OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 03 Oktober 2017

APA YANG KAU CARI JENDERAL GATOT?



APA YANG KAU CARI JENDERAL GATOT?

Oleh: Hersubeno Arief
(Konsultan Media)

Panglima TNI Jenderal Gatot tengah jadi sasaran tembak. Bukan di medan tempur, namun di medan pertempuran opini dan politik.

Dia digempur dari berbagai arah. Politisi, pengamat, akademisi, sejumlah LSM, bahkan sejumlah media dan media sosial, beramai-ramai menghujaninya dengan berbagai kritik dan kecaman.

Gatot dinilai telah menyeret kembali TNI ke kancah politik dan mempunyai agenda politik menuju Pilpres 2019. Para pengecamnya mendesak Presiden Jokowi memecatnya, atau Gatot mengundurkan diri.

Majalah Tempo Edisi Senin (2/10) dengan judul “Gaduh Jenderal Gatot” versi Pdf-nya sudah beredar dengan cepat di medsos sejak hari Minggu (1/10). Agaknya ada yang sengaja mengedarkannya secara “illegal” sebagai bentuk counter terhadap berbagai langkah Gatot.

Lucunya di halaman majalah tersebut tercantum peringatan berupa larangan untuk menggandakan dan mengedarkan file tersebut tanpa izin.

Sikap Majalah Tempo sangat jelas. Dalam opini berjudul “Siasat Panglima dan Bencana Demokrasi,” redaksi Tempo dengan tegas menyatakan “ Di negara demokrasi, apa yang dilakukan Gatot tidak bisa ditolerir. Seorang Panglima Angkatan Bersenjata yang sibuk berpolitik seharusnya tidak dipertahankan dalam pemerintahan.”

Sebelumnya Direktur Setara Institut Hendardi juga menyebut Gatot sebagai Panglima TNI terburuk sepanjang sejarah reformasi.

Para pengecam Gatot sesungguhnya sudah sejak lama memendam kejengkelan. Kedekatan dan “keberpihakannya” dengan ulama dan umat Islam, utamanya pada hari-hari menjelang Pilkada DKI dan Aksi Bela Islam 212, membuat mereka geram sekaligus curiga.

Para pembenci (haters) Gatot tambah kesal dan jengkel dengan aksinya memerintahkan jajaran TNI untuk menggelar nonton bareng (Nobar) film G30S/PKI di markas-markas tentara. Kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah sebuah isu yang selama ini dipakai oleh sebagian kalangan aktivis Islam untuk menyerang balik pemerintah dan partai pendukungnya, ketika mereka diserang dengan isu intoleransi, anti NKRI dan anti Pancasila.

Tak mengherankan bila kemudian instruksi Gatot untuk menggelar Nobar mendapat sambutan yang gegap gempita. Isu kebangkitan PKI menjadi sebuah bara yang membakar sangat cepat. Isu tersebut ternyata sangat efektif dan membuat banyak kalangan khawatir. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bahkan menyebut isu PKI dimanfaatkan untuk memisahkan Presiden Jokowi dan Megawati.

Semula posisi Presiden Jokowi dalam soal isu PKI tidak begitu jelas. Apakah dia menolak atau mendukung. Sampai kemudian Jokowi memutuskan ikut Nobar di Markas Korem Suryakencana, Bogor. Jokowi tampaknya memilih bergabung dengan arus besar rakyat, terutama umat Islam dan TNI yang sangat gencar menyuarakan kewaspadaan bangkitnya PKI.

Survei SMRC yang menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat tidak percaya PKI akan bangkit kembali, ternyata tidak berhasil meyakinkan Jokowi. Dia memilih mengambil sebuah strategi “If you can’t beat them, joint them.”

Langkah Jokowi ikut Nobar, mengingatkan kita pada saat dia memutuskan untuk bergabung melaksanakan salat Jumat bersama jutaan umat Islam dalam Aksi 212. Dalam dua peristiwa tersebut Gatot mempunyai andil besar.

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo bersama Kepala Staf Angkatan menghadiri Upacara Hari Kesaktian Pancasila yang dipimpin Presiden RI Ir. H. Joko Widodo selaku Inspektur Upacara, bertempat di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Ahad (1/10).

