OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 10 Februari 2018

Gila dan Pura-pura Gila dalam Perspektif Fikih

Gila dan Pura-pura Gila dalam Perspektif Fikih

10Berita – Entah apa yang terjadi, dunia maya dihebohkan dengan berita orang gila yang menyerang ustadz dan ulama. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Emon Umar Basri, dianiaya pada Sabtu (27/1), tidak lama berselang Komandan Brigade Persis H.R. Prawoto yang meninggal karena dianiaya. Pihak kepolisian menyimpulkan bahwa pelaku penyerangan adalah orang dengan kelainan mental.

Namun, muncul dugaan lain bahwa pelaku bukanlah orang gila, tapi orang yang pura-pura gila. Dugaan ini juga tak kalah populernya di sosmed, bahkan disertai analisa fisik pelaku. Kedua masalah ini menarik dikaji secara fikih. Pertama, bagaimana hukum bagi orang gila yang membunuh atau menganiaya, kedua bagaimana hukum fikih orang yang pura-pura gila.

Pertama, para ulama sepakat bahwa gila termasuk dari awaridhul ahliyah (Hal yang menghalangi jatuhnya beban hukum terhadap seseorang). Hal ini berdasarkan hadits :

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاثٍ : عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ ” .

Artinya, “Pena diangkat dari tiga kelompok manusia. Dari anak kecil hingga dia baligh, dari orang tidur hingga dia bangun, dari orang gila hingga dia sadar.” (HR Ahmad)

Di dalam Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyahdisebutkan, “Kegilaan merupakan awaridh ahliyatul ada’, kegilaan menghilangkan (ahliyatul ada’) secara utuh, maka segala tindakan orang gila tidak memberikan dampak syar’i apapun. Karena illat (sebab hukum) ahliyatul ada’ adalah tamyiz (kemampuan membedakan yang baik dan buruk) dan berakal. Sedangkan orang gila tidak meiliki keduanya.”(Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, vol 16, hal 101)

Secara fikih dibahas juga apabila orang gila melakukan tindakan kriminal seperti pembunuhan dan penganiayaan. Meskipun orang gila tidak dapat dihukum secara syar’i, tapi jika perbuatannya merugikan orang lain, maka walinya dikenai kewajiban.

“Apabila orang gila melakukan tindakan kriminal, maka hukumannya berupa denda (diyat) dan bukan hukuman fisik. Apabila dia merusak harta orang lain, maka wajib baginya (walinya) untuk mengganti. Apabila dia membunuh maka dia tidak boleh diqishosh, akan tetapi (walinya wajib) membayar diyat(denda karena membunuh).”  (Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, vol 16, hal 107)

Kedua, adalah orang yang pura-pura gila (التظاهر بالجنون) . Terkadang ada orang yang menampakkan tanda-tanda kegilaan dengan tujuan tertentu, entah untuk menghindari hukuman atau tujuan lainnya.

Di dalam Kitab “Al-Manaqib Al-Mazidiyah fi Akhbaril Muluk Al-Asadiyah” diceritakan kisah seseorang yang bernama Baihas Al-Farazi. Ketika kampungnya diserang dan saudara-saudaranya dibunuh, Baihas menampakkan tanda-tanda kegilaan, yaitu dengan memasukkan kedua kakinya di lengan bajunya. Prilaku ini membuat orang yang membunuh saudaranya, kehilangan selera untuk membunuh Baihas. (Al-Manaqib Al-Mazidiyah fi Akhbaril Muluk Al-Asadiyah 1/185)

Syaikh Safar Ahmad Al-Hamdani yang menulis artikel “Al-Junun wa Anwa’uhu fil Mandzur Islami” (Jenis-jenis gila dalam perspektif Islam) menyebutkan dua kondisi terkait mereka yang pura-pura gila.

Kondisi pertama, jika diketahui dia pura-pura gila agar tidak menjalankan kewajiban-kewajiban syariat atau menghindari hukuman hudud yang harus diterimanya, maka dia dihukumi sebagai mukallaf (Orang yang terkenan pembebanan syariat). Sehingga wajib baginya mengerjakan segala beban syariat (seperti sholat, puasa haji dll). Dia dihukum jika melakukan tindakan kriminal, seperti hukum hudud dan hukuman-hukuman syariat lainnya.

Kondisi kedua, jika seseorang pura-pura gila dalam kondisi perang, untuk menipu musuh kafir, maka hal ini diperbolehkan baginya. Ini termasuk menipu musuh kafir dalam kondisi perang. Dan perang adalah tipu daya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW menyebut perang sebagai tipu daya. (HR Bukhori).

Sedangkan untuk memutuskan seseorang gila atau pura-pura gila tentunya harus dibuktikan oleh dokter kompeten dalam masalah itu. setelah dibuktikan, barulah diambil sikap atas orang gila tersebut. Wallahu a’lam bissowab

Penulis : Arju

Sumber :Kiblat.