Antara Pengetahuan, Pemahaman, dan Kearifan
Oleh Ahmad Naufa
Untuk mengerti memang sulit, bukan perkara mudah. Orang kadang sudah tahu (ya'lamu), tapi kadang belum paham. Betapa banyak anak-anak kecil bernyanyi tentang cinta tapi ia tak tahu isinya. Banyak juga yang hafal ayat, tapi tak tahu maksudnya.
Salah seorang kiai yang pernah saya temui, mengaku bisa hafal Alfiyyah ibnu Malik—sebuah syair gramatika Arab yang memuat seribu bait lebih—dalam waktu empat puluh hari. (Saya sendiri butuh dua tahun, itupun tak tuntas). Namun, lanjut sang kiai tadi, ia butuh waktu tiga tahun untuk paham apa maksud nadzaman Alfiyyah tersebut.
Seperti berita yang berseliweran hari ini. Kita semua tahu, tapi apakah paham? Belum tentu. Berbulan-bulan Drama Kopi Mirna disajikan belum menjamin kita paham bagaimana duduk-perkaranya. Apalagi soal politik, ekonomi, budaya, terlebih agama.
Dan tentu ada yang sudah tahu, kemudian naik level: paham (yafhamu). Dia benar-benar paham duduk-perkaranya. Namun, lagi-lagi kadang belum atau tidak punya kearifan. Soal Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, yang diributkan dewasa ini bahwa itu hanya "milik" orang Islam (Muslim), saya kira ada di posisi ini. Sehingga menutup hak agama lain untuk mengakui, dan ini berpotensi memecah-belah kerukunan dan kebinekaan NKRI.
Benar belum tentu tepat, begitu kira-kira. Dalam mapel Bahasa Indonesia ada juga pelajaran ini, meski khusus dalam soal bahasa. Dalam konteks sila pertama Pancasila tadi, untuk mengeklaim "Tuhannya yang paling benar" dan berhak atas kata "Esa" itu, menurut saya, benar adanya, tapi tidak untuk dibawa ke ranah publik. Ibarat akidah atau ideologi, dalam hubungan suami-istri, boleh mengagumi dan menyanjung pasangannya, tapi tidak boleh menjelek-jelekan istri orang. Inilah dibutuhkan kearifan (ya'rifu), atau dalam term Jawa disebut "pener", tak cukup hanya "bener."
Menjadi ya'rifu, pener dan memahami "empan-papan" ini yang sulit di zaman sekarang. Zaman di mana orang semangat sekali menuduh dan melabeli hal yang belum jelas maupun yang sudah jelas, namun tak memakai kearifan.
Jika ingin belajar dengan contoh di sekitar kita, saya pikir banyak kiai yang sudah melaksanakan level ketiga ini. Saya kira para kiai tahu semua bahwa (tindakan) judi dan prostitusi itu dilarang agama, tapi tak serta merta mereka lantang berteriak "haram!" dan menjustifikasi. Banyak di antara mereka menggunakan "kearifan" untuk merangkul, mengedukasi hingga benar-benar misi dakwahnya berhasil.
Kearifan semacam ini yang hari ini kita butuhkan, hal yang perlahan hilang. Kearifan-kearifan para ulama, habaib, kiai dan bahkan ke atas sampai Kanjeng Nabi Muhammad—manusia yang paling arif dan bijaksana—harus senantiasa ditampilkan, dengan nuansa kekinian, untuk saling ingat-mengingatkan.
Cinta meski senantiasa ditegakkan, agar stok kebencian menipis, syukur-syukur habis. Di sini, substansi dan implementasi perintah bershalawat perlu terus dimaknai. Juga, paham cinta yang merupakan pilar inti tasawuf meski terus digali, agar agama tak melulu didominasi teologi dan yurisprudensi.
Cinta ala Maulana Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Syekh Abdul Qadir Jilani, dan para sufi terkemuka lain, penting untuk terus dinarasikan kembali ke masa kini. Jika stok cinta melimpah, tentu kita saling mencintai dan menyayangi. "Bukankah 'kau' adalah 'aku' yang lain?" begitu kata seorang kiai.
Penulis adalah kader muda NU, pegiat media online.
Sumber : NU Online