JASMERAH! Ini 3 Tokoh Orientalis Di Indonesia, Nomor 3 Paling dikenal
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
I. Thomas Stamford Raffles
(1781-1826)
Terlahir dengan nama Thomas Raffles, sosok yang sangat dihormati di Inggris dan Singapura ini tidak lahir di lingkungan istana. Ia lahir di lepas pantai Jamaika 6 Juli 1781 dari orang tua yang hanya berprofesi sebagai juru masak di sebuah kapal. Ia pun lahir saat orang tuanya bekerja di geladak Kapal Ann. Namun, sebuat Sir (sebutan bagi bangsawan Inggris) selalu dilekatkan padanya karena jasa-jasanya yang besar bagi pemerintahan Inggris.
Tidak seperti orientalis pada umumnya, Raffles bukanlah seorang ilmuwan an sich. Ia hanya menyelesaikan sekolah biasa di Inggris. Namun, karena keuletan dan kemauan belajarnya yang sangat tinggi, Raffles diterima bekerja sebagai juru tulis di East Indian Company (EIC) pada tahun 1795. Beberapa saat kemudian ia dipromosikan sebagai asisten sekretaris untuk wilayah kepulauan Melayu di perusahaan yang sama. Sejak dipekerjakan di sana, kemampuan bahasa Melayunya terasah.
Sejak tahun 1804, Raffles bertugas di Pulau Penang, Malaysia. Kemudian tahun 1811 ia dikirim pemerintah Inggris pada suatu ekspedisi ke Tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur. Karena kecerdikan, keterampilan, dan kemampuannya berbahasa Melayu, Pemerintah Inggris mempercayai Raffles menjadi Gubernur Jendral Hindia-Belanda, pada tahun yang sama setelah wilayah kepulauan Indonesia resmi jatuh ke tangan Inggris dari Prancis. Raffles pun menggantikan Gubernur Jendral William Daendels (1808-1811) utusan Prancis.
Walaupun datang sebagai pejabat, Raffles ternyata sangat senang dengan dunia ilmu pengetahuan. Kegemarannya pada biologi membuat namanya telah dijadikan nama ilmiah bagi sederet tumbuhan dan binatang. Yang paling masyhur adalah rafflesia arnoldi (bunga bangkai). Selain itu, ia pun menaruh perhatian besar pada kebudayaan Melayu dan Jawa. Sepanjang masa tugasnya di kepulauan Melayu dan Jawa, ia mengumpulkan berbagai data tentang sejarah dan kebudayaan di wilayah ini; juga mengenai flora dan fauna yang tidak akan pernah ia lewatkan.
The History of Java adalah magnum opus-nya mengenai segala sesuatu tentang Pulau Jawa, temasuk sejarah dan budayanya. Sekalipun lebih terlihat sebagai laporan atas apa yang ia temukan selama bertugas di Jawa, namun karya ini dianggap sebagai tonggak penting kajian-kajian sejarah dan kebudayaan Jawa dan Indonesia yang dilakukan oleh orientalis-orientalis sesudahnya.
Karya inilah yang mula-mula menganggap kebudayaan Hindu-Budha sebagai fondasi dasar kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Karya ini pula yang menginspirasi sarjana-sarjana asing, terutama Belanda, pada masa-masa berikutnya untuk turut menguatkan kesimpulan Raffles tentang posisi kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia.
Bagi Raffles, Islam yang disebarluaskan pada masa Walisongo dianggap sebagai ajaran asing. Sekalipun ia mengakui bahwa saat ia bertugas di kepulauan Melayu dan Jawa, Islam merupakan agama yang dianut mayoritas rakyat di kawasan ini, namun Raffles tidak melihatnya sebagai fenomena kultural yang harus digali. Ia justru semakin yakin dengan pengaruh mistik Hindu-Budha pada penguasa-penguasa Muslim. Ia menafsirkan berbagai praktik kultural yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Muslim sama seperti penguasa-penguasa Hindu sebelumnya.
Penggambaran kekuasaan raja-raja Islam yang penuh mistik seperti keris bertuah, benda-benda pusaka, dan semisalnya melekat sepanjang tulisannya di The History of Java. Penggambarannya ini mengukuhkan kesan tidak berpangaruhnya ajaran-ajaran Islam yang ia sebut sebagai Mohamedanism ini kepada perilaku kultural masyarakat dan penguasa-penguasa Muslim.
Selain itu, ia pun mengukuhkan kesan perluasan Islam yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan oleh penguasa Islam. Dalam kasus Raden Fatah, misalnya, The History of Java-lah yang mula-mula menceritakan bahwa Demak mendapatkan kekuasaan setelah menghancurkan Majapahit. Dalam cerita itu digambarkan toleransi dan sikap damai Majapahit justru dibalas dengan serangan Raden Fatah yang haus kekuasaan hingga Majapahit benar-benar luluh lantak tak bersisa.
