OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 21 September 2017

#RefleksiMuharram1439H, Saatnya Indonesia Berhijrah Menuju Peradaban Islam


#RefleksiMuharram1439H, Saatnya Indonesia Berhijrah Menuju Peradaban Islam

Ilustrasi Istana Peradaban Islam Al Hambra

10Berita - SAATNYA INDONESIA BERHIJRAH HOMEBERITAARTIKELAKHIR ZAMANHEBOHKESEHATANMUSLIMAH 

Home » Tulisan Lepas » #RefleksiMuharram1439H, Saatnya Indonesia Berhijrah Menuju Peradaban Islam

TULISAN LEPAS WEDNESDAY, SEPTEMBER 20, 2017

Oleh  Dr. Ahmad Sastra
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor  

Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adi daya dunia (superstate) terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim utara hingga tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya , dengan perbedaan kepercayaan dan suku. (Carletton dalam ” Technology, Business, and Our Way of Life: What Next”).

Waktu berjalan begitu cepat. Kaum muslimin kembali diingatkan masa-masa hijrah yang dilakukan Rasulullah 1439 tahun yang lalu. Memasuki tahun Hijriyah yang ke 1438 ini adalah moment bersejarah bagi kaum muslimin hari ini. Pesan-pesan dakwah dan perubahan yang dipelopori oleh Rasulullah semestinya menjadi tugas agung yang harus dilakukan oleh kaum muslimin di seluruh dunia.

Hijrah secara bahasa berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Lisan al-‘Arab, V/250; Al-Qamus Al-Muhith, I/637). Baginda Nabi saw. bersabda: Muslim itu adalah orang yang menjadikan Muslim yang lain selamat dari lisan dan tangannya. dan al-Muhâjir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa saja yang telah Allah larang (HR al-Bukhari).

Menurut Ibn Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, hijrah itu ada dua macam: lahiriah dan batiniah. Yang batiniah adalah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (nafs al-ammârah bi as-sû’) dan setan. Yang lahiriah adalah menghindarkan diri-dengan membawa agama-dari fitnah.

Hadits di atas setidaknya memberikan dua pelajaran penting. Pertama: seseorang dikatakan muslim jika Muslim yang lain selamat dari keburukan lisan dan tangannya. Dari sini tentu layak dipertanyakan kemusliman seorang penguasa, jika yang bersangkutan sering menzalimi rakyatnya dengan berbagai kebijakan yang memberatkan mereka. Begitu pula dengan kemusliman seseorang jika ia berdiam diri dan tidak mau menyelamatkan kaum Muslim dari kungkungan penjajahan asing di berbagai aspek saat ini.

Kedua: hijrah hakikatnya adalah meninggalkan larangan-larangan Allah SWT. Karena itu, tentu sia-sia belaka jika setiap tahun memperingati tahun baru Hijrah, sementara kita tetap merasa nyaman ada di bawah sistem kufur saat ini-sistem Kapitalisme-sekular-yang nyata-nyata diharamkan Allah SWT; dan enggan berusaha berpindah ke dalam naungan sistem Islam yang nyata-nyata telah Allah perintahkan.

Secara syar’i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).

Masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah saw. pasca hijrah benar-benar berbeda sama sekali dengan masyarakat jahiliyah pra hijrah. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari beberapa aspek:

Dari aspek akidah, masyarakat jahiliyah pra hijrah penuh dengan kemusyrikan, terutama penyembahan terhadap berhala. Sementara masyarakat Islam pasca hijrah dibangun diatas asas akidah Islam. Akidah Islam menjadi satu-satunya asas negara dan masyarakat. Karena itu, meski saat itu terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan adalah aturan (syariah) Islam.

