OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 30 Januari 2018

Manusia Gerobak yang Kini Mengejar Gelar Profesor

Manusia Gerobak yang Kini Mengejar Gelar Profesor

10Berita, "Mimpi, seperti mimpi. Benar-benar tidak menyangka," ucap Udin Ahidin (42) setengah menangis. Pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, ini sama sekali tak pernah membayangkan akan meraih gelar doktor dan menjadi pejabat struktural perguruan tinggi.

‘’Bagaimana tidak. Saya ini dari keluarga sangat miskin di kampung. Sekolah Dasar saja hampir tidak lulus, karena ayah saya meninggal ketika saya baru kelas lima SD. Dua adik saya masih kecil-kecil waktu itu,’’ ungkap Wakil Ketua Program Studi (Prodi) Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang (FE-Unpam) Tangerang Selatan, Banten, ini.

Ditemui di kantornya Senin (29/01/2018), Udin menuturkan, masa kecilnya tak selazimnya anak-anak. Harus berkelahi dengan waktu. ‘’Ayah mendidik saya keras,’’ ujar putra sulung pasangan Karjo-Enti Rukenti tersebut.

Sore sebelum ngaji ke langgar (mushola), Udin kecil wajib mengumpulkan kotoran kambing di kandang belakang rumahnya. Feces ternak kemudian dimasukkan ke karung. Besok paginya, sekarung tahi kambing itu dia panggul ke ladang untuk digunakan sebagai pupuk.

Pulang dari ladang, Udin tak boleh melenggang. Kadang harus memikul kayu bakar, menenteng bayam liar, atau membopong daun pisang. Apa saja yang bisa dimanfaatkan atau jadi uang.

‘’Bapak, Udin kok begini amat kerjaannya. Itu teman-teman Udin pada main, Pak?’’ keluh si bocah suatu pagi di ladang.

Ayahnya menghela nafas. ‘’Din,’’ katanya, ‘’kehidupan keluarga kita harus berubah. Kamu dan adik-adikmu jangan melarat seperti Bapak. Kamu sebagai sulung dan laki-laki, harus sekolah yang tinggi, sampai jadi sarjana!’’

Udin tercenung saja mendengarnya. Dalam hati ia berkata, apakah keinginan bapak tidak terlalu muluk. Jangankan jadi sarjana, melanjutkan ke SMP saja Udin tak yakin bakal kesampaian.

Innalilahi..., saat Udin Ahidin kelas lima SD, Karjo wafat. Meninggalkan Udin bersama ibu dan dua adik kecil. 

‘’Saat itu saya sangat terpukul. Sempat merasa tak punya harapan masa depan,’’ kenang Udin.

Namun, wasiat ayahnya terngiang-ngiang terus. Ia menjadi pemicu semangat Udin untuk melanjutkan pendidikan. Lulus dari SD Negeri 1 Cibingbin, Kuningan pada 1989, bocah cerdas ini melanjutkan ke SMPN (1989-1992) dan kemudian SMAN 1 (1992-1995) di kecamatan yang sama.

Beruntung ia memperoleh beasiswa dari pemerintah, sehingga biaya pendidikannya tidak memberatkan. ‘’Saya selalu masuk 'The Big Five' dalam ranking sekolah, sehingga mendapat keringanan SPP,’’ ungkapnya.

Sambil bersekolah, Udin meneruskan usaha ternak kambing warisan bapaknya. Ia juga berjualan nyiru (tikar pandan) dan peralatan dapur tradisional. Sistemnya bayar-panen. ‘’Dagangan saya dibeli, tapi dibayarnya setelah panen padi. Bayarnya pakai beras, jagung, atau hasil bumi lainnya,’’ terang Udin.

Mengisi liburan panjang tahunan selama 40 hari, Udin Ahidin ikut temannya merantau ke Tangerang. Di sini ia menjadi kenek (asisten) tukang bangunan.

‘’Ini buat cari pengalaman saja, karena upahnya hampir semuanya buat ongkos dan makan,’’ ujarnya.

Musim liburan berikutnya, Udin memilih jadi pedagang asongan di perantauan. ‘’Prosedurnya lebih mudah, risikonya lebih kecil, dan pendapatannya lebih besar,’’ ia menjelaskan alasannya.

Selepas SMA, Udin coba kuliah. Pada 1996 ia mendaftar di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kuningan, yang sekarang menjadi Universitas Kuningan (UNIKU). Udin diterima di Fakultas MIPA Biologi.

