OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 12 Februari 2018

Lagu Lama Judul Baru: Dari Ciketing Asem, Tolikara hingga Gereja St Lidwina

Lagu Lama Judul Baru: Dari Ciketing Asem, Tolikara hingga Gereja St Lidwina

10Berita, Gereja St Lidwina membuat ingatan saya terbang melayang pada dua nama daerah: Ciketing Asem di Kota Bekasi dan Tolikara di Papua. Ketiganya mengalami tragedi kekerasan yang berdarah-darah. Namun, reaksi media dan penguasa berbeda-beda. Siapa yang menjadi korban membuat pengelolaan isu tak serupa.

Tujuh tahun lalu, saat umat Islam merayakan Hari Kemenangan, kaum Muslim di Ciketing Asem justru bersimbah darah setelah aksi provokasi jemaat HKBP. Seketika itu juga dunia internasional menyoroti Ciketing Asem.

Berbagai media (cetak dan elektronik), baik dalam maupun luar negeri, kompak mengangkat peristiwa itu dengan satu angel yang seragam: kebebasan beribadah. Judul kemudian dibuat beragam. Beberapa di antaranya: “Pemkot Bekasi Diminta Berikan Izin Ibadah untuk jemaat HKBP” (Detik), Romo Benny: “Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku Kekerasan” (Detik), “Indonesia, Belajarlah Toleransi” (Kompas), “Kebebasan Beragama Belum Terjamin” (Kompas), “Ada Pertemuan sebelum Penusukan” (Kompas), “Kebebasan Beribadah Terancam” (Media Indonesia), “KWI: Gejala Intoleransi Terjadi” (Kompas), “Sukur Nababan: Ini Tindakan Biadab” (Kompas), “Jemaat HKBP Ditusuk saat akan Beribadah” (Koran Tempo), “Christian Worshippers Attacked in Indonesia” (New York Times/Associated Press).

Nada pemberitaan mereka seperti sudah diatur layaknya paduan suara yang menyanyikan lagu Kebebasan Beragama dengan syair yang menyudutkan umat Islam.

Padahal, faktanya tidak demikian. Tertusuknya jemaat HKBP akibat provokasi mereka yang berjalan kaki sejauh 2-3 Km untuk beribadah, dengan melewati rumah-rumah penduduk sambil bernyanyi kidung rohani.

Benturan tak terhindarkan. Tak cuma jemaat HKBP yang jadi korban, warga Ciketing Asem pun terluka. Insiden Cikeas terjadi karena bandelnya jemaat HKBP yang tidak mematuhi instruksi Pemkot Bekasi untuk tidak beribadah di Ciketing Asem. Tapi media tak mau tahu. Fakta itu mereka endapkan. Yang ditampilkan hanya akibat. Maka muncul berita-berita yang memojokkan umat Islam.

Tahun 2016, ketika umat Islam memekikkan takbir kemenangan di Hari Idul Fitri, nun jauh di Tolikara Papua aksi kekerasan kembali terjadi. Kaum Muslim yang hendak sholat ied diserang jamaah teroris GIDI (Gereja Injil Di Indonesia). Mereka juga membakar tempat ibadah umat Islam di sana. Lalu bagaimana media arus utama memberitakannya?

Simak pemberitaan Kompas Online. Judul berita mereka:

1. “Situasi Karubaga Berangsur Kondusif, Polisi Selidiki Pemicu Kerusuhan”

2. “Pembakaran Rumah Ibadah Melanggar Norma Adat Papua”

3. “MUI Minta Umat Islam di Tolikara Menahan Diri”

4. “Belasan Kios dan Rumah Warga Hangus Dibakar Massa Tak Dikenal”

Lain halnya dengan Metro TV Online. Awalnya mereka memberitakan peristiwa tersebut dengan judul: “Saat Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan Lempari Musholla di Tolikara”. Lalu judul diubah menjadi “Amuk Massa di Tolikara”.

Kita coba tarik lebih jauh ke belakang. Pada 2008 ada tragedi Monas 1 Juni. Peristiwa Monas diberitakan sebagai aksi kekerasan umat Islam terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Islam pun diopinikan sebagai antikebhinekaan, mengingat saat peristiwa terjadi bertepatan dengan ‘Hari Pancasila’. Padahal, bentrokan antara FPI dan AAKBB disebabkan oleh provokasi AKKBB. Tapi media tak mau tahu. Fakta itu mereka sisihkan, dan hanya memberitakan aksi kekerasan FPI.

Keesokan harinya, Koran Tempo menampilkan foto headline saat Munarman, tokoh FPI, sedang “mencekik” seorang laki-laki yang ditulis mereka sebagai “anggota AKKBB”, untuk memberikan efek dramatis aksi kekerasan FPI. Ternyata, fakta yang sesungguhnya tidak demikian. Munarman justru sedang berusaha mencegah anggota FPI melakukan serangan kepada anggota AKKBB.

Kini, pada tahun 2018, hal serupa juga terjadi. Pemberitaan media dan bagaimana respons penguasa terhadap penyerangan Gereja St Lidwina di Sleman, Yogyakarta, Ahad (11/2) lalu, setali tiga uang dengan kasus Ciketing Asem dan Monas.

Simak berita dibawah ini:

1. Gereja St Lidwina Diserang, Jokowi: Tidak Ada Tempat bagi Intoleran (Tempo)

2. Gereja Diserang, Kemenag DIY: Ini Perilaku Intoleran (Detik)

3. Wiranto: Pelaku Penyerang Gereja Santa Lidwina adalah Teroris (Kompas)

Sebelum peristiwa ini terjadi, penyerangan juga dialami para ulama. Bahkan Ust Parwoto meninggal dunia karena penganiayaan. Tapi tak ada suara soal intoleransi dan teroris. Yang mengemuka adalah pelaku disimpulkan orang gila.

Inilah yang saya sebut lagu lama judul baru. Jika korban bukan umat Islam, maka senandung lagu akan sama dengan yang lama. Hanya judulnya saja yang berbeda.

Erwyn Kurniawan

Sumber : Ngelmu.co