OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 26 September 2017

Mewajarkan Rohingya

Mewajarkan Rohingya

10Berita– Sesuatu yang wajar memang tak seharusnya dicela. Karena wajar selalu berkonfrontasi dengan aneh. Keluarnya seseorang dari lingkaran kewajaran membuatnya disebut aneh. Sebaliknya terlepasnya seseorang dari segala bentuk keanehan membuatnya menjadi wajar.

Menurut KBBI, kata ‘wajar’ didefinisikan sebagai sebuah kondisi yang menurut keadaan yang ada atau sebagaimana mestinya. Adalah wajar jika seorang ibu menyusui bayinya alih-alih meninggalkannya di tempat sampah ataupun di depan pintu panti asuhan. Adalah wajar jika kita menyapu dedaunan kering yang berserakan di halaman rumah kita alih-alih membiarkannya menumpuk hingga menjadi tempat yang nyaman bagi seekor ular bersemayam. Adalah wajar orang yang kelaparan menyantap sepiring nasi alih-alih mengambil batu untuk mengganjal perutnya.

Sesuatu bisa dikatakan wajar atau sebagaimana mestinya tentu tidak bisa diputuskan secara personal namun butuh persetujuan komunal. Maka wajar tidaknya sesuatu sangat bergantung pada nilai-nilai apa yang sedang dipercaya oleh sebuah komunitas. Dan tentu saja kita tidak bisa menyalahkan kepercayaan seseorang akan sebuah nilai, namun kegiatan mengkaji dan mempertanyakan mengapa sebuah nilai harus dipercaya masih menjadi upaya terbaik untuk memperkuat pondasi sebuah keyakinan.

Kita tidak bisa menyalahkan pilihan seseorang untuk menjadi pengikut Syiah, Ahmadiyah, ataupun Tarekat Sattariyah. Namun kegiatan mengkaji dan mempertanyakan kelayakan ketigafirqoh tersebut untuk diikuti serta menjawab pertanyaan masih relevankah ketiganya berada dalam lingkaran Islam, itu yang perlu dan harus dilakukan.

Dan Anda tak perlu mengeryitkan dahi ketika melihat pengikut Syiah mencambuk tubuhnya sendiri hingga berdarah-darah, melihat pengkultusan seorang Mirza Ghulam Ahmad oleh pengikut Ahmadiyah, serta melihat pengikut Sattariyah yang sudah berhari raya ketika anda masih harap-harap cemas menunggu munculnya hilal. Karena memang begitulah sewajarnya pengikut Syiah, begitulah sewajarnya pengikut Ahmadiyah, dan begitulah pengikut Sattariyah sebagaimana mestinya.

Maka dari itu ketika kita melihat apa yang sedang terjadi di Arakan saat ini, kita sebagai seorang muslim mungkin tak perlu terhenyak kaget lalu mengambil sikap-sikap yang tak sewajarnya. Karena mungkin semua yang telah dan sedang terjadi adalah sesuatu yang sewajarnya.

Mungkin kita tak perlu kaget ketika mendengar seruan para biksu lokal Arakan dan para petinggi Rakhine Nationalities Development Party (RNDP) yang melakukan kampanye anti etnik Rohingya serta menyerukan pembersihan etnis tersebut dari Myanmar. Kita tak perlu kaget ketika seorang biksu yang bernama Ashin Sandarthiri menyatakan kepada BBC, “Di dunia ini banyak negara muslim. Mereka sebaiknya pergi ke sana. Negara muslim akan merawat mereka. Mereka sebaiknya pergi ke negara yang mempunyai agama yang sama.”

Kita juga mungkin tak perlu terkejut jika ternyata RNDP menjatuhkan sanksi sosial terhadap orang budha awam yang coba-coba bersimpati dan memberi bantuan terhadap muslim Rohingya. Bahkan berdasarkan laporan The Economist bahwa pada Oktober 2012 ada seorang Budha Arakan yang dibunuh karena kedapatan menjual beras kepada muslim Rohingya. Dan salah seorang nelayan Rohingya juga bercerita kepada Human Right Watch, “Para biksu datang dan memukuli orang-orang Arakan yang secara sembunyi-sembunyi memberikan makanan kepada kami. Mereka menggunakan tongkat bambu dan memukuli mereka di dekat tetangga kami.”

