Akankah Terjadi Skenario Calon Tunggal 2019 ?
-
10Berita – Kekuasaan itu enak bin nikmat. Mau ngapain aja bebas. Meski waktu merayu rakyat berjanji tolak utang tapi ketika sudah berkuasa jadi raja utang, tak masalah. Meski waktu merayu rakyat bilang mau menciptakan puluhan juta lapangan pekerjaan, tapi faktanya malah menciptakan lapangan pengangguran, itu juga rapopo. Kalau ada yang protes, kalau protesnya terlalu menyakitkan gendang telinga, atau bikin baper parah, ya perintahkan aparat saja untuk tangkap. Mengganggu stabilitas nasional, itu alat yang bisa dipakai. Atau kalau protesnya lewat medsos, tinggal pakai saja dalih UU ITE. Lalu katakan kepada wartawan jika para pemrotes itu kaum yang belum move-on dari Pilpres 2014.
Sebab itu, ketika periode lima tahun sudah di depan mata, padahal satu pun janji kampanye belum dilunasi, termasuk katanya mau buyback Indosat yang masih saja digenggam Singapura, dan juga penanganan banjir dan macet di Jakarta yang katanya akan lebih mudah mengatasinya kalo jadi penguasa, maka dengan segala daya-upaya sang penguasa akan melancarkan jurus-jurus mautnya untuk bisa berkuasa kembali di periode selanjutnya.
Bagaimana caranya?
Mau kampanye seperti dulu kayak tolak utang lagi jelas ga mempan. Bisa-bisa seluruh isi dunia tertawa.
Sebab itu, kampanye dengan janji-janji manis seribu janji bakalan gak mempan lagi. Rakyat yang tidak lulus makan bangku sekolah SD pun sudah tahu, mana tempe bacem dan mana tempe bongkrek. Apatah lagi yang dituding kaum belum move-on Pilpres 2014 yang rata-rata melek pendidikan tinggi, mereka pasti sudah paham dan musykil untuk “dilebaykan” lagi.
Sebab itu, strategi pun diubah. Bukan dengan melempar janji-janji lagi, tapi dengan sedikit berkreasi politik agar seluruh pranata hukum dan alat kenegaraan lainnya mau tak mau kembali mencalonkan dia lagi dia lagi.
Di awal tahun ini, Mahkamah Konstitusi sudah sangat patuh dengan melempar hadiah pertama berupa pengukuhan penetapan Electoral Tresshold Pilpres 2019 tetap di angka 20 Persen. Hal ini membuat banyak sesepuh politik yakin, duel 2014 antara dua kubu akan kembali terjadi di arena 2019. Perang Bharatayudha kembali digelar, antara Kurawa melawan Pandawa.
Sebelumnya, aparat sudah dalam genggaman tangan. Pentolan bersenjata yang tugasnya cuma boleh bertempur melawan musuh luar, sudah diganti walau belum pensiun, dengan sosok yang lebih bisa manut selaras dengan aparat penguasa lainnya.
Hukum pun sudah mendukung ketentuan 20 Persen seperti keinginannya. Tinggal bagaimana menjatuhkan citra lawan satu-satunya agar publik bisa percaya jika lawannya ini tak lebih dari seorang yang berambisi mengejar kekuasaan semata yang kemaruk duit.
Di sisi lain, Alumni 212 sebanyak tujuh setengah juta orang yang bersatu karena kesatuan akidah pun harus dipecah-belah agar lawan semakin rapuh.
Pucuk Dicinta Ulam Tiba. Ada seorang tokoh yang sedang menyala-nyala kekesalannya gegara gagal mentas Pilkada dan terkait erat dengan lawan satu-satunya itu. Maka secepat kilat didekatilah tokoh yang mengatasnamakan Alumni 212 dan mengaku mendapat rekomendasi dari Imam Besar Aksi 212 untuk mentas di Pilkada 2018.
Dibantu seorang penyusup yang gemar sholat dengan menyentuh batu kreweng from Qum di jidatnya, maka digelarlah konferensi pers di media-media mainstrem. Media massa Indonesia yang terkenal dengan sikap latahnya pun beramai-ramai memuatnya. Ada yang menyajikan apa adanya secara lugu, tapi banyak pula yang menggoreng dengan berbagai bumbu-bumbu, termasuk micin.
Pasti sisi penguasa tertawa, berharap rakyat percaya jika calon penantang satu-satunya itu akan hancur citranya. Dan itu sesungguhnya target antara, karena “main uang dalam pilkada” bisa jadi dalil ini bisa untuk menyeret lawannya ini ke kasus hukum yang berakhir dengan didiskualifikasinya parpol sang lawan utama.
Bukankah jika parpol sang lawan bila didiskualifikasi, maka tidak ada pihak dari partai penantang yang akan penuhi ketentuan 20% PT, maka sang penguasa akan bisa melenggang kangkung sendirian di karpet merah menuju kemenangan 2019? Plus dengan segala gaya esentrik dan bukan mustahil akan pakai kaos oblong dan sendal jepit.
Diskualifikasi parpol penantang tersebut adalah bisa jadi target paripurna dari kasus yang menyala-nyala tersebut bila isu itu terus berlanjut . Umat Islam Indonesia wabilkhusus Alumni 212 harus paham dan jangan mau dipecah-belah oleh strategi ini.
Sumber : Eramuslim