OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 12 November 2017

Impian Diponegoro Berhaji, Minum Air Zamzam, dan Meninggal di Makkah

Impian Diponegoro Berhaji, Minum Air Zamzam, dan Meninggal di Makkah

10Berita - Kemarin, 11 November, 232 tahun lalu atau 11 November 1785, lahirlah seorang anak laki-laki yang dibeneri nama Mustahar. Anak yang kemudian juga dipanggil dengan nama Raden Mas Antawirya ini, merupakan putra Raja Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono III yang lahir dari garwa ampeyan (selir)nya yaitu Raden Ayu Mangkarawati

Sebenarnya Antawirya adalah seorang putra mahkota yang akan diangkat jadi Sultan Hamengkubuwono IV. Namun dia menolak peluang itu. Bahkan memilih jalan terjal di luar benteng Keraton. Dan, empat puluh tahun kemudian, Antawirya dikenal dengan nama Diponegoro. Di saat itu pula dia menempuh jalan pedang yang membuat Pemerintah Kolonial Belanda tidak akan pernah lupa akan namanya.

Di samping berperang, bangawasan Kraton Jogjakarta yang santri ini adalah pengikut tarikat Nasqabandiyan/Syatariyah. Semenjak masa kanak dia memang belajar agama Islam karena dia adalah cucu seorang kyai besar dari gari ibunya. Maka di masa dewasa, lazimnya seorang Muslim, Pangeran Diponegoro juga menginginkan pergi ke Makkah. Bahkan dia pun ini tinggal dan meninggal di sana.

Beginilah kisah impian Pangeran Diponegoro yang ingin berhaji itu:

Berbarengan kekuasaan Majapahit surut, maka ajaran Islam di Pulau Jawa makin tersebar luas. Tak hanya merembes di kalangan rakyat biasa, para pemimpin kerajaan setelah itu memeluk agama Islam. Bahkan tak segan, seperti kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram mereka menyatakan diri sebagai ‘balad’ (negara Islam).

Seiring dengan itu, maka satu persatu orang dari kepulauan Nusantara pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tercatat Sunan Gunung Jati adalah orang pertama yang berangkat dari Jawa ke Makkah. Kepergian ini dilakukan pada awal akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an atau juga pada masa awal pendirian Kerajaan Islam Demak.

Tak hanya sebagai pusat ritual ibadah haji, pada saat itu posisi Makkah secara berangsur-angsur menjadi pusat perhatian, baik yang sifatnya keilmuan hingga sarana legitimasi politik. Kebetulan pula Makkah saat itu berada dibawah kekuasaan ‘super power ‘ dunia abad pertengahan Turki Usmaniyah (Ottoman).

Sedangkan 'orang Jawa' yang pertama kali berangkat ke tanah suci Makkah tercatat diantaranya adalah utusan Pangeran Rangsang dari Kraton Mataram yang saat itu pusatnya masih berada di Kota Gede (kota kecil di selatan Yogyaakrta). Kelak ketika naik takhta pangeran ini kemudian dikenal sebagai Sultan Agung.

Kepergian mereka ke Makkah diperkirakan terjadi pada tahun 1620-an. Namun kepergian mereka sebenarnya merupakan rombongan resmi kenegaraan yang kedua, setelah sebelumnya rombongan asal Kerajaan Banten mendahuli kepergian mereka.

Apa tujuan kepergian mereka ke Makkah? Jawabnya, selain untuk menunaikan ibadah haji, utusan tersebut juga hendak meminta izin untuk memakai gelar 'Sultan' di depan nama atau gelaran raja mereka. Selain itu juga diindikasikan kepergian mereka untuk menemui ‘syarif Makkah’ adalah untuk meminta ‘perlindungan’ bahwa mereka itu adalah mitra atau bahkan sekutu dari imperium Ottoman Turki (Turki Usmani).

Dan ketika balik, selain membawa oleh-oleh tanah pasir gurun yang ada di Makkah, rambut nabi, bendera kerajaan Ottoman, mereka pun mendapat restu dari ‘Syarif Makkah’ untuk memakai gelar Sultan di depan nama rajanya. Maka mulai saat itu gelar Raja Mataram memakai nama Sultan, atau tak lagi menggunakan gelar Sunan (Susuhunan) seperti gelar raja pada era Majapahit.

Kenyataan sejarah itu sejalan dengan isi pidato Sultan Hamengku Bawono ke X saat membuka Konggres Umat Islam pada awal Februari  2015. Pada forum itu Sultan menegaskan kembali soal kaitan Kraton Yogyaarta dengan Kerajaan Turksi Usmani dan juga kaitan orang dari Kraton Jogjakarta yang dibiayai pergi ke Makkah atas restu Sultan Yogyakarta.

‘’Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya kini tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki,’’ kata Sultan.

Soal kebiasaan Kraton mengirimkan abdi dalemnya pergi haji ke Makkah yang juga dilakukannya hingga pada ‘masa moderen’, Sultan menyatakan:

’Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa keberangkatan KH Ahmad Dahlan, yang saat itu adalah abdi dalem Kraton, justru atas dorongan dan dukungan Sri Sultan HB VII. Bakda membaca dalam “Tafsir AL Manaar” karya Abduh, pada 1912 ia pun mendirikan perserikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.’’

Sumber : Republika.co.id