Maneger: Negara Berhak Hentikan "Orang Gila" Pemburu Ulama
Polisi haru usut tuntas pelaku, motif, dan dugaan adanya aktor intelektualnya.
10Berita , JAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengaku terkejut dan prihatin dengan kembali terulangnya peristiwa penganiayaan yang dialami ulama. Kali ini dialami dua ulama di Jawa Barat dalam waktu sepekan.
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Maneger Nasution mengatakan, masyarakat terutama ulama patut mewaspadai teror baru yang disebut "OGGB" (orang gila gaya baru). Kewaspadaan ini diperlukan karena dengan dalil "orang gila" seolah punya "alasan" untuk menghentikan proses pengusutan hukumnya.
"Akibatnya, pelaku terduga "OGGB" itu bebas begitu saja "demi hukum". Modus ini perlu diwaspadai," ujarnya kepada Republika.co.id, Jakarta, Senin (5/2).
Masih segar dalam ingatan publik dalam hitungan hari sebelumnya Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung KH Emon Umar Basyri, yang oleh Polisi disebut dianiaya oleh "orang gila" pada Sabtu (27/1). Belum genap sepekan peristiwa yang hampir sama terjadi lagi. Bahkan peristiwa ini meninggalkan duka mendalam karena Ustadz Prawoto meninggal dunia akibat penganiayaan seorang pria pada Kamis (2/1/2018).
"Lagi-lagi Polisi menyebut dilakukan oleh orang gila", ungkapnya. Oleh karena itu, negara harus hadir menunaikan mandatnya menghentikan modus "OGGB" ini.
Polisi harus mengusut kasus-kasus tersebut sampai tuntas. Tidak hanya pelaku, tapi juga motif dan dugaan adanya aktor intelektual, ucapnya.
Menurutnya, dengan melihat kembali berulangnya kasus dengan pola dan modus yang relatif sama, Polisi sebaiknya tidak tergesa-gesa menyimpulkan pelakunya sebagai "orang gila". "Polisi perlu mengurai secara profesional dan mandiri apakah kasus-kasus tersebut murni pidana? Atau, by design?," ungkapnya.
Meskipun polisi menyebut kedua orang pelaku penganiaya itu diduga "sakit jiwa", tapi proses hukum harus tetap berjalan, tidak boleh berhenti, apalagi sudah jatuh korban nyawa. "Biarlah pengadilan, berdasarkan fakta-fakta medis dan fakta hukum lainnya di persidangan yang punya otoritas memutuskan apakah para pelaku penganiayaan ini benar-benar "sikat jiwa" atau tidak," ucapnya.
Ia meminta, masyarakat tetap harus tenang dan jernih melihat fenomena ini. Publik tidak boleh terprovokasi dan main hakim sendiri.
"Mari hadirkan kepercayaan tersisa, semoga Polisi mengusut tuntas kasus-kasus tersebut secara profesional dan mandiri," ucapnya.
Dikatakannya, ada baiknya pihak kepolisian melihat fenomena ini sebagai hal yang serius. Kemudian mereka harus segera memetakan persoalan serta mencari solusinya agar syiar ketakutan publik ini tidak semakin meluas, serta para ulama dan ustadz bisa beraktivitas dengan tenang.
Negara harus hadir menunaikan mandatnya memastikan bahwa peristiwa yang sama tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Negara juga harus hadir menjaga kondusifitas di seluruh NKRI pada tahun politik, menjelang Pilkada serentak pada 27 Juni 2018 mendatang.
Peristiwa-peristiwa penganiayaan yang menimpa ulama dan ustaz harus dipandang luas dan dari berbagai perspektif. Sehingga, tidak tegesa-gesa menyimpulkan kejadian-kejadian ini hanya peristiwa kriminal biasa.
"Peristiwa sekecil apapun di tahun politik menjelang pilkada serentak ini, apalagi yang bernuansa sensitif dan berpotensi memantik kemarahan publik, patut diperiksa dengan seksama dan harus diusut tuntas pelaku, motif dan dugaan adanya aktor intelektualnya," ucapnya.
Polisi sebaiknya bergerak cepat mengusut tuntas kasus-kasus tersebut secara profesional dan mandiri. Polisi harus menjelaskan secara transparan kepada publik siapa pun pelaku, apa pun motif, dan dugaan adanya aktor intelektualnya. "Apakah fenomena "OGGB Pemburu Ulama" ini kriminal murni atau by design? Hanya Allah dan Polisi yang tahu," tandasnya.
Sumber : Republika.co.id