Sidang Buni Yani, Prof Yusril Ihza: Tidak Ada Unsur Pidana
Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku ahli hukum kasus dugaan pelanggaran UU ITE dengan terdakwa Buni Yani
10Berita–Sidang ke-13 kasus Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan terdakwa Buni Yani yang digelar di Gedung Dinas Perpustakaan Kota Bandung, Selasa (12/09/2017) dengan agenda mendengarkan saksi ahli yang dihadirkan Penasihat Hukum Terdakwa, Prof Yusril Ihza Mahendra.
Prof Yusril Ihza Mahendra dimintai pendapat dan pandangannya terkait pasal 28 dan 32 UU ITE yang didakwakan kepada Buni Yani. Yusril berpendapat bahwa tidak unsur pidana dalam pasal 32 ayat 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dijadikan dakwaan terhadap Buni Yani.
“Kalau saya melihat pasal 32 itu ada tiga ayat 1, 2, dan 3. Kalau ayat 1, menurut pendapat saya belum ada unsur pidananya,” ungkapnya.
Menurut Yusril baru ada unsur pidananya pada ayat 3 jika kemudian orang tersebut mengunggap atau menyebarluaskan sesuatu yang kemudian diubah isinya. Namun terkait dengan ayat 3, menurut Yusril hal itu jika yang diunggap memang bersifat informasi rahasia.
“Kalau bersifat informasi rahasia kemudian di-upload dan diubah, nah itu yang bisa dipidana. Informasi itu kan sifatnya ada yang rahasia seperti rahasia Negara, juga sifatnya informasi publik artinya informasi yang sudah ada di publik, misalnya saat ini sudah ada di media social,”jelas Yusril.
Apa yang diunggah oleh Buni Yani, menurut Yusril bukanlah informasi yang bersifat rahasia melainkan informasi publik dimana ia hanya mengambil dari media social kemudian diunggap kepada publik. Yusril juga menjelaskan bahwa unsur pidana bisa dilakukan jika publik tidak bisa mengakses sumber aslinya tersebut sehingga disebut informasi bersifat rahasia.
“Tapi ini kan publik bisa mengakses sumber aslinya yakni apa yang sudah di-upload di media social you tube dan disiarkan di web pemerintahan DKI Jakarta,” jelasnya.
Buni Yani juga menurut Yusril ini tidak meng-upload dari sumber informasi yang bersifat rahasia misalnya milik Kementerian Pertahanan, Mabes TNI atau Mabes Polri atau milik Sekretariat Negara, dan lembaga Negara lainnya. Ia hanya menyebarkan apa yang sudah tersedia di media social.
“Apa yang diunggap itu sudah disiarkan di web resmi milik pemerintahan DKI Jakarta dan sudah ada di dalam YouTube. Kemudian yang di-upload itu ketika diubah orang bisa merujuk kepada sumber asli dan bukan sesuatu yang bersifat rahasia. Ini menurut pendapat saya tidak ada unsur pidana untuk kasus Buni Yani,” terangnya.
Sebelum didengar pendapat dan pandangannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sempat menolak dan merasa keberatan atas kehadiran Yusril Ihsa Mahendra selaku ahli hukum. Alasannya JPU karena Yusril dianggap sebagai ahli Hukum Tata Negara sehingga UU ITE dengan konstitusi Negara tidak ada relevansinya dalam persidangan ini.
Namun keberatan JPU langsung diklarifikasi oleh ketua penasihat hukum Buni Yani, Aldwin Rahardian. Aldwin mengatakan, Yusril dihadirkan di persidangan dalam kapasitasnya sebagai ahli teori dan filsafat hukum, bukan sebagai pakar Hukum Tata Negara.
“Saya klarifikasi majelis hakim, beliau hadir sebagai ahli teori hukum berkaitan dengan Pasal 28 dan Pasal 32 karena terkait teori hukum. Jadi Prof Yusril ini dikenal sebagai ahli konstitusi itu hal lain. Ini kan teori hukum, filsafat hukum, tentu nanti bisa dieksplorasi asbabun nuzul pasal-pasal ini,” tutur Aldwin diawal persidangan.
Menanggapi hal tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin M.Saptono mengaku akan mencatat keberatan tim JPU ke dalam catatan persidangan. Akhirnya Yusril pun dipernkenankan dan memberikan pendapat serta pandangannya hingga menjelang Dhuhur. Persidangan selanjutnya rencananya akan kembali ditempat yang sama pada Selasa depan, dengan agenda masih mendengarkan keterangan saksi ahli yang dihadirkan Penasihat Hukum Terdakwa.*/Abu Lutfi Satrio
Sumber: Hidayatullah