4 Kaidah Pokok Memahami Peristiwa Akhir Zaman
10Berita – Kiamat sudah dekat, begitu kata sebagian orang. Terlebih banyak sekali tanda-tanda kiamat kecil yang hadir di tengah-tengah kita. Sebagai seorang Muslim, mengimani tanda-tanda Hari Kiamat adalah bagian dari iman kepadanya. Dengan sudah banyaknya tanda-tanda Hari Kiamat yang muncul, sebagian orang berkesimpulan bahwa kita sudah dekat dengan akhir zaman.
Dalam menyikapi akhir zaman sendiri, ada yang mengingkarinya dan ada pula yang terlalu gegabah dalam mencocokkannya dengan hadits. Padahal untuk memahami akhir zaman dengan benar, perlu ada kaidah yang perlu dipahami agar kita tidak tergelincir dalam pemahaman yang salah. Di antara kaidah dalam memahami peristiwa akhir zaman adalah sebagai berikut:
Memastikan Keshahihan Hadits-hadits AkhirZaman
Tidak dapat dipungkiri bahwa dari sekian banyak hadits-hadits yang berbicara tentang akhir zaman, banyak juga hadits-hadits yang dhoif bahkan palsu. Oleh karenanya kita harus hati-hati, jangan sampai kita menyandarkan sebuah keyakinan kita terhadap hal ghaib kepada hadits palsu.
Ada sebuah kaidah yang harus kita pahami yaitu :
لولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Artinya, “Kalau seandainya bukan karena sanad, maka setiap orang akan berbicara apa yang dia suka.”
Keberadaan sanad mampu menjaga orisinilitas agama ini, sehingga setiap hadits yang ada bisa diklarifikasi derajat keshahihannya. Baik hadits-hadits yang berkaitan dengan fikih maupun hadits-hadits tentang akhir zaman. Semoga Allah merahmati para ulama yang telah berjasa di bidang ini.
Ibnu Qudamah berkata, “Adapun hadits-hadits palsu atau hadits-hadits lemah, maka tidak boleh disampaikan dan (tidak boleh) meyakini apa yang ada di dalamnya dan keberadaannya tidak dianggap sama sekali.” (Dzammut Ta’wil, hal 47)
Dalam batas minimal, hadits-hadits akhir zaman yang kita yakini dan percayai haruslah dalam derajat hasan. Karena itu standar minimal diterimanya sebuah hadits.
Lantas, bagaimana jika hadits-hadits akhir zaman itu tidak disampaikan oleh Rasulullah SAW, melainkan disampaikan oleh sahabat? Jika secara sanad haditsnya shohih dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah besar dalam agama, maka ada dua kondisi.
Pertama, hadits tersebut disampaikan oleh sahabat yang tidak pernah mendengarkan riwayat dari ahlu kitab. Maka, hukumnya marfu’ (boleh dinisbatkan kepada Nabi). Karena kabar tentang akhir zaman bukanlah ranah ijtihad, sehingga jika ada sahabat menyampaikan kabar akhir zaman maka bisa dipastikan bahwa itu didapat dari Rasulullah SAW dan tidak mungkin bagi sahabat untuk mengada-ada dalam perkara ini.
Kondisi kedua, jika hadits tersebut disampaikan oleh sahabat yang pernah mendengar dari ahlu kitab, maka hadits ini tidak dihukumi marfu’. Karena bisa saja, apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil interaksinya dengan riwayat-riwayat ahli kitab.
Adapun cerita-cerita Israiliyat, maka tidak boleh dijadikan sandaran dalam memahami peristiwa akhir zaman. Hal ini karena orisinalitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ibnu Katsir berkata, “Cerita-cerita Israiliyat yang mengabarkan umur umat Islam baik yang telah belalu maupun sisa umur dunia tidak ada dasarnya. Karena tidak ada yang tahu umur dunia yang telah lampau kecuali Allah.”