Isu “penyelundupan” 5.000 senjata untuk instansi di luar TNI-Polri yang “bocor” ke media menjadi momentum bagi para penentang Gatot. Apalagi Menko Polkam dan Menhan meralatnya. Gatot disebut sebagai jenderal “gaduh,” karena itu harus segera dicopot, atau mengundurkan diri.

Sejauh ini Jokowi belum menanggapi berbagai desakan tersebut. Dalam pertemuan di istana dengan Wiranto dan Gatot, Jokowi mengingatkan agar jangan membuat kegaduhan dan masyarakat ditenangkan.

Jika semuanya berjalan normal, maka Gatot baru akan pensiun pada bulan Maret 2018, saat dia berumur 58 tahun. Bila Presiden menghendaki, jabatannya bisa diperpanjang.

Ribut-ribut soal Gatot ini sesungguhnya muaranya pada Pilpres 2019 dan pergulatan politik memperebutkan suara umat Islam. Sebagai pemilih terbesar, siapapun kandidatnya harus mempertimbangkan suara mayoritas yang dimiliki umat Islam.

Gatot oleh kelompok penentangnya dinilai sengaja mendekat dan merangkul umat Islam untuk mendapat dukungan dan meraup suara pada Pilpres 2019. Gatot juga disebut-sebut telah menyiapkan tim sukses yang terdiri dari kalangan perwira tinggi, aktivis, akademisi, media dan juga ulama. Seorang taipan dikabarkan sudah mengucurkan dana untuk pencalonannya. Konsultan politik Denny JA sudah direkrut Gatot. Kabar yang segera dibantah oleh Denny.

Tudingan bahwa Gatot sudah membentuk tim sukses dan bersiap menghadapi Pilpres 2019 tidaklah berlebihan melihat berbagai langkah politiknya yang “tidak biasa.” Di Medsos berbagai artikel, meme dan berbagai testimoni tentang Gatot juga bertebaran.

Ucapan Gatot “emang gua pikirin” ketika diwawancarai Karni Ilyas pada Program ILC TV One, hanya dalam hitungan puluhan menit memenya sudah menyebar di medsos. Tampak semuanya sudah dipersiapkan dengan baik. Belakangan gerakan dukungan untuk Gatot itu mulai mendapat perlawanan di medsos.

Jika benar seperti yang dituduhkan para penentangnya, upaya Gatot relatif berhasil. Di berbagai kelompok umat Islam nama Gatot sudah digadang-gadang sebagai capres yang dinilai sangat berpihak kepada umat. Dia mulai dijodoh-jodohkan dengan nama sejumlah tokoh. Dua nama yang paling banyak digadang-gadang adalah Gubernur NTB Tuan Guru Bajang dan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan (Aher).

Dua gubernur yang dinilai merupakan representasi umat itu, pada tahun 2018 akan mengakhiri jabatan mereka selama dua periode. Keduanya dinilai cukup sukses dan sudah waktunya naik kelas.

Tuan Guru Bajang merupakan kader Partai Demokrat. Sementara Aher kader PKS. Ganjalannya pada Tuan Guru Bajang adalah adanya putera mahkota Agus Harimurti Yudhoyono di Demokrat dan jumlah penduduk NTB yang relatif kecil.

Sebaliknya Aher punya keunggulan selain sukses mengendalikan provinsi Jabar yang penduduknya terbesar di Indonesia, dia juga representasi suku Sunda yang merupakan etnis kedua terbesar setelah Jawa.

Meski mendapat dukungan luas, namun di kalangan aktivis Islam masih ada yang mencurigai langkah Gatot sebagai bagian dari strategi besar Jokowi merangkul kembali umat Islam. Berbagai manuver Gatot yang terkesan dibiarkan -- bahkan didukung oleh Jokowi seperti pada kasus Nobar-- merupakan indikasi bahwa semua itu berada dalam kendali Jokowi.

Gatot diduga tengah dipersiapkan Jokowi untuk menjadi cawapres. Dengan memasang Gatot, Jokowi seperti sekali tepuk mendapat dua lalat: Umat Islam dan TNI!

Waktu yang akan menjawab, apakah berbagai manuver Jenderal Gatot merupakan langkah yang tulus dan sebuah keberpihakan kepada umat. Atau hanya sebuah strategi politik untuk meraih kekuasaan?***