OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 11 Desember 2017

Heboh! Puisi Santri Jokowi “Kholifah Kami” Bak Malaikat, Benarkah Jokowi Kholifah? Begini Penjelasannya

Heboh! Puisi Santri Jokowi “Kholifah Kami” Bak Malaikat, Benarkah Jokowi Kholifah? Begini Penjelasannya


10Berita - Mengutip Republika 10/12/2017, Presiden Joko Widodo mendapat sebuah puisi berjudul “Khalifah Kami” dari seorang santri di Pondok Pesantre Tremas, Pacitan.

“Khalifah kami, di hari ini di Pondok Tremas yang kami cintai, datang bak seorang malaikat yang datang bagai merpati,”

“Dengan anggun mengobati gerah hati ini, akibat air bah yang bertamu di pondok kami, dengan semangatnya memacu energi kami hati agar kuat menghadapi kenyataan ini, kucium semerbak harum akan pengabdian sejati,”

“Beliau lah khalifah negeri ini, bukan negeri Islam yang pasti, tapi negeri yang penuh cinta warna dan budaya, beliau lah khalifah kami, pemimpin kami, beliaulah bapak Jokowi,”. (republika)

Senada dengan puisi tersebut, sebelumnya Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Masdar Mas’udi berpendapat Presiden Indonesia bisa dianggap sebagai Khalifah. Menurutnya, pemimpin dalam konsep Khalifah menekankan keadilan universal, tidak sempit. (kumparan)

Apakah Jokowi Khalifah?
Diasuh oleh: Ustadz M. Shiddiq al Jawi

Tanya :

Ustadz, apakah Jokowi dapat dianggap sebagai khalifah bagi kaum Muslimin di Indonesia?

Jawab :
Jokowi tak dapat dianggap sebagai khalifah, karena 4 (empat) alasan berikut :
Pertama, karena anggapan Jokowi sebagai khalifah itu sifatnya hanya anggapan sepihak oleh pihak tertentu. Pada sisi lain Jokowinya sendiri tidak pernah diangkat (dibaiat) sebagai khalifah oleh pihak tertentu itu.

Padahal menjadi khalifah itu tak bisa hanya dengan klaim sepihak, melainkan wajib ada akad (baiat) oleh dua pihak, seperti dijelaskan oleh Imam Al Mawardi. Dua pihak itu adalah; ahlul ikhtiyar(sekelompok wakil umat sebagai ahlul halli wal aqdi), dan ahlul imamah (calon imam/khalifah).(Imam Al Mawardi, Al Ahkamus Sulthaniyyah, hlm. 5-6).

Kedua, karena sumpah yang diucapkan Jokowi di hadapan MPR tak dapat dianggap sebagai baiat, sehingga implikasinya Jokowi tidak boleh disebut khalifah.

Hal itu karena sumpah (al halfu/al yamin) bukanlah baiat. Karena sumpah dalam fiqih Islam hanya dimaksudkan untuk menegaskan pernyataan dari pihak yang bersumpah, bukan dimaksudkan sebagai cara pengangkatan menjadi khalifah. Lagipula pengucapan sumpah itu merupakan perbuatan hukum (tasharruf)yang bukan akad, yaitu tidak memerlukan kesepakatan dua pihak dan dapat sah hanya oleh satu pihak saja, yaitu pengucap sumpah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/72).

Ketiga, karena Jokowi tak menjalankan tugas-tugas seorang khalifah, sehingga tak layak Jokowi dianggap sebagai seorang khalifah.

Sebagian ulama telah merinci tugas khalifah itu menjadi sepuluh macam tugas, seperti memelihara ajaran agama (hifzh al diin), menerapkan hukum-hukum syariah, menerapkan huduud, melaksanakan jihad fi sabilillah, dsb. (Imam Al Mawardi, Al Ahkamus Sulthaniyyah, hlm. 15; Imam Abu Ya’la Al Farra`,Al Ahkamus Sulthaniyyah, hlm. 11).

Para ulama meringkas tugas-tugas khalifah itu menjadi dua tugas saja, yaitu memelihara agama (hirasah al diin) dan mengatur kehidupan dunia dengan agama. (siyasah al dunya). (Nihayatul Muhtaj, Juz 7 hlm. 389).

Andaikata benar Jokowi khalifah, seharusnya dia menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Faktanya tidak. Misalnya, Jokowi tak melaksanakan huduud, tak berjihad fi sabilillah, dan tak menerapkan hukum-hukum syariah (kecuali secara parsial), bahkan sebaliknya berencana menghapus perda-perda syariah.

Kalaupun Jokowi menerapkan syariah, itu hanya parsial saja, misal ibadah (seperti haji) atau hukum-hukum keluarga (nikah, cerai, dll), dan sedikit muamalah (perbankan syariah, zakat, dll). Penerapan parsial ini jelas melanggar syariah Islam itu sendiri. Karena Allah SWT mewajibkan penerapan syariah secara menyeluruh (kaffah). (QS Al Baqarah [2] : 208).

Keempat, karena Jokowi tidak memenuhi sebagian syarat akad khalifah (syuruth al in’iqad). Secara lengkap terdapat 7 (tujuh) syarat akad khalifah, yaitu : (1) muslim, (2) laki-laki, (3) berakal, (4) baligh, (5) merdeka (bukan budak), (6) adil (tidak fasik), dan (7) berkemampuan. (Taqiyuddin An Nabhani,Muqaddimah Ad Dustur, Beirut : Darul Ummah, 2009, Juz I hlm. 130-133).

Dari ketujuh syarat tersebut, Jokowi hanya memenuhi lima syarat, yaitu; muslim, laki-laki, berakal, baligh, dan bukan budak. Sedang dua syarat, yaitu adil (tidak fasik) dan mampu, tidak dipenuhi oleh Jokowi. Karena Jokowi sebagai kepala daerah (Surakarta dan DKI), dipastikan terlibat transaksi ribawi, yang merupakan kefasikan yang menghilangkan sifat adil (‘adalah). Dari segi kemampuan Jokowi mungkin secara fisik dia mampu. Tapi secara ilmu jelas tidak. Karena seorang khalifah harus mempunyai ilmu Syariah Islam dalam berbagai aspeknya, seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.

Jadi, anggapan Jokowi sebagai khalifah adalah tidak benar, dan hanya merupakan laghwun (omong kosong), yaitu ucapan sia-sia yang tidak ada artinya. Tujuannya bukan untuk mendidik umat Islam, tapi justru untuk membodohi mereka, seraya memberi legitimasi palsu kepada pemimpin sistem sekuler. Wallahu a’lam.

Sumber : pembelaislam.com