Hatta dan Tuan Yamin menginginkan agama tidak usah dibawa ke urusan negara, karena keduanya berbeda. Tuan Soekarno menganggap agama itu suci, politik itu kotor, maka agama tidak usah dibawa dalam politik. Lalu apakah kita ingin menjadikan sesuatu yang kotor menajadi pijakan?” begitu kira-kira yang dikatakan Ki Bagus untuk membantah kalangan sekuler dalam Musyawarah BPUPKI.
Namun tujuh kata itu akhirnya disepakati. Setelah disepakatinya syariat Islam untuk pemeluk Islam sendiri sebagai dasar negara yang tercantum dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, kemudian pada pagi 18 Agustus 1945, Ki Bagus kedatangan seorang tamu, di antaranya adalah Hatta dan Kasman Singodimejo.
Maksud kedatangan Hatta adalah untuk membujuk Ki Bagus agar bersedia untuk sepakat menghapus “Tujuh Kata” dalam Undang-Undang Dasar (UUD), dengan alasan bahwa para pemuka agama Kristen dan Katolik di Indonesia Timur pada sore 17 Agustus 1945 melalui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang), menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap Tujuh Kata itu. Meskipun sampai saat ini tidak diketahui siapa opsir Kaigun yang dimaksud Hatta. Sejarawan Ridwan Saidi sendiri menyebut Hatta berdusta.
Awalnya Ki Bagus tetap kokoh dalam pendiriannya. Namun karena dijanjikan bahwa UUD yang tanpa Tujuh Kata itu adalah bersifat sementara, dan demi terhindarnya bangsa dari perpecahan, setujulah Ki Bagus atas usulan Hatta. Apalagi Soekarno juga berjanji akan mengembalikan Tujuh Kata itu setelah 6 bulan kemerdekaan.
Begitulah kira-kira apa yang digambarkan oleh film karya Bayu Seto beserta rekan-rekannya di Muhammadiyah Multimedia Kine Klub (MMKK). Film yang mengungkap sejarah bagaimana Piagam Jakarta berubah itu juga dilengkapi dengan pemaparan sejarah dari Sejarawan Universitas Indonesia, Dr Tiar Anwar Bachtiar.
Film ini termasuk film sejarah pertama yang menggambarkan peristiwa sejarah yang tidak banyak orang Indonesia tahu. Hal itu karena tidak tertulisnya dalam buku sejarah yang dikeluarkan pemerintah, sehingga membuat seorang Bayu dan rekannya terketuk hatinya untuk memunculkan fakta sejarah yang selama ini ditutup-tutupi melalui karya sinematograpi.
Film ini diputar dalam acara Nonton Bareng, Kamis (17/8/2017), di Aula Lantai 4, Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq (MABAS), Jl Otista Raya, Jakarta Timur, yang digelar oleh Komunitas Jejak Islam Bangsa (JIB) bekerjasama dengan MM Kine Klub dan Salam-Online.com.
Hadirin yang umumnya anak-anak muda begitu antusiasnya menyaksikan film dokumenter ‘Toedjoeh Kata’, sehingga aula lantai 4 Masjid Abu Bakar ash-Shiddiq, Jakarta Timur, itu tak mampu menampung semua jamaah. (Foto: Zul)
Membludaknya umat Islam untuk menyaksikan film yang mengungkap sejarah yang boleh dibilang selama ini tertutup atau tak banyak yang tahu, menunjukkan pentingnya hal-hal yang menyelimuti persekongkolan terhadap jejak perjalanan bangsa tersebut diketahui.
“Jasmerah”, Soekarno sendiri yang menyatakan itu, “Jangan sekali-kali Melupakan Sejarah.” (Nizar Malisy/Salam-Online)
Sumber: Salam Online.