Keleidoskop 2017: Ironi Kasus Hoax dan Hate Speech
10Berita , Jakarta – Sejumlah kasus terkait penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian (hate speech) mengiringi berjalannya tahun 2017. Tak dipungkiri, perkembangan media sosial yang tak terukur menjadi salah satu sebab munculnya kasus-kasus tersebut. Selain, faktor kepentingan golongan tertentu dan politik kekuasaan.
Dalam hal ini, Kiblat.net mencoba menampilkan sejumlah kasus penyebaran hoax dan hate speech sepanjang 2017, baik yang sudah melalui proses hukum dan diputuskan, ataupun yang berjalan tanpa titik terang.
Habib Rizieq Syihab Dipolisikan Satpam
Pada Januari 2017, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS) dipanggil pihak kepolisian terkait dugaan penyebaran kebencian berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), melalui media elektronik.
HRS di dalam video ceramahnya yang dijadikan bukti, menyebut Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan mendorong Gubernur Bank Indonesia (BI) agar melaporkan dirinya terkait logo seperti palu arit di uang rupiah baru. HRS menggunakan kalimat “pangkat jenderal otak hansip” untuk menyebut Iriawan.
Asal laporan ini dibuat oleh Anggota Kamtibmas (Hansip) Eddie Soetono yang melihat video ceramah tersebut dan melakukan pelaporan ke Polda Metro Jaya. Dalam laporan itu, HRS dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Atas ungkapan HRS di ceramah tersebut, Kapolda Iriawan mengaku tidak terhina dengan ungkapan tersebut. Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar di markas Polda Metro Jaya, Rabu (18/01/2017), mengatakan tidak tahu menahu tentang si pelapor dan aktivitasnya.
Anies Baswedan Difitnah Miliki Istri Simpanan
Awal Februari 2017, Anies Rasyid Baswedan yang saat itu baru mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta difitnah oleh akun Twitter @chicohakim milik Chico Hakim, pengusaha yang juga tim sukses Ahok-Djarot. Chico mengatakan Anies memiliki istri simpanan dan selingkuhan.
Namun, tak seperti HRS yang dilakukan pemanggilan di Polda Metro Jaya karena laporan hansip, Cicho Hakim tak dipanggil polisi. Karenanya, Tim Pengacara Anies melihat polisi melakukan pilih kasih dalam mengusut laporan tentang ujaran kebencian tersebut.
Iwan Bopeng Ancam Potong Leher Tentara
Saat masih ramai pencoblosan pemilihan Gubernur DKI Jakarta, muncul satu nama yang melakukan tindak provokasi dan melakukan ujaran kebencian. Dengan memakai baju kotak-kotak khas pendukung Ahok, Iwan Bopeng di TPS 26, Kelurahan Palmeriam, Jakarta Timur, saat hari pencoblosan tanggal 15 Februari.
Iwan melontarkan ungkapan emosinya kepada seseorang di TPS dengan kata-kata kasar dan menyinggung tentara. “Itu anak siapa itu. Tentara gue potong di sini, ya apalagi elu,” ungkap Iwan dalam video pendek sebagaimana viral di media sosial.
Namun, polisi tidak melakukan pengusutan terhadap Iwan dengan alasan tidak ada yang melaporkan. Padahal, polisi sendiri memiliki kewenangan untuk mengusut suatu kasus. Seperti menggunakan laporan model-A.
Polisi mengaku sempat melakukan konfirmasi terhadap sejumlah orang, terkait ujaran Iwan. Tetapi, polisi mengungkapkan pemeriksaan itu belum masuk ke tahap penyelidikan, hanya sebatas konfirmasi saja.
Iwan diduga telah melakukan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa. Sehingga dapat dijerat pasal 207 KUHP, tentang penghinaan terhadap penguasa dan badan umum dengan ancaman penjara 1 tahun 6 bulan.
