OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 22 Desember 2017

Inilah Pandangan Islam Mengenai Imunisasi

Inilah Pandangan Islam Mengenai Imunisasi

 


10Berita - Seperti yang kita ketahui bahwa imunisasi merupakan pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh. Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak, karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, namun ada juga vaksin yang diberikan kepada orang dewasa.

Di balik pentingnya imunisasi, terdapat pendapat pro kontra di kalangan masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa imunisasi berasal dari zat yang haram atau najis dan terdapat efek samping. Sedangkan, pendapat lainnya mengatakan bahwa imunisasi memiliki manfaat untuk manusia.

Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai imunisasi?

Imunisasi termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتِ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ فِيْ ذَ لِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ

Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar sehari itu dari racun dan sihir.” (HR. Al-Bukhari: 5768 dan Muslim: 4702).

Hadits di atas menjelaskan mengenai disyari’atkannya untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi. Begitu pula jika khawatir terhadap suatu wabah penyakit dan melakukan imunisasi untuk membentengi diri dari wabah yang menimpa, maka hukumnya boleh seperti bolehnya berobat ketika terserang penyakit.

Lalu, bagaimana pandangan Islam mengenai imunisasi yang menggunakan Vaksin Polio Khusus (VPK), di mana proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi?

Sahabat Ummi, seperti yang kita ketahui bahwa babi merupakan hewan najis dan diharamkan oleh Allah Ta’ala. Allah berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ۬ وَلَا عَادٍ۬ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 173).

Ayat di atas menjelaskan bahwa bolehnya mengonsumsi makanan yang haram tersebut dalam kondisi darurat. Semua yang asalnya haram pun bisa menjadi boleh jika dalam kondisi darurat.

Dalam Islam, kondisi darurat atau dharurat merupakan suatu keadaan terdesak untuk melanggar keharaman, yaitu ketika seseorang memiliki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak melanggar larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badannya, hartanya atau kehormatannya.

Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

Darurat itu membolehkan suatu yang terlarang.

Tetapi, kaidah di atas harus memenuhi dua persyaratan, yaitu sekadar untuk kebutuhan saja dan tidak ada pengganti lainnya yang boleh (mubah atau halal).

Dilansir dari laman mediaimunisasi(dot)com, menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), imunisasi pada dasarnya dibolehkan atau mubah, sebagai bentuk usaha untuk mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya penyakit tertentu. Jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebakan kematian, penyakit berat atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.

Sahabat Ummi, dapat disimpulkan bahwa hukum imunisasi merupakan mubah. Jika ingin dilakukan silahkan dan tidak mendapat pahala. Sementara jika tidak dilakukan, maka tidak berdosa. Oleh sebab itu, lakukanlah sesuai dengan masing-masing keyakinan. Jangan sampai perbedaan pendapat ini menjadikan umat Muslim menjadi terpecah-belah. Wallahua’lam bishowab. (Dina Nazhifah)

Sumber: almanhaj(dot)or(dot)id, muslim(dot)or(dot)id, kesehatanmuslim(dot)com

Ilustrasi: Google