Kilas Balik Politik Nasional 2017: Dari Ahok Sampai Setnov
10Berita, Tahun 2017 sebentar lagi akan berakhir, berbagai peristiwa penting turut mnghiasi perjalanan Indonesia sebagai bangsa. Terkhusus dalam konteks politik, negara ini masih belum mencapai politik yang berkualitas, masih berpedoman pada kuantitas. Kuantitas yang dimaksud di sini adalah bahwa elit politik tak begitu peduli dengan ‘pendidikan politik’, yang mereka tahu hanya bagaimana kekuasaan digenggam, sebanyak mungkin, selama mungkin.
Persoalan kita selalu pada sisi bagaimana ‘mengisi kekuasaan’, seringkali proses politik yang berdarah darah tak diisi dengan pembangunan politik yang sustainable (berkesinambungan). Hal inilah yang disebut para pengamat sebagai demokrasi prosedural (hanya berbicara siapa yang akan kita pilih untuk memimpin) belum sampai pada fase demokrasi substansial (berbicara kemaslahatan rakyat, dengan: pembangunan, penyempitan kesenjangan, pelestarian lingkungan dan lain sebagainya).
Bagaimana mungkin perekonomian negara stabil jika politik tidak stabil. Dua hal yang akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, pertama: politik, kedua: keamanan. Kita patut bersyukur karena aparat Polri-TNI masih berada di ‘garis tengah’ untuk memastikan keamanan di dalam negeri. Bagaimana dengan politik nasional kita? Masihkah dendam pemilu lalu membekas? Adakah harapan untuk tahun politik 2018 dan puncaknya 2019?
Rangkum Politik 2017
Kalau kita mengurutkan kegaduhan politik selama 2017, Pilkada DKI februari lalu masih menduduki puncak klasemen. Pasalnya, akibat ‘keseleo lidah’ seorang Ahok, bangsa ini terkuras energinya. Lautan massa berkali kali turun ke jalan akibat keyakinannya yang diyakini telah dinodai oleh Ahok.
Ahok menjadi trending topic di mana mana sampai dirinya dijebloskan ke jeruji besi pada bulan Mei lalu. Ahok effect mencetak sejarah, lautan massa terbanyak sepanjang aksi demonstrasi di Indonesia, jumlahnya tak bisa pasti, jutaan warga bukan hanya dari DKI tumpah ruah, tergerak akibat ucapan Ahok. Tetapi syukurnya, tak ada amarah di aksi massa tersebut, mereka mencerminkan demonstrasi yang konstitusional.
Buntut dari kasus ini adalah semakin banyaknya sentimen SARA berkelindan di laman sosial media kita. Akun akun provokatif begitu marak, negara tidak cepat membasminya. Persinggungan SARA sampai detik ini masih membabi buta di sosial media. Tugas polisi tentu bukan hanya menangkapi penghina berbasis SARA, oleh sebab itu, warga negara perlu bijak bermedia sosial, pun para elit politik perlu mendukung integrasi nasional bukan malah sebaliknya.
Seperti kasus Viktor Laiskodat ketua Fraksi Nasdem DPR RI. Agustus 2017, Viktor dalam sebuah acara di NTT menyebut beberapa partai politik pro khilafah dan intoleran. Viktor bahkan berujar secara frontal: kita bunuh pertama mereka sebelum kita dibunuh. Viktor menuduh Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN sebagai partai yang dimaksudnya. Viktor pun dalam pidato tersebut seketika menjadi ahli agama dengan mengatakan bahwa khilafah itu mewajibkan semua (termasuk non muslim) untuk salat. Tak pelak, pidato tersebut menimbulkan amarah bagi kaum Islam Indonesia.
Sangat disayangkan, tokoh politik seperti Viktor Laiskodat memiliki ‘cacat pikir’ sehingga lagi lagi, sentimen SARA kembali bak ‘api dalam sekam’. Dengan ucapan Viktor yang provokatif tersebut, berkali kali aksi massa tumpah ruah ke jalan. Tadinya kita berpikir para politisi bisa mengambil pelajaran dari Ahok, ternyata semakin parah. Yang sangat disayangkan selanjutnya, proses hukum dari Viktor yang berjalan lamban, padahal ia telah memprovokasi, mengoyak kerukunan umat beragama.
