OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 18 Oktober 2017

Belajar Jadi Pribumi

Belajar Jadi Pribumi


Samidi : Tadz, lagi rame dengan kosakata pribumi nich. Gara - gara pidatonya Bung Anies Baswedan. Ada pencerahan tadz?

Mukidi : Kalau buat kami sendiri, istilah pribumi, bumiputera, orang indonesia asli dll adalah sebuah kosakata yang memiliki sejarah tersendiri. Jika kosakata itu kembali dipakai, mungkin karena dirasa ada kesesuaian konteks atau ketersambungan sejarah, antara suasana dulu dengan sekarang. Kita mengamini apa yang disampaikan oleh Bung Anis, karena saat ini memang kita merasakan adanya penjajahan gaya baru, ada peminggiran peran, ada perampasan hak, ada pengistimewaan perlakuan satu golongan minoritas diatas golongan mayoritas masyarakat kan? Fakta apalagi yang mau diingkari?

Jadi, tidak ada yang salah. Justru sebaliknya, konteksnya sangat tepat untuk menggambarkan kondisi bangsa Indonesia, baik dimasa penjajahan jaman kolonial maupun penjajahan jaman milenial. Bedanya, dulu kita memang dijajah oleh bangsa asing, sedangkan sekarang kita dijajah oleh bangsa kita sendiri yang bekerjasama dan menjadi antek bangsa asing. Persis seperti yang digambarkan dalam lirik lagu dangdutnya Titi Kamal yang berjudul "Mars Pembantu". He..9x.

Samidi : Wah, begitu ya tadz. Tapi kadang ane juga heran, kenapa mereka pada ribut dengan istilah pribumi sekarang ya tadz?

Mukidi : Nah, disitulah anomali dan hipokritnya mereka. Istilah pribumi itu masih lazim dipakai sampai sekarang, baik oleh seorang pimpinan parpol berpaham nasionalis, para mentri kabinet kerja hingga presiden sekalipun. Ndak ada yang meributkan tuch. Disisi lain, istilah pribumi juga lazim dipakai oleh etnis tertentu kepada penduduk suku Indonesia dengan maksud menghina dan merendahkan, seperti kasus hatespeech "Pribumi Tiko" dibandara Singapura. Lucunya, mereka yang ngaku - ngaku berpaham nasionalis dan berslogan NKRI harga mati malah banyak yang tidak terusik semangat kebangsaannya.

Sisi lain, sekarang juga muncul semangat nasionalisasi, paham nusantara dll yang secara spirit dan gagasan itu sangat dekat dengan pribumisasi. Jadi kalau semangat nasionalisasi diterima, paham nusantara digaungkan sebagai bentuk penolakan terhadap pengaruh global diterima, lalu mengapa istilah pribumisasi yang secara kultur dan spirit itu sangat identik harus ditolak? Bukankah sebagian aktivis kamar sebelah malah sempat menggaungkan konsep "Pribumisasi Islam" sebelum berubah menjadi "Islam Nusantara"?

Samidi : Hm,.. betul juga ya. Tadz, mengapa pada kasus di Indonesia, non pribumi biasanya diarahkan ke etnis china saja? Bukankah etnis arab dll juga termasuk non pribumi?



Mukidi : Nah, ini mulai menarik. Jawabanya ada pada 2 hal. Pertama, kegagalan sebagian besar etnis China dalam proses asimilasi sosial. Etnis arab relatif lebih berhasil dalam melakukan asimilasi sosial, diantaranya dengan cara kawin campur, persebaran geografis hingga pergaulan sosial yang lebih cair. Sedangkan etnis China cenderung ekslusif, baik dalam perkawinan, pergaulan sosial hingga tempat yinggal yang cenderung dalam satu klaster tertentu.

Kedua, etnis China memiliki sejarah yang agak suram dinegeri ini. Itulah salah satu alasan mengapa Sultan Jogja akhirnya tidak memberi ijin etnis China memiliki tanah di Jogjakarta. Mereka juga pernah bersekutu dengan Belanda dengan membentuk laskar Po An Tui. Jangan lupa juga dengan peran RRC jelang G30S/PKI. Situasi itu sangat kontras dengan etnis arab yang banyak berperan dan turut berjuang memerdekakan bangsa Indonesia.

Ketiga, banyak kasus - kasus kejahatan ekonomi yang melibatkan etnis China. Mega skandal korupsi itu rata - rata dilakukan oleh mereka yang bermata sipit. Termasuk skandal BLBI yang sangat merugikan keuangan negara. Dalam bidang ekonomi, biasanya etnis China dalam posisi superior dan menguasai sumber - sumber ekonomi dibandingkan penduduk lokal. Makanya dulu jaman orde lama sempat ada kabinet Ali Baba. Jangan lupa, Indonesia juga mengimpor banyak hal dari China, dari sekedar cangkul hingga narkoba. Jadi, kalau bangsa Indonesia masih memiliki stereotip yang negatif, ya tidak bisa disalahkan.

Samidi : Apa penyebabnya bukan pada masalah agama hingga mereka dianggap non pribumi tadz?

Mukidi : Hemat kami sih bukan karena agama. Agama Buddha hidup, diakui dan dilindungi di Indonesia. Bahkan dizaman Presiden Gus Dur, diakui pula agama Kong Hucu. Agama Buddha dan Kong Hucu adalah agama yang mayoritas dianut oleh etnis China di Indonesia. Jadi, dalam konteks beragama kedudukannya sudah sejajar dengan agama - agama lain di Indonesia.

Samidi : Tapi, kami koq masih kurang sepakat jika masalah pribumi dan non pribumi hanya ditujukan kepada etnis tertentu saja ya?

Mukidi : Sebenarnya, kami juga kurang sepakat dengan hal itu. Umat manusia zaman sekarang tinggal disebuah desa global. Bahwa istilah pribumi itu memiliki sejarah tersendiri, tentu tidak bisa dipungkiri. Tapi kedepan, istilah ini harus diberi makna baru, yakni pada sifat patriotisme. Bagi etnis China yang memiliki rasa cinta kepada Indonesia, harus diberi penghargaan sepenuhnya. Ada Susi Susanti, Alan Budikusuma hingga Kwik Kian Gie.

Namun sebaliknya, meskipun dia orang jawa asli, tapi jika sikap dan kebijakannya menjadi antek dan kaki tangan negeri lain, maka harus kita cap tidak berjiwa patriot. Dari jaman penjajahan, negeri ini juga memiliki catatan tentang kaum pribumi yang memihak Belanda. Termasuk zaman sekarang, banyak aktivis yang menjadi kaki tangan asing demi menghancurkan Indonesia. Mungkin, inilah pemaknaan kata pribumi dimasa depan. Bukan pada aspek primordial, tapi pada jiwa patriotis yang mereka miliki.

Samidi : Hm,.. bener juga tadz. Berarti, sekarang kita semua harus belajar menjadi pribumi dalam arti yang sebenarnya. Mau etnis jawa, china ataupun arab. Betul tidak tadz?

Mukidi : Yap, betul sekali.

Eko Jun

Sumber :wajada