OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 21 September 2017

Sinyal Kematian Mall dan Toko Ritel di Indonesia

Sinyal Kematian Mall dan Toko Ritel di Indonesia

 10Berita – Green Street Advisors telah mengeluarkan hasil survei terbaru mengenai kebiasaan belanja masyarakat dan keberadaan mal di Amerika Serikat. Hasilnya, mal di beberapa tempat menuju arah kematian karena ramainya belanja online yang mengikis penjualan di pusat perbelanjaan.

Menurut penelitian, hunian mal menurun untuk pertama kalinya sejak resesi ekonomi. Pertumbuhan sewa tempat di mal juga terus melambat belakangan ini.

Perusahaan riset real estate ini mengungkapkan, penjualan di mal diprediksi hanya akan tumbuh 1,2 persen antara 2016-2019. Angka ini jauh lebih rendah dari perkiraan awal yaitu 2,6 persen selama rentang waktu yang sama. Pertumbuhan 1,2 persen juga melambat dibanding tahun lalu yang mencapai 4 persen

Tak hanya penjualan, pertumbuhan sewa kios di mal juga diprediksi hanya akan meningkat 1,5 persen selama empat tahun hingga 2019 mendatang. Angka ini juga lebih rendah dari perkiraan awal yang mencapai 2,5 persen.

Menurut Green Street yang dikutip dari CNBC, faktor terbesar yang membebani mal adalah munculnya belanja online. Selain itu, melemahnya permintaan pengecer juga ikut mempengaruhi.

“Penjualan tenant rebound di 2015 setelah melambat beberapa tahun sebelumnya. Namun ini didorong oleh dampak banyaknya pengecer yang tidak produktif dan sudah bangkrut,” ucap analis senior, D.J. Busch.

Namun demikian, analis berpendapat, penutupan toko ini menggarisbawahi bahwa Amerika Serikat memiliki ruang ritel yang terlalu banyak. Misalnya, Sears Holdings baru menutup hampir 600 toko dalam waktu satu tahun. Perusahaan mengatakan awal bulan ini dia kembali menutup toko. Macy juga mempersiapkan diri untuk menutup 36 toko di seluruh AS dalam upaya meningkatkan bottom line-nya.

Bergesernya minat masyarakat ke belanja online tidak diragukan lagi ikut memainkan peran mempengaruhi keberadaan mal. Selain itu, perubahan demografi kota juga mempengaruhi minat orang ke mal. Misalnya, di suatu tempat atau industri tertentu melakukan PHK besar-besaran, maka masyarakat akan menjauh dari tempat tersebut dan mencari pekerjaan.

Kondisi di Amerika Serikat ini tak jauh berbeda dengan Indonesia.

Lonceng Kematian Mal dan Ritel di Indonesia

Industri ritel Indonesia juga tengah menghadapi situasi sulit. Hal ini tercermin dari pertumbuhan industri ritel pada Bulan Ramadan 2017 mengalami penurunan 40-50 persen dibanding pertumbuhan tahun lalu.


Ekonom mikro, James Adam menilai, salah satu faktor rendahnya pertumbuhan industri ritel serta maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para pekerja ritel sejak awal 2017 adalah karena berkembang pesatnya belanja dalam jaringan (daring) atau online.

“Pelaku usaha ritel mengakui kesulitan dengan kondisi (belanja online dominasi belanja konvensional) yang tengah dialami industri jenis ini sampai merambat ke para pekerja ritel di-PHK akibat lemahnya daya beli masyarakat secara langsung ke ritel,” katanya seperti dikutip Antara Kupang, Senin (17/7).

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Dodi Budi Waluyo mengakui angka penjualan industri ritel mengalami pelemahan hingga Juni 2017. Hal ini menandai adanya penurunan daya beli masyarakat.

“Kenapa konsumsi rendah karena angka ritel sales hanya 6,7 persen tumbuh dan Juni lalu alami turun. Tahun lalu 8 persen pada periode yang sama tahun lalu. Bulan Juni 3-4 persen. Semester pertama 3,6-3,8 persen,” kata Dodi di Jakarta, Kamis (20/7) malam.

Menurutnya, ada beberapa penyebab daya beli masyarakat menurun. Di antaranya penyesuaian tarif listrik bersubsidi yang dilakukan oleh pemerintah, dan gaji ke-13 pegawai negeri sipil (PNS) yang baru cair pada bulan ini.

“Daya beli masyarakat terpengaruh tarif listrik dan penundaan gaji PNS aktif dari bulan Juni ke bulan Juli,” imbuhnya.

Sinyal lain turunnya penjualan di mal dan toko ritel adalah turunnya pemakaian listrik di mal.

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatat, penjualan listrik disejumlah tempat bisnis seperti pusat perbelanjaan sampai dengan Juni 2017 hanya sebesar 2,52 persen. Rendahnya angka tersebut ditengarai oleh adanya perubahan perilaku belanja masyarakat yang tidak banyak melakukan kunjungan ke pusat perbelanjaan.

Direktur PLN Pusat, Ahmad Rofik mengakui berkurangnya kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan karena masyarakat lebih banyak menggunakan kegiatan jual-beli dengan sistem e-commerce atau online.

“Ada perilaku konsumen lebih bergeser ke e-commerce, jadi shopping centre mulai sepi, jadi ada penurunan pemakaian listrik,” ujar Rofik di Kementerian ESDM,Jakarta, Selasa (19/9).

Rofik mengatakan beberapa penurunan konsumsi listrik pada pusat perbelanjaan terjadi di Pulau Jawa. Sedangkan untuk spesifikasi pusat perbelanjaannya antara lain Gandaria City, Senayan City, Glodok dan beberapa pusat belanja lainnya.

“Ada beberapa ya di Pulau Jawa. Untuk mall nya sendiri seperti Gandaria City. Itu kenapa, karena sudah mulai sepi. Otomatis penggunaan listriknya berkurang,” jelasnya.

Sementara itu, faktor lain yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan pemakaian listrik di sektor penjualan bisnis karena menurunnya penggunaan air conditioner (AC) di sejumlah kantor. “Lalu ada dampak suhu rata rata di kota besar, jadi penggunaan AC itu menurun,” pungkasnya.(kl/mdk)

Sumber: Eramuslim