Simpatinya pada kebudayaan Hindu-Budha ini juga diwujudkan dengan usaha-usahanya mengeskavasi candi-candi di pulau Jawa yang semula sudah hancur.
Simpatinya pada kebudayaan Hindu-Budha ini juga diwujudkan dengan usaha-usahanya mengeskavasi candi-candi di pulau Jawa yang semula sudah hancur.
Atas perintahnya-lah candi Borobudur yang sudah terkubur debu letusan gunung Merapi dibangun kembali dan dijadikan icon Jawa. Sejak saat itulah, tergambar seolah-olah pembangun utama kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Hindu-Budha. (***)
II. William Marsden
(1754 1836)
Bagi para Indonesianis, Raffles adalah inspirator sedangkan Marsden adalah peletak dasar kajian ilmiah tentang Indonesia. Karyanya yang paling popular tentang wilayah di kepulauan ini adalah The History of Sumatra (1783). Sama seperti Raffles, Marsden memokuskan karyanya ini pada kebudayaan orang-orang Sumatra seperti Minangkabau, Batak, Aceh, Rejang, Lebong, dan sebaginya.
Jika Raffles meletakkan penelitian sebagai kerja sampingan dari pekerjaan utamanya sebagai pejabat, maka Marsden datang ke Asia Tenggara sebagai seorang Orientalis yang ditugaskan pemerintah Inggris untuk meneliti wilayah ini. Marsden bersahabat baik dengan Raffles dan sama-sama pernah dikirim ke Bengkulu untuk tugas yang berbeda. Saat bertemu di Inggris, Marsden sempat menghadiahkan 5 buah koin gobog wayang yang menjadi salah satu koleksi penting Raffles.
Marsden lahir di Dublin 16 November 1754. Orang tuanya adalah pedagang di kota itu. Sejak usia 16 tahun ia sudah bekerja di sebuah perusahaan multinasional Inggris Eeast Indian Company (EIC) sebagai juru tulis. Ia bekerja di sana sebelum Raffles dan kemudian di kirim ke Bengkulu tahun 1771. Setelah itu, ia dipromosikan sebagai sekretaris utama negara untuk urusan Hinda-Timur yang ditempatkan di Sumatra. Sepanjang berada di Sana, ia melakukan penelitian tentang berbagai hal menyangkut kehidupan masyarakat Sumatra, dari mulai kekayaan alam, kehidupan sehari-hari, kebudayaan, sampai masalah keyakinan. Ia menguasai bahasa Melayu dengan sangat baik.
Sekembalinya dari Sumatra tahun 1779, ia mulai menulis The History of Sumatra dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 1783. Karya ini lebih dahulu dibuat daripada The History of Java. Namun, popularitas Raffles membuat The History of Java lebih dahulu dipublikasikan dan dikenal orang sebelum karya Marsden ini. Walaupun demikian, karya Marsden ini sangat penting bagi kajian-kajian keindonesiaan pada masa-masa berikutnya, terutama menyangkut Sumatra. Pada tahun 1834, dua tahun menjelang kematiannya, Marsden diangkat sebagai ketua the Royal Society, sebuah kumpulan kaum intelektual Inggris saat itu. Posisinya ini memberikan pengakuan akan otoritasnya di dunia ilmu pengetahuan.
Sama seperti karya-karya oreintalis pada umumnya, kelemahan mendasar karya Marsden tentang Sumatra ini adalah mengenai framework (kerangka kajian). Marsden terjebak dengan framework kultural Eropa yang telah tersekularisasi saat melakukan eksplanasi menyangkut fenomena-fenomena kultural masyarakat Sumatra yang mayoritas Muslim
Sepanjang eksplanasinya dalam The History of Sumatra, tulisan Marsden mengesankan bahwa kebudayaan dan kebiasaan sehari-hari yang dipraktikkan masyarakat Sumatra adalah indeginiuos (asli) hasil kreativitas masyarakat Sumatra.
Saat menjelaskan mengenai hukum yang berlaku di beberapa kerajaan seperti Minangkabau. Melayu, dan Aceh, Marsden gagal mengungkapkan bahwa hukum-hukum yang berlaku itu merupakan hukum yang diadopsi masyarakat dari syariat Islam.