Namun sekali lagi kita mungkin tak perlu terkejut, ketika rumah, masjid, serta madrasah milik muslim Rohingya dibakar oleh tentara Myanmar. Kita juga tak perlu terkejut jika dari 135 etnis yang hidup di Myanmar Rohingya menjadi satu-satunya etnis minoritas yang dilucuti kewarganegaraannya. Kita tak perlu terkejut ketika militer Myanmar memberlakukan sistem kerja paksa terhadap muslim Rohingya untuk membangun bangunan militer, jalan, jembatan, tanggul, dan pagoda tanpa mendapatkan upah. Kita tak perlu terkejut ketika mengetahui bahwa muslim Rohingya dibebani berbagai macam pajak yang merepotkan mulai dari pajak pengumpulan kayu bakar, pajak memancing ikan di sungai, pajak kelahiran hewan ternak, hingga pajak yang tinggi untuk setiap perkawinan, kelahiran, dan kematian.

Karena bisa jadi kebencian para biksu itu terhadap muslim Rohingya memang sudah sebagaimana mestinya. Budha yang dalam terminologi Al Qur’an diistilahkan sebagai kafir, mungkin sudah sewajarnya membenci umat Islam, terlebih ketika sedang berkuasa. Bukankah Al Qur’an juga sudah memberitahukan hal-hal semacam ini agar kita tidak hanya ternganga ataupun termangu ketika kita umat Islam sedang menjadi objek kebencian mereka kaum kafir.

Salah satunya adalah surat At Taubah ayat 32 yang berbunyi, “Mereka (orang-orang kafir) berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan agamanya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukainya.”

Pembakaran rumah Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar.

Jadi, memang sudah sewajarnya sebuah entitas Budha yang sedang berkuasa membenci dan memerangi minoritas muslim yang mendiami wilayah kekuasaannya. Terlebih lagi minoritas tersebut bukannya menurut, tapi malah melakukan perlawanan. Efektif sejak bulan Oktober 2016 sekelompok pemuda Rohingya membentuk Harakah Al Yaqin lalu menjadi Arakan Rohingya Solidarity Army (ARSA), dimana melalui harakah tersebut mereka memilih untuk melawan penindasan meskipun dengan senjata seadanya. Sepertinya para pemuda Rohingya mulai sadar bahwa mengangkat senjata adalah satu-satunya upaya wajar untuk membebaskan diri mereka dari penindasan.

Kita sebagai seorang muslim pun harus melihat upaya perlawanan tersebut secara wajar, dan di dalam Al Qur’an pun terdapat ayat-ayat -yang tentunya sudah tidak perlu lagi saya cantumkan disini- yang mengandung perintah untuk melawan segala bentuk kedhaliman dan serangan yang dilancarkan oleh kaum kafir, yang dalam bahasa Al Qur’an upaya ini disebut sebagai jihad.

Kesimpulannya adalah, tidak ada yang aneh dengan apa yang terjadi di Rohingya, semua wajar-wajar saja. Wajar bagi para biksu yang sedang berkuasa menindas muslim Rohingya, sebaliknya wajar bagi para perempuan dan anak-anak Rohingya melarikan diri ke pengungsian, dan tentu saja wajar bagi para pria dewasa Rohingya mengangkat senjata melawan penindasan.

Maka dari itu, ada baiknya kita-kita yang di sini juga bersikap sewajarnya juga. Adalah sebuah kewajaran kita memberikan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi Rohingya. Karena bagaimanapun juga kaum muslimin yang satu dengan yang lainnya bagaikan satu tubuh, ketika ada satu bagian tubuh yang terluka maka bagian tubuh yang lain akan merasa sakit.

Dan, jangan lupa membantu jihad muslim Rohingya juga merupakan sebuah kewajaran. Karena jihad muslim Rohingya menjadi fardhu a’in bagi kaum muslimin di sekitarnya jika kekuatan muslim Rohingya tidak mampu menandingi kekuatan musuh. Dan jika kaum muslimin di sekitarnya telah bergabung dan masih belum cukup, maka wajib bagi kaum muslimin di daerah yang lebih jauh untuk membantu, begitu seterusnya hingga kaum muslimin di seluruh belahan dunia terkena kewajibannya.

Lalu bagaimana jika kita yang notabene gak jauh-jauh amat dari Rohingya ini tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu jihad mereka? Yah kalau sudah begitu, mulailah dengan penuh kerendahan hati untuk bersikap wajar, bersikap wajar menyadari diri bahwa ternyata kita baru sebatas muslim dengan kualitas iman terlemah.

 
Penulis : Rusydan Abdul Hadi

Sumber: Kiblat.