Ulama Besar Nusantara Pernah Diasingkan ke Sri Langka
10Berita, JAKARTA -- Salah satu tokoh Indonesia yang tercatat pernah diasingkan ke pulau seluas 66 ribu km persegi itu adalah Amangkurat III. Sawijineng princes panggedening kaoem pemberontak ing Betawi lan 40 wong kaoeme, dening pemerintah Walanda diboeang ing Ceylon, tulis sumber lokal.
Dikatakan pula oleh Murad Jayah dalam "The Plight of the Ceylon Malays Today", "Pada 1709, Susuhunan Amangkurat Mas, sang raja Jawa, diasingkan ke Sri Lanka oleh Belanda bersama seluruh pengiringnya.
Dia dibuang pada 1723 bersama 44 pangeran Jawa, para bangsawan yang menyerah dalam pertempuran Batavia, serta keluarga mereka. "Keluarga ini membentuk fondasi masyarakat Melayu yang terus tumbuh." Raja bergelar Sri Susuhunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III atau Sunan Mas ini wafat di Sri Lanka pada 1734.
Selain Amangkurat III, tokoh lain adalah Syekh Yusuf al-Makassari. Ketika perlawanannya di Banten berhasil dipadamkan, Belanda mengasingkan ulama besar ini ke Sri Lanka.
"Kita hanya sedikit sekali mengetahui tentang kehidupan orang-orang buangan sebelum abad ke-18, tetapi tidak disangsikan lagi, al-Makassari merupakan tokoh Melayu Indonesia paling menonjol yang pernah diasingkan Belanda ke Sri Lanka," catat Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII.
Hingga kini, sebagian orang barangkali masih mengenal istilah "disailankan" yang berarti dibuang ke Sailan atau Ceylon. Semenjak bercokol di pulau itu, Belanda terus membawa sekian banyak orang Jawa alias Ja Minissu. Mereka dipekerjakan untuk mengisi jajaran tentara, polisi, pemadam kebakaran, staf penjara, dan pegawai lain.
Muslim Jawa-Malaysia ini memberi kontribusi terhadap populasi Muslim di Sri Lanka. Pada 1980-an, jumlah mereka sekitar lima persen dari total populasi Muslim Sri Lanka. Identitas kelompok ini terjaga lewat penggunaan bahasa Melayu, dengan sejumlah kosakata serapan dari bahasa Sinhala dan dialek lokal Tamil. Menurut Murad Jayah, bahasa Melayu terjaga di negara ini selama lebih dari 250 tahun mengingat orang-orang buangan asal Melayu ini didampingi oleh kaum perempuan.
Sumber: Republika