OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 14 Desember 2017

Keong Sawah Pengganti Daging Sapi, Inikah Solusi?

Keong Sawah Pengganti Daging Sapi, Inikah Solusi?


Oleh : Mimin Asy Syahidah, S.P  

"Daging mahal, konsumsi keong sawah!" Agak geli mendengarnya. Tapi ini bukan pernyataan seorang petani yang sehari-hari bergelut di sawah. Bukan. Terlepas becanda atau serius, ini adalah statement sekaligus solusi yang disampaikan oleh seorang Menteri Pertanian (Mentan) menyikapi tingginya harga daging sapi di pasaran.  

Mentan menyarankan agar masyarakat beralih ke komoditas lain yang proteinnya sama dengan daging. Karena harga daging masih berada di kisaran lebih dari seratus ribu Rupiah. Komoditas yang dimaksud adalah tutut (keong sawah). Yah, keong sawah jadi pilihan Mentan karena dianggap memiliki protein yang sama dengan sapi. Namun hal itu hanya bisa memberi solusi rumah tangga konsumen.

Keong sawah memang bukan panganan yang baru. Banyak masyarakat yang sudah biasa mengonsumsi. Terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Lalu bagaimana dengan rumah tangga produksi? Terutama pengusaha kuliner yang menjadikan daging sapi sebagai bahan baku utama. Apakah bisa tergantikan dengan keong sawah? Haruskah ada menu semur keong, rendang keong, dan lain sebagainya?

Solusi Asbun (Asal Bunyi) dari Para Menteri

Statement semacam ini bukan kali ini saja. Hal senada sebelumnya juga terucap dari beberapa menteri. Sebut saja, Kemeko PMK yang menyatakan, "Beras mahal, rakyat miskin harus diet dan puasa!". Juga dari Kemendag, "Bawang putih mahal, tak usah makan bawang.", "Cabe mahal, tanam sendiri". "Solusi Canggih" ini sangat jelas mengindikasikan para menteri ini tidak kapabel di bidangnya.

Rasulullah mengingatkan, "Jika suatu urusan diserahkan bukan pd ahlinya, tunggulah kehancurannya." (HR. Bukhari).

Masyarakat menginginkan dengan diangkatnya seorang pemimpin, ada yang mengurusi urusan mereka. Sehingga kebutuhannya lebih mudah didapat dan diatasi. Seperti ketika beras mahal. Rakyat ingin ada solusi nyata agar beras tak lagi mahal, harganya stabil, dan kualitasnya tetap baik. Bukan solusi dengan puasa dan diet. Karena itu tidak menyelesaikan masalah. Bukan pula dengan operasi pasar dengan menghadirkan beras murah kualitas rendah.

Demikian pula dengan mahalnya daging sapi. Walaupun tidak akan menimbulkan gejolak yang dahsyat pasalnya bukan makanan pokok, tapi ini juga menyangkut kebutuhan rakyat. Dan mereka butuh solusi nyata. Bukan malah rakyat dibuat bingung sendiri. Terutama rumah tangga produksi, dilema antara menaikkan harga jual yang itu berimbas pada menurunnya konsumen, atau mengurangi volume produksi yang hal ini akan berakibat berkurangnya produktifitas. Atau bahkan untuk rumah tangga konsumen malah diberi solusi dengan konsumsi keong sawah.

Seharusnya pemerintah memperhatikan ketersediaan daging di pasaran. Dengan memperhatikan kuantitas dan kualitas peternak rakyat. Sehingga solusinya bukan konsumsi keong dan juga bukan dengan impor. Namun pemimpin yang berani mengambil kebijakan seperti itu sangat sulit untuk digapai selama yang berlangsung adalah politik transaksional.

Para menteri diangkat karena demi memenuhi banyaknya kursi di parlemen. Hal inilah yang sangat membuka peluang orang-orang yang tidak kredibel menduduki jabatan yang kadang dia sendiri tidak kapabel dalam bidang tersebut.

Pemegang Setir Seharusnya Amanah

Abainya peran pemerintah mengindikasikan bahwa mereka dipilih bukan untuk melayani sebagaimana seharusnya. Mereka dipilih untuk memenuhi jatah kursi dari partainya. Selama politik transaksional mengalahkan politik rasional, maka selama itu pula persoalan-persoalan baru muncul tanpa solusi yang jelas. Politik transaksional hanya melihat semua dari materi. Maka tak heran pemimpin yang dihasilkan akan lupa dengan rakyatnya.

Ia hanya akan peduli dengan diri dan golongannya. Dan inilah yang ada di Indonesia saat ini. Tak ayal, urusan-urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak ditanggapi sekedarnya, tidak menjadi sesuatu yang urgent. Salah satunya kelangkaan daging sapi ini. Padahal sejatinya pemimpin diangkat untuk memegang setir kendali demi tercapainya tujuan bersama, bukan sekadar memberi solusi tanpa demi cari keuntungan sendiri. (rf/)

Ilustrasi: Google

Sumber :voa-islam.com