Menyandarkan Pemahaman terhadap Hadits-hadits Akhir Zaman kepada Pemahaman Salaf
Di antara khazanah keilmuan para salaf adalah ilmu terkait hadits-hadits akhir zaman. Mereka meriwayatkan banyak hadits-hadits akhir zaman, menyelami maknanya dan memahaminya dengan pemahaman yang benar.
Mengembalikan pemahaman hadits-hadits akhir zaman kepada pemahaman para salaf sama halnya dengan mengembalikan perkara-perkara agama kepada para mujtahid. Allah SWT memerintahkan hal tersebut dalam firman-Nya :
Artinya, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (Surat An-Nisa: 83)
Kenapa harus sesuai dengan pemahaman salaf? Karena mereka yang langsung mengambil ilmu dan iman dari Rasulullah SAW, menyaksikan turunnya wahyu dan memahami konteksnya. Ditambah murninya pemahaman keagamaan mereka dari pengaruh pemahaman lain yang merusak kemurnian pemahaman Islam itu sendiri.
Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata, “Seorang muslim dituntut untuk memahami apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya dengan memahami lafadz-lafadz Al-Quran dan Sunnah. Yaitu dengan mengetahui bahasa Al-Quran dan memahami apa yang dikatakan oleh sahabat, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan seluruh ulama umat Islam dalam memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Karena Rasulullah SAW saat menyampaikan Al-Quran dan Sunnah kepada mereka, beliau juga memberi tahu apa yang diinginkan oleh lafadz-lafadznya.” (Majmu Fatawa 17/353)
Berhati-hati dalam Mentakwil Nash-nash Akhir Zaman
Pada dasarnya setiap nash-nash syar’i baik itu ayat maupun hadits harus kita maknai sesuai dengan makna aslinya. Tidak boleh mentakwil nash syar’i kepada makna lain kecuali ada dalil penguat (qarinah). Qarinahnya bisa berupa dalil lain atau konteks nash yang membuat kita tidak bisa memaknainya dengan makna asal.
Sebagai contoh, jika ada yang berkata, “Ada singa sedang memimpin pasukan.” Hukum asalnya, singa harus dimaknai dengan makna asal, yaitu hewan buas yang hidup di hutan. Namun konteks kalimat di atas membuat kita berpikir bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Barulah kemudian kita beralih kepada makna lain, yaitu seorang yang pemberani sedang memimpin pasukan. Peralihan makna ini karena adanya konteks yang menuntut hal itu.
Kaidah di atas juga berlaku bagi hadits-hadits akhir zaman. Tetap memaknainya sesuai dengan makna aslinya, selama tidak ada qarinah yang memalingkannya dari makna asli.
Di antara contoh takwil yang salah terhadap hadits-hadits akhir zaman adalah takwil tentang Dajjal. Dalam banyak hadits-hadits ditemui bahwa Dajjal adalah makhluk Allah yang muncul di Akhir Zaman, memiliki ciri-ciri fisik tertentu, seperti mata yang buta sebelah dan tertulis di keningnya huruf Arab (ك–ف–ر). Namun ada sebagian orang yang mencoba mentakwilkan Dajjal, alih-alih mengganggap Dajjal sebagai makhluk khusus dengan ciri-ciri khusus dan kemampuan khusus, mereka malah mentakwilkan Dajjal dengan takwil-takwil yang tidak berdasar sebagaimana yang dilakukan oleh Jahmiyah dan Muktazilah.
Di era modern pun ada yang mentakwilkan Dajjal kepada makna-makna lain. Ada yang beranggapan Dajjal itu adalah peradaban Barat hari ini, mereka mengatakan bahwa maksud dari buta sebelah dari hadits Dajjal adalah peradaban Barat yang tidak seimbang antara perkembangan materi dan moral, ada pula yang mengatakan bahwa Dajjal itu adalah nama general bagi setiap kerusakan dan takwilan-takwilan lain yang tidak ada landasannya dari wahyu atau para salaf.
Bersambung di tulisan berikutnya.
Penulis: Miftahul Ihsan Lc.
Sumber : Kiblat.net