Saat menjelaskan mengenai hukum yang berlaku di beberapa kerajaan seperti Minangkabau. Melayu, dan Aceh, Marsden gagal mengungkapkan bahwa hukum-hukum yang berlaku itu merupakan hukum yang diadopsi masyarakat dari syariat Islam. Bahkan sampai hari ini di masyarakat Minang terkenal ungkapan adat basandi syara dan syara basandi kitabullah. Marsden sama sekali luput menjelaskan keterkaitan syariat Islam dengan hukum adat yang berlaku di sebagian besar wilayah Sumatra ini. Alhasil, karya Marsden ini berkontribusi besar dalam memisahkan pengaruh Islam dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia, terutama wilayah Sumatra. (***)
III. Cristiaan Snouck Horgonje
(1857-1936)
Orientalis kelahiran Thalen, Ousterhout, Negeri Belanda tanggal 8 Februari 1857 ini adalah orientalis paling kontroversial di Indonesia. Untuk memuluskan tujuannya menggali informasi mengenai umat Islam, ia rela berpura-pura masuk Islam. Oleh ayah dan kakeknya yang menjadi pendeta Protestan di Belanda ia diarahkan untuk mejadi pendeta. Namun, Snouck tidak kerasan dan memilih meneruskan kuliah di Universitas Leiden jurusan Sastra Arab. Tahun 1875, ia mendapatkan predikat cum laude untuk disertasi doktor dalam bidang Bahasa Semit dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Festival Mekah). Tidak puas dengan studinya di Leiden, tahun 1884 ia pergi Mekah untuk menggali kebudayaan Arab dan berbagai aspek Islam di tempat yang netral dari pengaruh kolonialisme. Namun untuk tujuannya itu, ia rela menyatakan masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Di Mekah, ia bertemu dengan seorang tokoh Aceh yang kemudian menjadi antek Belanda, Habib Abdurrahman Zahir. Pertemuannya itu mengubah minatnya belajar bahasa dan kebudayaan Arab kepada masalah-masalah politik kolonial. Dari Zahir, Snocuk mendapatkan banyak bahan mengenai penanganan masalah-masalah Acah. Saran-saran Zahir itu tidak terlalu ditanggapi pemerintah kolonial saat ditawarkan oleh Zahir sendiri. Namun melalui tangan Snouck, barulah pemerintah mau merespon. Bahkan, saat Snouck menawarkan diri untuk meneliti masalah-masalah pribumi, terutama masalah Aceh, pemerintah kolonial menyetujuinya.
Tahun 1889 ia mulai melaksanakan tugasnya melakukan penelitian mengenai aspek-aspek kebudayaan dan keagamaan masyarakat Aceh. Hasil penelitiannya itu kemudian dibukukan setebal 2 jilid dengan judul De Atjeher. Dalam penelitiannya, ia berhasil mendapatkan informasi dari sumber-sumer pertama berkat kepura-puraannya mengaku Islam. Orang-orang Aceh pun percaya karena penguasaannya terhadap bahasa Arab dan penguasaannya terhadap berbagai aspek ajaran Islam. Apalagi, ia pernah dua tahun belajar di Mekah.
Tidak lama setelah pemerintah menjalankan saran-saran hasil penelitian Snuock, Aceh yang selama hampir satu abad penguasaan Belanda atas Indonesia tidak dapat ditaklukkan akhirnya dapat ditaklukkan juga. Atas jasa-jasanya ini Snouck mendapatkan pujian dan penghargaan besar. Kantor yang disediakan pemerintah Belanda untuk akitivitasnya, yaitu Het Kantoor voor Inlansche Zaken (Kantor Penasihat Urusan-Urusan Pribumi), menjadi kantor yang cukup penting. Bahkan kewenangannya seringkali tumpang-tindih dengan pemerintah lokal setempat.
Sama seperti para pendahulunya, Snouck tetap memperingatkan pemerintah Belanda bahwa Islam berbahaya bagi kepentingan politik kolonial. Namun, banginya tidak semua Islam berbahaya. Hanya umat Islam yang berkesadaran politiklah yang akan mengancam kelangsungan kekuasaan Belanda. Sementara umat Islam yang hanya mengurusi masalah-masalah ibadah tidak akan berbahaya. Oleh sebab itu, pemerintah disarankan agar mendukung setiap kegiatan umat Islam yang berkaitan dengan masalah ibadah sehari-hari.
Seperti dicatat Bernhard van Vlakke dalam The History of Nusantara, Snouck pula yang memperingatkan bahwa pada dasarnya masyarakat Islam Indonesia adalah masyarakat yang ramah dan tidak suka amok (protes).
Yang suka menyulut amarah mereka adalah mereka yang sudah pulang dari Mekah dan membawa paham ”Mekah” yang keras. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal stigma jelek terhadap alumni-alumni Timur Tengah
Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal stigma jelek terhadap alumni-alumni Timur Tengah dan ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab yang oleh para Orientalis diberi julukan Wahabi. Kadua saran di antara sekian banyak saran Snouck yang lain di atas, rupanya sampai saat ini masih dijadikan standar penguasa dalam memperlakukan umat Islam. Padahal semestinya, saran itu hanya cocok untuk para penguasa penjajah yang memusuhi umat Islam, bukan pemerintah yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri. (adivammar/)
Sumber : voa-islam.com