OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 16 Agustus 2017

"Apa yang telah dilakukan Muhammadiyah sehingga NU begitu benci?"

"Apa yang telah dilakukan Muhammadiyah sehingga NU begitu benci?"


"Apa yang telah dilakukan Muhammadiyah sehingga NU begitu benci?" Pertanyaan ini bagi sebagian besar jamaah Muhammadiyah di kalangan grass root begitu biasa dan menjadi bincang harian. Bahkan beberapa warga Muhammadiyah harus putus silaturrahim sedikit renggang meski dengan kerabat sendiri akibat aktif di Muhammadiyah.

Benarkah hanya karena orang Muhammadiyah tidak melafalkan ushali saat shalat. Tidak membaca qunut saat shalat subuh. Tidak membaca sayidina pada duduk tahiyat. Tidak membaca diba’ dan manakib atau tidak membaca shalawat pada malam Jumat. Tidak ziarah kubur pada kuburan para wali yang dianggap keramat. Benarkah hanya itu yang membuat mereka begitu benci dan tidak suka pada kami.

Benarkah Muhammadiyah tidak melakukan itu semua. Siapa bilang. Kami berniat dalam hal apapun bedanya kami tidak mengucapkan niat itu secara lisan. Kami juga qunut. Pada 10 hari terakhir Ramadhan. Kami juga biasa menyebut sayidina pada junjungan kami di luar tahiyat. Kami juga sangat mencintai Nabi dengan cara yang kami sukai. Kami juga berziarah dan mendoakan orang yang telah mati. Lantas apa ada alasan untuk membenci kami?

Mungkin tak se-sederhana itu soalnya. Tapi apa. Sehingga kami patut dibenci dan dimusuhi. Ujaran kebencian dan permusuhan begitu vulgar karena diucapkan dari lisan orang nomor satu di NU. Yang kemudian diikuti dengan ulama-ulama panutan. Sungguh disayangkan. Dan kami bersyukur tak satupun dari pemimpin kami yang membalas.

Bahkan terkesan dipolitisir untuk membuat jutaan pengikutnya memusuhi kami. Umat diajari marah dan membenci. Kami merasakan sudah sangat lama. Tapi kami diam menahan diri. Tidak membalas kebencian dengan kemarahan yang melahirkan permusuhan. Karena kami sangat menghormati para ulama dan kyai yang berkhidmat. Kami menganggapnya saudara seiman. Berbeda sedikit itu biasa. Dan tak harus dijadikan komoditas politik meraih kekuasaan.

Bagaimana mungkin ulama sekaliber Yang Mulia KH Aqil Siradj salah baca dan salah dengar tentang pendidikan penguatan karakter (PPK) menjadi FDS. Yang kemudian diplintir dengan sangat keji. Disertai fitnah yang profokatif.

Apa tidak sebaiknya ditabayunkan sebelum dinyatakan pada publik. Apakah saya harus mengajari cara-cara santun bermuamalah. Menunjukkan bagaimana para ulama salaf, para Imam mazhab ketika mereka berbeda pendapat.

Oleh: Nurbani Yusuf
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Batu

*Sumber: Sang Pencerah