Menginjak semester ketiga, Udin memutuskan keluar dari kampus. ‘’Waktu saya habis untuk kuliah, sedangkan adik-adik perlu biaya makan dan sekolah,’’ ia mengemukakan alasan. 

Udin lalu merantau ke Pasar Cikokol, Tangerang, untuk mengasong. Beruntung ia berjumpa dengan Kang Sunar, teman sekampungnya, yang membantunya memberi jalan. 

Tapi, ia bingung harus tinggal di mana. Tak mungkin menumpang di kawannya itu. ‘’Kang Sunar menerima kedatangan saya, tapi nggak mungkin memberi tumpangan menginap. Karena ia tinggal di gerobak,’’ Udin menceritakan.

Ia lalu pergi ke Masjid Jami Mujahidin Tangsel. Usai shalat, ia curhat pada pengurus masjid. Intinya, butuh tumpangan barang seminggu sambil membantu jadi marbot. KTP dia serahkan sebagai jaminan. Alhamdulillah, pengurus masjid percaya padanya. ‘’Ya sudah kamu tidur di mess marbot, jangan di ruang masjid. KTP simpan saja,’’ katanya pada Udin.

Merintis karier sebagai pengasong, Udin memulai dengan menjadi asisten pengasong senior dari Agen Toko Indah Sari, Tangsel. Lama-lama ia dipercaya untuk mengasong sendiri dengan modal pinjaman agen.

Dengan keuletan dan kecermatan kalkulasi dagang serta pembukuannya, usaha Udin berkembang. Tak lama jadi pengasong, ia sudah memiliki lapak tetap. Juga gerobak pribadi sebagai ‘’rumah’’-nya.

Toh, ia tak berpuas diri. Kedua adik perempuannya di kampung, memang bisa dia sekolahkan. Tapi, ‘’masa iya saya akan jadi manusia gerobak selamanya,’’ gugat Udin dalam hati pada dirinya sendiri.

Menikah bakal membuka pintu rezeki. Udin Ahidin percaya pada petuah guru ngajinya itu. Pada 1997, ia menikahi Icih Tarsih, gadis tetangga depan rumahnya di kampung. 

Di kampung, keluarga sang istri sebenarnya siap membantu kehidupan Udin. Namun, pria ini tak mau lama-lama bergantung pada kebaikan mertuanya.

Pada 1999, Udin memboyong istrinya ke Pamulang. Pasutri ini menjadi ‘’manusia gerobak’’ di emperan ruko. Usaha mereka kian berkembang.

"Apa saja saya dagangin. Misalnya kalau mau natalan dan tahun baru, apa yang laku. Mau Idul Adha, saya jualan kambing, gitu. Pernah juga saya dagang kotor, jualan minuman keras,’’ tutur Udin malu-malu.

Walau tak punya background keilmuan administrasi maupun akuntansi, Udin tertib membukukan cashflow usahanya. Membeli buku adalah salah satu pos pengeluaran wajibnya.

Ia menuturkan, ‘’Tiap minggu saya membeli buku bacaan. Buku apa saja, kadang buku agama di emperan Masjid Mujahidin. Kadang buku pengetahuan alam, juga buku motivasi.’’ 

Diam-diam, Icih memperhatikan kebiasaan suaminya. ‘’Kayaknya Akang masih semangat untuk belajar lagi,’’ Udin menirukan gumam sang istri.

Suatu hari di tahun 2005, Icih pamitan pada istrinya untuk membeli daster di Pasar Jumat yang sekarang menjadi areal Kampus Unpam. Perguruan Tinggi yang didirikan Yayasan Prima Jaya pada tahun 2000 ini, pada 2005 diambil alih oleh Yayasan Sasmita Jaya yang didirikan Tokoh Tangsel, Darsono. 

Bukannya membawa daster baru, Icih sepulang dari pasar malah mengangsurkan formulir perndaftaran mahasiswa baru Unpam. ‘’Pak, jangan banyak tanya, sok diisi buat kuliah di Universitas Pamulang,’’ katanya pada sang suami.

Udin kaget, walaupun senang juga dengan perhatian istrinya. ‘’Tapi kan mahal biaya kuliah,’’ katanya mengkerut.

‘’Tidak Pak, kuliah di Unpam nggak pakai uang gedung. Terus SPP-nya bisa dicicil,’’ sahut Icih.

‘’Tahu dari mana kamu?’’ Udin heran.

