OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 23 Oktober 2017

Bukan Lagi Petugas Partai? Hubungan Jokowi dengan Mega Menegang dan Mulai Adu Kuat

Bukan Lagi Petugas Partai? Hubungan Jokowi dengan Mega Menegang dan Mulai Adu Kuat


10Berita  - Jokowi itu petugas partai. Begitulah kira-kira kesimpulan normatif di partai berlambang banteng itu. Publik seolah ikut mengaminkan berita-berita media terkait dengan keputusan itu. Namun, apakah faktanya demikian?

Mencermati hubungan politik keduanya, teori dramaturgi Ervin Goffman tampaknya cocok untuk dijadikan sebagai alat analisis. Goffman menggambarkan kehidupan sosial sebagai sebuah drama kehidupan. Ada panggung depan (front stage) yang mempertontonkan hubungan formal, ada panggung belakang (back stage) yang menggambarkan situasi sesungguhnya.

Keputusan formal PDIP bahwa Jokowi adalah petugas partai telah ditunjukkan secara sempurna dalam bentuk hubungan harmonis diantara keduanya di depan publik, terutama ketika ada acara-acara formal yang diliput media. Sikap seolah saling mendukung diantara keduanya menjadi bagian utama pemberitaan yang berhasil disajikan melalui pidato-pidato formal di sejumlah kegiatan yang dihadiri oleh dua matahari di PDIP ini.

Inilah panggung depan (front stage) sebuah drama sosial politik yang dengan rapi dimainkan oleh keduanya.

Namun, bagaimana dengan panggung belakang (back stage) hubungan mereka berdua?

Publik masih ingat saat Budi Gunawan, jenderal polisi senior yang dijadikan sebagai calon tunggal kapolri. Sayangnya, nasib tidak berpihak, ketika Budi Gunawan harus segera berurusan dengan kasus korupsi di KPK. Meski akhirnya bebas di praperadilan, tapi kursi Kapolri oleh Jokowi sudah diberikan kepada orang lain.

Budi Gunawan adalah ajudan Megawati saat jadi presiden. Hubungan keduanya sangat dekat. Sebagian orang berkesimpulan bahwa Budi Gunawan adalah anak emas Ibu Megawati. Promosi menjadi kapolri tentu atas dukungan sepenuhnya dari Megawati. Bisa dipahami jika Megawati harus kecewa atas peristiwa itu.

Mega tidak menyerah. Saat Ahok, "adik kesayangan Jokowi" ini mancari dukungan partai untuk maju pilgub DKI 2016, Megawati melalui PDIP menyambutnya. Bersamaan dengan dukungan yang diberikan oleh Megawati kepada Ahok, Budi Gunawan diangkat menjadi ketua BIN. Tentu ini sulit diterima logika jika dianggap sebagai faktor kebetulan. Dalam politik yang berlaku bukan faktor kebetulan, tapi pertukaran sosial. You mau apa, gue dapat apa, istilah ilmiahnya: All contacts among men rest on the schema of giving and returning the equivalence (Wallace & Wolf, 1980:163).

Dari peristiwa di atas, terlihat ada hubungan ketegangan diantara keduanya. Ketegangan ini kabarnya sudah dimulai sejak awal penyusunan kabinet Jokowi terkait soal komposisi. Pelantikan kabinet dilakukan sebelum keduanya tuntas menemukan kata sepakat.

Jokowi merasa dirinya adalah presiden yang memiliki otoritas penuh mengelola negara. Tapi Megawati adalah penguasa partai pemenang yang tanpa sahamnya Jokowi tidak akan jadi presiden.

Jokowi jelas tidak mau didikte, apalagi dikendalikan dengan "status" sebagai petugas partai. Sementara Megawati dan PDIP ingin lebaran setelah sepuluh tahun menjadi oposisi SBY. Gayung tak tersambut akhirnya menimbulkan ketegangan demi ketegangan diantara keduanya.

Pengalaman ini mendorong Jokowi berinisiatif membangun kekuatan sendiri dengan membuat gerbong yang disebut "partai koalisi" yang terdiri dari Nasdem, Hanura, Golkar, PKB, PPP, PAN, tanpa meninggalkan PDIP. Partai-partai koalisi di luar PDIP dijadikan Jokowi sebagai kekuatan alternatif untuk menghindari ketergantungan kepada -dan dominasi oleh- PDIP.