Dari aspek sosial, masyarakat jahiliyah pra hijrah identik dengan kebobrokan prilaku yang luar biasa. Mabuk, pelacuran dan kekejaman menyeruak di mana-mana. Anak-anak perempuan yang baru lahir pun biasa dibenamkan hidup-hidup ke dalam tanah. Sementara masyarakat Islam pasca hijrah penuh dengan kedamaian dan ketenteraman serta jauh dari berbagai ragam kemaksiatan. Perjudian diperangi. Perzinaan diberantas. Segala bentuk kemaksiatan dan kriminalitas dibabat habis melalui penegakkan hukum Islam yang tegas.

Dari aspek ekonomi, riba, manipulasi, kecurangan dalam timbangan dan takaran, eksploitasi ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah, konsentrasi kekayaan pada segelintir orang, dsb, kental mewarnai ekonomi masyarakat jahiliyah. Sementara di masyarakat Islam pasca hijrah, ekonomi berbasis riba benar-benar dihapus. Penipuan dan berbagai kecurangan diberantas. Negara bertanggung jawab menjaga pendistribusian kekayaan atau harta agar tidak dimiliki oleh segelintir orang saja. Sebaliknya, seseorang bisa memperolah harta dengan seluas-luasnya asal dibolehkan oleh syariah Islam.

Dari aspek politik, secara politis bangsa Arab jahiliyah pra hijrah bukanlah bangsa yang istimewa. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan. Sementara pasca hijrah, Islam dan kaum Muslim benar-benar mulai diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Daulah Islamiyah yang dibangun Baginda Nabi saw. benar-benar disegani, bahkan ditakuti oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Bahkan sejarah telah membuktikan, pada akhirnya dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, dapat ditaklukan oleh Daulah Islamiyah melalui jihad fi sabilillah. Dengan jihad yang dilancarkan oleh Daulah Islamiyah itulah hidayah Islam makin tersebar dan kekuasan Islam makin meluas.

Pertama, karakter Rasulullah SAW yang menyatukan fungsi kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (ri`asah). Setelah hijrah ke Madinah (622 M), Rasulullah SAW bukan hanya berkedudukan sebagai nabi (penyampai risalah), namun juga berkedudukan sebagai kepala negara (ra`is ad dawlah). Terbukti Rasulullah SAW menjalankan fungsi-fungsi kepala negara, seperti mengadakan perjanjian, mengumumkan perang, mengirim atau menerima duta besar, dan seterusnya. Setelah Rasulullah SAW wafat, fungsi kenabian (nubuwwah) berakhir, yakni tak ada nabi lagi, tapi fungsi kepemimpinan (ri`asah) tetap diteruskan oleh para khalifah (kepala negara) selanjutnya.

Kedua, karakter agama Islam itu sendiri yang bersifat komprehensif (syumuliah), yaitu tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tapi mengatur segala aspek kehidupan.
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Maidah : 3)

Allah juga berfiman, (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS An Nahl [16] : 89).

Karena itu hakekat makna hijrah dalam konteks kekinian bukanlah sekedar perbaikan dan perubahan individual, malainkan perubahan sistemik di seluruh aspek kehidupan bebangsa dan bernegara. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah terbukti mampu menjadi alternatif pengganti sistem jahiliyah yang penuh dengan kerusakan.

Upaya-upaya perubahan menuju kehidupan yang lebih baik dengan Islam harus terus diusahakan oleh seluruh kaum muslimin melalui dakwah dan pendidikan. Dakwah dan pendidikan akan melahirkan kesadaran kolektif untuk mengembalikan sistem kehidupan Islam yang rahmatan lil ‘alamin di seluruh aspeknya. Selamat tahun baru Hijriyah, semoga kita termasuk agen-agen perubahan menuju Indonesia yang lebih baik. Karena itu untuk para pemimpin negeri ini jika negeri ini ingin aman, tentram, sejahtera dan mendapat berkah dari Allah, maka hijrahkan Indonesia ini menuju jalan Allah. [KotaHujan,20/09/17 : 10.00]

Sumber: www.beritaislamterbaru.org