Ust. Felix Siauw: Sipit Pribumi, Lokal (Rasa) Kolonial
10Berita -I’m not a big fan of the new Governor, tapi saya termasuk yang merasa aneh ketika ada yang memasalahkan bahkan melapor isi pidato yang berisi kata “pribumi” itu.
Dari segi sudut pandang pelapor, saya bukan “pribumi”. Tetapi saya juga tetap merasa sangat biasa-biasa saja ketika ada yang menggunakan diksi “pribumi” di dalamnya.
Saya tak ingin ikut-ikutan membahas definisi dari segi bahasa, atau dari segi politik, sebab sudah banyak insight yang ditulis berkaitan dengan itu, saya hanya ingin berbagi.
Saya lahir dan besar di Palembang, kota dimana anda akan dengan sangat mudah menemukan orang sipit dan putih di tengah kota, pinggir, atau pinggir sekali.
Itu menandakan sejarah panjang kaum Cina di Palembang, semenjak zaman Cheng Ho, hingga walisongo. Dari hubungan dagang hingga tentu saja penyebaran agama.
Menariknya, dulu ketika saya belum Muslim, mereka bisa membedakan mana sipit “pribumi” dan sipit yang bukan “pribumi”, walau penampakannya sama.
Selepas Muslim, saya baru paham total, bahwa meski sama-sama sipitinya dengan CinaMuslim yang sudah “pribumi”, mengapa saya tetap dianggap pendatang.Rupanya nilai mereka bukan nilai saya, prinsip mereka bukan prinsip saya, yang mereka cintai tak saya cintai, bahkan saya enggan bergaul dengan mereka, saya eksklusif.Setelah memeluk Islam, saya bagian mereka, saya sekarang “sipit pribumi”, berbagi nilai dan cita-cita, prinsip dan aqidah, saya mencintai mereka dan mereka mencintai saya.Tak perlu banyak bahasan saya pikir, bila anda sudah menyatu dengan nilai, prinsip, dan perasaan dengan mereka yang ingin kebaikan, anda “pribumi”, dan tak mudah tersinggung.Sebab yang diakui sebagai pribumi adalah siapa yang memberi manfaat, yang mencintai, yang peduli, yang berbagi aqidah, rasa, dan cita-citayang sama-sama mulianya.Indonesia punya nilai-nilai itu, dariIslam yang sudah dipeluk dan mengakar hingga sanubari ummat, Sesiapa yang mengajak taat, itulah pribumi, yang tak suka,saya tak tahu.Apalagi, nuansa pelaporan ini penuh dendam kesumat, standar ganda, dan aroma kebencian. Pembela penjajah dan semua kepentingannya, itulah orang lokal tapi (rasa) kolonial. (kl/gr)
Sumber : Republika