Oktober 2017, kegaduhan lain datang dari mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Gatot mengungkapkan ada 5.000 senjata ilegal yang didatangkan oleh instititusi nonmiliter ke Indonesia, Gatot menyampaikan hal itu di acara silaturahmi dengan purnawirawan jenderal dan perwira aktif TNI pada, Jumat 22 September 2019 (Tempo.co, 2/10/17)
Diketahui sebelumnya bahwa 500 senjata tersebut milik BIN untuk sekolah intelijen seperti dikutip dari pernyataan Wiranto, kemudian senjata berat dengan jenis SAGL (Stand Alone Grenade Launcher) yang tertahan di Bandara Soetta adalah miliki korps Brimob Polri.
Pernyataan Gatot ini membuat gaduh, membuat publik bertanya. Setidaknya ada dua pertanyaan penting menyikapi kisruh soal senjata ini. Pertama: apakah Polri dan TNI tidak ‘seakidah’ lagi dalam memandang kepentingan nasional?. Kedua: apakah ancaman eksternal sudah menggunung, yang menyebabkan institusi selain TNI juga berbenah dengan persenjataan canggih?
Gatot akhirnya dipanggil Presiden namun ia enggan membeberkan perbincangannya dengan Presiden. Akibatnya, Gatot kerap disindir Presiden Jokowi secara implisit agar tetap menjunjung tinggi netralitas TNI. Ketidakmesraan Jokowi dan Gatot akhirnya termanifestasikan dengan pergantian Panglima TNI yang terkesan sangat buru-buru padahal Gatot baru akan pensiun pada maret 2018. Hal ini semakin jelas pula ketika Marsekal Hadi menganulir keputusan mutasi Pati TNI yang dibuat Gatot beberapa waktu lalu.
Kalau Ahok effect atau Pilkada DKI membuka kegaduhan politik 2017, maka menurut saya Setya Novanto dan Golkar pantas dinobatkan sebagai penutup kegaduhan politik 2017. Kasus korupsi e-KTP bak sinetron yang episodenya panjang, bak drama yang menarik untuk diterka. Drama dimulai ketika pada 16 November malam Setya Novanto mengalami kecelakaan paska ditetapkan kembali menjadi tersangka oleh KPK.
Banyak kalangan yang melihat kecelakaan Setnov adalah rekayasa agar menghindari proses hukum. Tetapi apa daya, KPK tetap menahan Setnov walaupun masih tertatih di atas kursi roda pada 19 November 2017. Setya Novanto seperti belut, lihai menghindari kasus hukum, kasus Papa Minta Saham contohnya. Kini soal e-KTP, Setnov tampaknya tak bisa menghindar. Kasus hukum Setnov berdampak signifikan bagi dua elemen politik penting, yakni: DPR dan Partai Golkar
Di DPR, jelas Setya Novanto sepatutnya menjadi tauladan, namun sayang seribu sayang, Setnov tak bisa disebut sebagai wakil rakyat.Walaupun citra DPR sebelum kasus Setnov sudah buruk, tetapi akibat kasus ini citra DPR menjadi semakin buruk.
Pesimisme kita terhadap DPR bukan hanya soal kinerja, tetapi juga soal moral. Kasus Setnov ini memukul demokrasi kita bahwa menjadi pemimpin politik kapasitas bukan ukuran, ini pukulan telak bagi DPR dan Partai Golkar.
Bagi Golkar, tentu psikologi politik publik tak bisa diabaikan. Publik terlanjur memiliki stigma bahwa panglima Golkar ternyata ‘tak bersih’. Namun beberapa elit Golkar gesit bertindak, desakan Munaslub pun diamini dan lahirlah Airlangga Hartanto.
Pertanyaannya, apakah tindakan itu akan mengobati hati publik yang terluka?. Partai penguasa orde baru tersebut sebenarnya jatuh dua kali soal buruknya kepemimpinan di tubuh Golkar. Di pilpres 2014, di masa Ical, Golkar gagal mendapatkan posisi tawar strategis dan hanya sebagai tim hore saja, kemudian di tahun 2017 ketua umumnya tersangkut kasus hukum.
Tahun politik sudah di depan mata. Menatap Pilkada serentak 2018 dan Pemilihan Presiden 2019 sudah saatnya mengubah perilaku politik para elit untuk menyamakan pemikiran soal politik yang plus ‘ethics’. Pertarungan politik berbasis ide dan gagasan serta ‘perilaku profetik’ dalam berpolitik, tak bisa lagi ditawar untuk menggapai demokrasi Indonesia yang substansial di masa mendatang. Selamat datang 2018!
Sumber : Portal Islam