Aktivis Medsos, Jonru Ginting Singgung Etnis Cina
Pegiat media sosial Jonru Ginting telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian. Penetapan tersangka ini terkait sejumlah postingan di akun Facebooknya.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Adi Deriyan Jayamarta mengungkapkan beberapa postingan Jonru yang membuatnya kini mendekam di tahanan polisi. Salah satunya unggahan terkait Quraish Shihab saat ditunjuk menjadi imam shalat Id di Masjid Istiqlal.
“Iya, soal Pak Quraish Shihab, pahlawan-pahlawan, dan yang menyinggung etnis China,” ujar Adi di Mapolda Metro Jaya, Jumat (06/10/2017).
Dalam postingan tersebut, Jonru mempermasalahkan Quraish Shihab yang akan menjadi imam salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta, beberapa waktu lalu. Menurutnya, Quraish Shihab tak pantas menjadi imam lantaran pernyataannya yang menyebut wanita muslim tak perlu menggunakan jilbab.
Jonru dalam unggahannya bahkan memprovokasi umat Islam agar tak ikut salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal selama yang menjadi imamnya adalah Quraish Shihab. Dalam perkara ini, Jonru dijerat pasal berlapis.
“Pasalnya di UU ITE, penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan penghinaan terhadap suatu golongan,” kata Adi.
Asma Dewi dan Saracen
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap Asma Dewi, di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Jumat (08/09/2017). Mulanya, polisi menangkap Dewi karena mengunggah konten ujaran kebencian dan penghinaan agama dan ras tertentu.
Berdasarkan pengembangan polisi, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan bahwa Dewi diduga mentransfer uang sebesar Rp 75 juta ke pengurus inti kelompok Saracen. Kelompok tersebut sebelumnya diciduk lantaran menyebarkan ujaran kebencian dan konten berbau SARA di media sosial.
Polisi menyebut nama Asma Dewi, tersangka kasus ujaran kebencian, ada di dalam struktur kelompok Saracen. Hal tersebut dibantah oleh pengacara Asma Dewi, Juju Purwanto.
“Bu Dewi, Asma Dewi tidak pernah mengetahui atau terlibat apa yang disebut Saracen,” kata Juju saat berbincang dengan detikcom, Kamis (14/09/2017) malam.
Untuk itu, Juju mempertanyakan bagaimana bisa kliennya berada dalam struktur Saracen. Dia meminta kepolisian untuk fokus kepada apa yang disangkakan kepada kliennya yakni pasal ujaran kebencian.
“Kami berharap dan kami mengimbau seperti apa yang disangkakan pasal ke Asma Dewi yang UU ITE itu saja yang menjadi subtansi pemeriksaan polisi tidak melebarkan kemana-mana. Yang secara jelas klien saya tidak tahu dan tidak pernah berhubungan saracen itu,” jelas Juju.
Kini, Asma Dewi tengah menjalani persidangan, dan dalam pembacaan surat dakwaan, JPU hanya mendakwakan Asma Dewi dengan empat pasal alternatif. Tidak ada satu pun yang menyebutkan kata “Saracen” ataupun “Rp 75 juta”. Ini berbeda sekali ketika pertama kali Asma Dewi ditangkap.
Ujaran Provokasi Politikus Partai Nasdem, Victor Laiskodat
Salah satu Ketua DPP Partai Gerindra Iwan Sumule melaporkan politisi Partai Nasdem Viktor Bungtilu Laiskodat ke Bareskrim Polri, Jumat (04/08/2017) sore.
Iwan menuding Viktor menghasut masyarakat untuk melakukan kekerasan dan menebarkan kebencian. Berbekal rekaman video yang beredar di media sosial serta berita sejumlah media online, Irwan mendatangi Piket Siaga Bareskrim Polri, di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta.
“Ada beberapa bagian. Pertama, soal bagaimana Viktor memprovokasi rakyat untuk saling membunuh. Bung Viktor menyatakan, kalau (kelompok ekstremis) datang ke kita, daripada kita yang dibunuh, kita bunuh duluan,” ujar Irwan seusai melapor.
Kedua, dalam video itu, Viktor juga mengatakan bahwa Partai Gerindra adalah partai politik nomor satu yang mendukung kelompok yang menginginkan terwujudnya khilafah di Indonesia. Bagi Iwan, pernyataan Viktor tersebut menciderai kredibilitas partainya.
