Perlindungan Diplomat dan Konferensi Wina
10Berita, JAKARTA -- Keberadaan diplomat-diplomat Eropa di Istanbul mendapat perlindungan dari Pemerintah Ottoman. Namun, dengan catatan, jika mereka berbuat kriminal, konsekuensinya adalah diadili sesuai dengan hukum yang berlaku di Ottoman.
Pada abad ke-17, muncul pemikiran di kalangan diplomat Eropa bahwa pentingnya perlindungan bagi mereka dari tuntutan hukum lokal yang berlaku di negara tempat mereka bertugas. Menurut mereka, hal itu diperlukan untuk menjamin hak-hak diplomat sebagai pejabat asing. Pemikiran tersebut menjadi cikal bakal lahirnya konsep kekebalan diplomatik modern.
Parlemen Inggris pertama kali menjamin kekebalan diplomatik terhadap para duta besar asing pada 1709, setelah duta besar Rusia di London, Andrey Matveyev, mengalami pelecehan verbal dan fisik oleh petugas di pengadilan Inggris.
Pada abad ke-19, Kongres Wina menegaskan kembali hak-hak diplomat. Sebagian besar hasil kongres tersebut kemudian menjadi acuan dalam merumuskan aturan internasional mengenai kedudukan diplomat pada masa berikutnya.
Kekebalan kemudian diplomatik dikodifikasi secara otoritatif oleh Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961) dan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler (1963) yang diratifikasi oleh lebih dari 100 negara.
Kedua konvensi tersebut memberikan kekebalan kepada para pejabat diplomat atau konsuler terhadap hukum lokal, sesuai dengan level mereka dalam misi diplomatik. Misalnya, para agen diplomatik dan anggota keluarga dekat mereka benar-benar kebal dari segala tuntutan pidana dan hukum sipil yang berlaku umum di negara tempat mereka bertugas.
Selanjutnya, anggota staf administrasi dan teknis di kedutaan memiliki tingkat kekebalan yang lebih rendah lagi dari seorang agen diplomatik. Sementara, para anggota staf layanan di kedutaan dan karyawan konsuler hanya memiliki kekebalan untuk tindakan-tindakan yang masih berhubungan dengan tugas resmi mereka.
Meskipun para diplomat dibebaskan dari yurisdiksi pidana, perdata, dan administrasi negara tuan rumah, kekebalan tersebut bisa saja dicabut oleh negara asal mereka sewaktu-waktu dengan berbagai alasan.
Sepanjang dekade 1960-an sebagian besar negara Muslim juga ikut meratifikasi Konvensi Wina. Kendati demikian, isi persetujuan itu bukannya tanpa catatan. Pasalnya, hukum Islam tidak sepenuhnya sesuai dengan Konvensi Wina tersebut. Misalnya, sesuai dengan hukum Islam diplomat bertanggung jawab atas kejahatan dan kesalahan yang dilakukan di negara tempat ia berada. Sedangkan, Konvensi Wina tidak menyatakan demikian.
Sumber: Republika