Konsekuensinya, Jokowi terpaksa mengganti sejumlah menterinya yang berasal dari non partai seperti Andrinof Chaniago, Anies Baswedan, Sudirman Said, dan beberapa nama lain untuk diberikan kepada partai-partai sebagai jatah koalisi. Jokowi terpaksa mengabaikan janji politiknya yakni mengisi mayoritas kabinetnya dengan orang-orang profesional demi memperkuat posisi pemerintahannya.

Jokowi, melalui Luhut Bismar panjaitan berhasil menjadi diligence terhadap partai-partai koalisi non PDIP yang terbukti secara efektif mampu memperlemah posisioning PDIP. Partai-partai ini menurut informasi diduga berada dalam under control Jokowi.

Kesimpulan ini bisa diukur dari keputusan partai-partai koalisi itu yang tidak pernah berseberangan secara politik dengan Jokowi. Melalui gerbong koalisi ini Jokowi tidak hanya mampu menghadapi PDIP, tapi juga efektif untuk menghadapi lawan-lawannya terutama di DPR.

Sebagai pemilik kursi terbanyak di DPR, keberadaan PDIP tidak memiliki keistimewaan di dalam partai koalisi. Bahkan dalam banyak hal, partai-partai koalisi sering membuat langkah dan keputusan bersama dengan meninggalkan PDIP. Tentu ini tidak saja ganjil, tapi lebih mempertegas hubungan diligence partai-partai koalisi dengan pimpinan PDIP yang kurang harmonis.

Ketegangan ini memasuki babak baru ketika Jokowi meramu hubungan yang lebih dekat dengan panglima TNI. Santer terdengar kabar, Jokowi menominasikan Gatot Normantio sebagai bakal calon RI 2 yang akan mendampingi dirinya di pilpres 2019. Kedekatan GN dengan umat Islam menjadi alasan masuk akal bagi Jokowi untuk menggandeng GN dari pada ketua BIN di pilpres 2019.

Memang dugaan ini masih harus dibuktikan. Jika ini benar, maka kegaduhan soal 5000 pucuk senjata beberapa waktu lalu telah mendapatkan argumentasinya. Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai meminta GN mundur jika ingin melakukan manufer politik.

Menjelang pilpres 2019, eskalasi ketegangan diantara dua tokoh di PDIP ini diprediksi akan semakin tajam. Ketegangan ini mendapatkan area pertempurannya di pilkada 2018. Sebab, pilkada 2018 diasumsukan akan menentukan nasib di pilpres 2019.

Siapa yang memenangkan pilkada 2018 ini, terutama di wilayah-wilayah padat penduduk seperti Jawa, Lampung, Sumut dan Sulsel, maka ia akan memenangkan pertarungan di pilpres 2019. Tak heran jika Jokowi rajin turun ke wilayah-wilayah pelosok Jawa Barat. Karena Jawa Barat adalah propinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia, sekitar 18 juta.

Tidak hanya Jokowi, para tokoh nasional saat ini sudah mulai rajin turun gunung.

Pilgub 2018 akan menjadi medan pertempuran Jokowi vs Megawati dalam rangka membangun kekuatan masing-masing. Bukan untuk bersaing di pilpres 2019, karena PDIP nampaknya belum punya kader sekuat Jokowi. Tapi lebih untuk adu kuat dalam negosiasi.

Belajar dari pilpres 2014 yang berhasil mengorbit Jokowi jadi presiden ternyata tidak memberi ruang yang lebar dan leluasa bagi PDIP untuk ikut menentukan pola kelola negara, maka ini menjadi pelajaran berharga untuk mereview kembali  hubungan politik diantara keduanya.

Aroma adu kuat di pilkada ini telah dimulai di Jawa Timur saat Jokowi terlihat memberi dukungannya kepada Khofifah, sementara PDIP bersama PKB telah memutuskan untuk mendukung Gus Ipul.

Lalu siapa yang akan jadi lebih kuat diantara keduanya? Publik mesti sabar menunggu. Siapapun yang akan jadi pemenangnya, tidak otomatis koalisi dua matahari di PDIP ini akan memenangkan pilpres 2019.

Apalagi trend elektabilitas Jokowi akhir-akhir ini turun hingga pada level 36 persen. Posisi yang sangat tidak aman sebagai incumbent.

Oleh: DR Tony Rosydid, Pakar Filasafat dan Direktur Graha Insan Cendikia. (mujahid212)

Sumber :www.beritaislamterbaru.or