Pakar Hukum: Jenderal Polisi Jadi Penjabat Gubernur, Inkonstitusional
10Berita, JAKARTA Ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin menyatakan bahwa pengusulan jenderal polisi aktif menjadi penjabat gubernur, bertentangan dengan konstitusi atau inskonstitusional.
“Rencana penunjukan perwira tinggi Polri yang sedang menduduki jabatan di Kepolisian Negara RI yang tidak tergolong jabatan pimpinan tinggi madya adalah inkonstitusional,” katanya seperti dilansir VIVAnews, Ahad (28/1/18).
Irman mengungkapkan satu per satu dasar hukum yang melandasi argumentasinya tentang prosedur pengisian jabatan lowong gubernur. Pertama, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Disebutkan dalam Pasal 201 Ayat (10) bahwa dapat “… diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya …”
Undang-Undang itu diterjemahkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2018 yang disebutkan dalam pasl 4 ayat (2): “Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi.”
Menurut Irman, penambahan norma “/setingkat” dalam Pemendagri itu sesungguhnya bertentangan dengan Undang-Undang Pilkada sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 201 ayat (1). Alasannya, berdasarkan ketentuan itu, orang “yang dapat menduduki penjabat gubernur hanya orang yang telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, tidak boleh kepada orang yang menduduki jabatan ‘setingkat’.”
Kalau norma “setingkat” itu dipaksakan, kata Irman, dapat menyeret Polri dan TNI menyalahi konstitusi pula. Soalnya, konstitusi sudah memberikan batasan tegas peran dan otoritas institusi Polri dan TNI, yaitu menjaga kedaulatan negara, keamanan, ketertiban, serta penegakan hukum.
Aparatur Sipil Negara
Dasar kedua ialah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Istilah pimpinan tinggi madya dikenal dalam rezim jabatan aparatur sipil negara (ASN). Disebutkan dalam pasal 1 angka 7 dan angka 8 bahwa jabatan pimpinan tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah dan pejabat pimpinan tinggi adalah pegawai ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi.
Artinya, Irman menerjemahkan, hanya orang yang berada dalam jabatan apartur sipil negara yang tergolong pimpinan tinggi madya yang dapat menjadi penjabat gubernur.
Anggota Polri atau TNI yang boleh menduduki jabatan dalam aparatur sipil negara telah diatur pula dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Disebutkan dalam pasal 20: (1) Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN; (2) Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari: a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Namun, diatur pula dalam pasal itu tentang prajurit TNI atau pun Polri yang boleh menduduki jabatan ASN, yaitu “dilaksanakan pada instansi pusat sebagaimana diatur dalam Undang-undang TNI dan Undang-undang Polri.” Proses pengisian jabatan yang dimaksud itu diatur lagi dengan Peraturan Pemerintah.
Maka, menurut Irman, jabatan ASN yang dapat diisi oleh anggota Polri adalah sebatas jabatan ASN tertentu. Dijelaskan dalam pasal 147 Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017: “Jabatan ASN tertentu di lingkungan instansi pusat tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dipertegas lagi dalam Pasal 148 ayat (2) Peraturan Pemerintah yang sama bahwa “Jabatan ASN tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di instansi pusat dan sesuai dengan Undang-undang TNI dan Undang-undang Polri.”
Berdasarkan peraturan itu, menurut Irman, jabatan ASN tertentu yang dapat diisi oleh anggota Polri adalah hanya berada di instansi pusat.
“Perwira Polri yang dapat menjadi penjabat gubernur harus terlebih dahulu telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat, bukan jabatan ‘setingkat’ yang bisa dicaplok secara langsung dari Polri, karena jabatan ‘setingkat’ tidak dibolehkan oleh UU cq konstitusi,” ujarnya.
Irman memperingatkan bahwa pemerintah mesti membatalkan pengusulan jenderal atau dua perwira tinggi Polri sebagai penjabat gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara.
“Perlu diingat bahwa jantung konstitusi dan refomasi adalah berada pada Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Kepolisian 2002 bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian, setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian,” katanya. (*)
Sumber: Via News, Salam Online.