“Karena di visi misi Partai Gerindra, sudah sangat jelas, mempertahankan kedaulatan dan tegaknya NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” ujar Iwan.
Dikutip dari Laporan Polisi yang diterima Kompas.com, tanda bukti lapor (TBL) laporan Iwan tersebut adalah bernomor TBL/510/VIII/2017/BARESKRIM. Adapun, Nomor Laporan Polisi, yakni LP/773/VIII/2017/BARESKRIM tertanggal 4 Agustus 2017 dan ditandangani Iptu Geo Veranza Rinaldy.
Dalam kolom ‘Perkara’, Irwan tercatat melaporkan Viktor atas pencemaran nama baik melalui media elektronik serta penghinaan dan kejahatan tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
Viktor dilaporkan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik dan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2), Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Sampai saat ini, kasus Victor seakan tak ada lanjutannya. Baik di media online maupun media cetak, tidak ada yang memberitakan kasus Victor yang didalami kepolisian.
Arya Wedakarna dan Tindak Persekusi Ustadz Abdul Somad
Dai kondang, Ustadz Abdul Somad (UAS) yang merupakan Dosen Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, Riau pada awal Desember 2017 ditolak untuk mengisi ceramah di Bali. Akibatnya, UAS terpaksa tinggal di hotel tempatnya menginap, yakni di Hotel Aston, Denpasar.
UAS ditolak untuk menyampaikan ceramah di wilayah Provinsi Bali terkait dengan Maulid Nabi Muhammad SAW dalam rangkaian safari dakwah, Jumat-Minggu (8-10/12/2017), Namun, penolakan disampaikan melalui unjuk rasayang digelar di depan Hotel Aston.
Mereka yang berunjuk rasa mengatasnamakan diri dari kelompok organisasi kemasyarakatan dan pendukung anggota DPD RI, Arya Wedakarna. Sedianya, UAS ceramah di Masjid An-Nur di Jalan Diponegoro, Denpasar. UAS ditolak ceramah karena sebelumnya dianggap telah menyinggung agama lain.
Kelompok yang berunjuk rasa pun telah melaporkan UAS kepada Polda Bali. Sempat tertangkap kamera diduga oknum pengunjuk rasa membawa senjata tajam, seperti sebuah pisau namun cukup panjang. Di sela unjuk rasa penolakan, beberapa orang menemui UAS untuk melakukan negosiasi. Hingga Jumat sore, UAS akhirnya tetap ‘nekad’ untuk berceramah di beberapa masjid, antara lain Masjid Sudirman dan Masjid An-Nur,
Sementara itu, Arya Wedakarna telah menjalani pemeriksaan oleh Krimsus Polda Bali setelah sebelumnya dilaporkan oleh Pihak pengacara ke Mabes Polri dan Polda Bali. Arya dipanggil pada hari Jumat siang (22/12/2017) terkait postingannya di Facebook yang diduga kuat menjadi latar belakang penolakan dan persekusi terhadap UAS.
Koordinator Tim Advokasi Forum Peduli Ustadz Abdul Somad, Zulfikar Ramly menegaskan bahwa pemeriksaan itu benar adanya. Menurut penjelasannya, Arya menjalani pemeriksaan selama hampir selama delapan jam.
“Sudah diperiksa kemarin (Jumat). Dari jam 10 sampai jam 6 sore. Yang saya tahu, Arya diperiksa kemarin. Mudah-mudahan prosesnya bisa menimbukan hasil yang baik,” ungkapnya kepada Kiblat.net pada Sabtu (23/12/2017) melalui sambungan suara.
Untuk diketahui, pada 20 Desember lalu, Arya juga telah dilaporkan oleh Putu K Muliastawa ke Polda Bali. Ini merupakan laporan ke-5 terhadap Arya Wedakarna pasca terjadinya penolakan dan persekusi terhadap UAS saat melakukan safari dakwah di Bali.
Penulis: Muhammad Jundii
Sumber : Kiblat.