OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 23 November 2017

Soal ‘Kepercayaan’ Masuk Kolom Agama KTP, Din Kecewa MK tak Libatkan Ormas Islam, Kemenag & DPR

Soal ‘Kepercayaan’ Masuk Kolom Agama KTP, Din Kecewa MK tak Libatkan Ormas Islam, Kemenag & DPR

Rapat Pleno ke-22 Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI, Rabu (22/11/2017) membahas masalah-masalah kebangsaan, dipimpin Ketua Wantim MUI Prof Dr HM Din Syamsuddin, MA (kedua dari kanan). (Foto: EZ/Salam-Online)

10Berita - JAKARTA  Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI Prof Dr HM Din Syamsuddin menyatakan, seyogianya dalam keputusannya terkait pencantuman Aliran Kepercayaan dalam kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga (KK), MK turut melibatkan unsur-unsur, baik ormas-ormas Islam, DPR maupun instansi negara seperti Kemendagri dan Kementerian Agama.

“Terkait hal ini menyangkut agama seyogianya Kementerian Agama juga diundang, namun Menteri Agama menyampaikan kepada saya bahwa Kementerian Agama tidak diundang, ini sungguh disesalkan,” ujar Din dalam konferensi pers usai Rapat Pleno ke-22 Wantim MUI di kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Jakarta, Rabu (22/11/2017).

Menurut Din, apa yang dilakukan oleh MK telah menimbulkan kontroversi. Ia menyatakan kekecewaannya MK membahas soal ini secara diam-diam sebelum mengeluarkan keputusan tanpa melibatkan ormas-ormas Islam dan unsur-unsur terkait lainnya.

“MK telah menimbulkan kontroversi dalam kehidupan nasional. Kami kecewa MK membahas soal putusan tersebut secara diam-diam dan tidak mengundang pihak-pihak yang seyogianya diundang seperti ormas Islam,” kata mantan Ketum PP Muhammadiyah ini.

Ia melihat ada gelagat dan upaya melakukan distorsi pemutarbalikan fakta terhadap tafsir dari konstitusi. “Memang MK memiliki kewenangan untuk memberikan tafsir bahkan keputusannya final dan mengikat, tetapi tidak bisa semena-mena memberikan tafsir yang bertentangan dengan kesepakatan nasional yang telah ada,” terangnya.

Tafsir yang harus diberikan, kata Din, harus betul-betul historis konstitusional terhadap nilai-nilai kenegaraan dan kesepakatan sejak dulu melalui ketetapan MPR nomor 4 tahun 1978.

“Di situ disebutkan bahwa aliran kepercayaan itu bukanlah agama dan tidak bisa disetarakan dengan agama. Maka klausul pada pasal 29 Undang-Undang dasar 1945 ayat 1 memberi kebebasan kepada warga negara untuk menunaikan atau menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu,” tegas mantan Ketua Umum MUI ini. (EZ)

Sumber : Salam Online.