Rupanya, Icih selama ini menyimak obrolan pegawai Masjid Mujahidin tentang kuliah di Unpam. Juga berdasarkan informasi dari brosur perguruan tinggi tersebut.

OK-lah kalau begitu, Udin mendaftar jadi mahasiswa. Ia juga penasaran pada nama Darsono yang dalam brosur disebut sebagai ketua yayasan Sasmita Jaya.

‘’Waktu itu saya memang lagi pingin ketemu yang namanya Pak Darsono.  Ia dikenal sebagai pengusaha yang menyediakan perumahan murah dan ringan bagi pedagang bubur dan sebangsanya di Tangsel. Saya ingin tahu bagaimana rumus bisnisnya, sehingga tukang bubur bisa punya rumah tanpa harus melalui bank. Saya pingin belajar ilmu bisnisnya,’’ tutur Udin.

Ternyata, memang Darsono petinggi Yayasan Sasmita itu orangnya. Udin pun makin bersemangat kuliah di Unpam. Ia mengambil Prodi Manajemen pada Fakultas Ekonomi.

Lulus dengan nilai bagus pada 2010, Udin langsung dipercaya menjadi dosen di FE-Unpam. Walau sudah jadi dosen tetap, ia tak meninggalkan tugasnya sebagai guru di SMK Daarul Khoir Gunung Sindur, Bogor. Profesi guru ini ia tekuni sejak 2009.

Seiring kepercayaan Yayasan padanya, Udin harus kuliah lagi untuk menduduki jabatan struktural kampus. Ia mengambil magister manajemen di FE-Unpam (2010-2012). Kemudian lanjut lagi ke program doktoral di bidang yang sama di Universitas Persada Indonesia tahun 2014-2017.

Tak lupa Udin juga mendorong istrinya untuk melanjutkan kuliah, hingga berhasil meraih gelar sarjana pendidikan. Sang istri jadi semakin matching (nyambung), bahkan sangat membantu pekerjaan suaminya.

‘’Dengan berbagai kesibukan pekerjaan, jam kerja saya sepertinya 24 jam penuh sehari. Di situlah peran istri sangat membantu saya, seperti menyiapkan konsep naskah, korespondensi, dan lain-lain,’’ ungkap Udin penuh syukur dikaruniai istri yang sangat mengerti suaminya.

Kini, Udin ‘’manusia gerobak’’ menjadi orang kedua di Prodi Manajemen FE-Unpam. Gerobak dan lapak usaha bersejarahnya, dikelola saudara. Ruko miliknya dikontrakkan. Keluarga Udin tinggal di Perumahan Griya Sasmita, Serua, Depok.

Ditanya kapan hendak menjadi guru besar, Udin merendah. ‘’Paling cepat empat tahun lagi, walaupun kampus meminta saya dua tahun lagi saja,’’ ungkap calon Profesor Udin.

Ia sepakat dengan visi-misi Unpam, untuk menjadikan lulusannya sebagai insan yang profesional sesuai kompetensinya, mandiri, dan beriman serta berakhlak mulya. ‘’Ditambah lagi dengan berbasis teknologi sesuai tuntutan perkembangan zaman,’’ imbuhnya.

Hal itu juga sesuai dengan motto Kota Tangsel: Cerdas, Modern dan Religius. Karena itu, Waka Prodi Manajemen sangat berterima kasih kepada dosen Unpam, Drs Teguh Yuwono MM, yang sudah mendatangkan pakar-pakar sebagai narasumber kuliah umum di Unpam. Misalnya Abdullah Firman Wibowo, Direktur Utama BNI Syariah.

‘’Narasumber seperti Pak Firman sangat kita butuhkan ilmu dan pengalamannya, karena beliau seorang praktisi yang berprestasi,’’ kata Udin.

Kebahagiaan Udin, tatkala orang-orang yang bekerja padanya, dapat bersekolah atau melanjutkan pendidikan. Baik dari kalangan keluarganya maupun bukan. 

‘’Saya juga sangat bahagia, jika ditegur orang sukses yang ternyata pernah menjadi mahasiswa saya di Unpam. Saya sendiri lupa padanya,’’ ujar Udin sambil menyebut sejumlah anggota DPRD, pengusaha, dan tokoh masyarakat yang pernah dididiknya.

Pungkasan ia berpesan, ‘’Jangan pernah menyepelekan perbuatan baik sekecil apapun, karena kita pasti akan menuai investasi kebaikan itu.’’ 

Rep: nurbowo
Red: shodiq 

Sumber :SI Online