OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 04 Desember 2017

Pengamat: KTT Separatis Papua di Vanuatu Mesti Diwaspadai

Pengamat: KTT Separatis Papua di Vanuatu Mesti Diwaspadai

10Berita – Kelompok Separatis Papua (KSP) melalui sayap lobi internasionalnya, ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), baru-baru ini mengadakan rangkaian pertemuan pada akhir November 2017 lalu.

Uniknya adalah, kata Pengamat Politik Internasional, Arya Sandhiyudha, mereka memilih tempat di Port Villa, ibukota Negara Vanuatu.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ini diadakan sekaligus mengevaluasi tiga tahun terbentuknya ULMWP.

Dalam kesempatan tersebut, PM Vanuatu langsung membuka KTT dengan menyatakan klaim peningkatan dukungan pada ULMWP menjadi tujuh anggota Koalisi Kepulauan Pasifik untuk Papua Barat (Pacific Island Coalition for West Papua/PICWP).

Pertemuan itu tambahnya juga dihadiri Ketua Melanesian Spearhead Group (MSG), Manasseh Sogavare dan Sekjen ULMWP, Octavianus Mote.

Melihat perkembangan ini, Arya berpendapat, pelaksanaan KTT ULMWP di Vanuatu tidak boleh diabaikan dalam politik luar negeri Republik Indonesia.

“Ini bukan pertama atau kedua bagi Vanuatu. Negara ini berkali-kali melecehkan sikap kita terhadap isu Papua dan keutuhan NKRI. Indonesia mesti bersikap sangat tegas, bahkan apabila pemutusan diplomatik menjadi pilihan Presiden RI itu hal yang sangat wajar,” ujarnya dalam pernyataannya diterima hidayatullah.com.

Menurut WNI pertama peraih Doktor Bidang Hubungan Internasional dari kampus Turki tersebut, setidaknya ada tiga kesalahan fatal Vanuatu.

“Vanuatu setidaknya telah menambah tabungan ketidaksopanan. Pertama, ini mereka ambil momen tiga tahun jelang 7 Desember 2014 ketika ULMWP membuka kantor ULMWP di sana (Vanuatu),” terangnya.

Kedua, kini mereka diizinkan melaksanakan KTT di sana.

“Ketiga, acara tersebut dibuka oleh Perdana Menteri Charlot Salwai. Tiga hal yang menunjukkan mereka tidak punya keinginan menjadi negara sahabat,” tambahnya.

Arya mengatakan, Vanuatu jangan membayangkan Papua itu bernasib seperti mereka.

“Kalau mereka Vanuatu ya memang mengalami penjajahan secara de facto, mereka hanya merasa merdeka dalam negara homogen Melanesia, namun sejatinya sumber daya alam mereka tidak ada yang dapat dinikmati oleh pemilik tanah adat dan warga asli.

Itu sangat berbeda dan tidak terjadi sama sekali di Papua apalagi setelah reformasi hingga kini sudah banyak hal progresif di tanah Papua. Jangan dia yang bercermin lalu membayangkan orang lain berwajah sama,” paparnya.

Selebihnya, menurut Arya, soal argumentasi semua hal yang dijadikan dasar propaganda sangat lemah, “Bicara Melanesia, Indonesia justru rumah Melanesia terbesar.”

Menurutnya, soal isu HAM, sesekali perlu sebagian warga negara kepulauan Pasifik yang kerap iseng dengan isu ini harus diundang kunjung ke Papua (Indonesia), biar mereka iri sendiri karena kerawanan keamanan justru lebih parah di negara mereka.

“Dalam hal isu politik dan ekonomi, apalagi. Pasca Reformasi, kebijakan politik-ekonomi untuk mengususkan Papua sangat progresif,” tambahnya.

Maka, menurut Arya, kunci yang dibutuhkan menghadapi ancaman ini adalah komunikasi internasional yang baik.

“Kita butuh Australia sebagai sahabat kita sekaligus mitra dagang utama Vanuatu untuk menekan Vanuatu agar lebih tahu diri,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Pembangunan dan Isu Internasional, MaCDIS (Madani Center for Development and International Studies) ini mengatakan, KTT ULMWP di Vanuatu ini mesti diwaspadai sebagai “gong” aktivitas selanjutnya.

“Kita harus waspadai tindak-lanjut KTT ini. Sehari setelah penutupan saja sudah langsung ada artikel 1 Desember (2017) ditulis politisi Selandia Baru, Catherine Delahunty. Jelas ada agenda-setting dan scenario-planning yang sistematis,” ungkap kepala tim pengelola 5 situs berita Papua ini.*

Rep: SKR

Editor: Muhammad Abdus Syakur

Sumber : Hidayatullah