Menasehati Penguasa = Yes ! ; Menjilat Penguasa = No !
Oleh: Ust. Abu Husein At-Thuwailibi
10Berita, Saudaraku pembaca yang senantiasa dirahmati Allah, terkait dengan hadits menasehati pemimpin dengan cara diam-diam, telah dibahas dan dijelaskan akan dho’if nya derajat hadits tersebut oleh para ahli ‘ilmu, diantaranya oleh Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib Hafizhahullah yang bisa anda baca disini:
http://jafarumarthalib.com/?p=78 dan http://jafarumarthalib.com/?p=76
Diriwayatkan dari Ziyad bin Hudair, bahwa Umar bin Khathab pernah berkata kepadanya,
,ﻫَﻞْ ﺗَﻌْﺮِﻑُ ﻣَﺎ ﻳَﻬْﺪِﻡُ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡَ؟ ﻗَﺎﻝَ ﻗُﻠْﺖُ : ﻻَ. ﻗَﺎﻝَ : ﻳَﻬْﺪِﻣُﻪُﺯَﻟَّﺔُ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻢِ ﻭَﺟِﺪَﺍﻝُ ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻖِ ﺑِﺎﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺣُﻜْﻢُ ﺍﻷَﺋِﻤَّﺔِ ﺍﻟْﻤُﻀِﻠِّﻴﻦَ
“Tahukah engkau apa yang menghancurkan Islam?”Lalu Ziyad menjawab,“Tidak tahu.”
Umar berkata, “Yang menghancurkan Islam adalah penyimpangan orang berilmu, bantahan orang munafik terhadap Al-Qur’an, DAN KEPUTUSAN PARA PEMIMPIN YANG MENYESATKAN”
(Riwayat Ad-Darimi, dan berkata Syaikh Husain Asad: isnadnya shahih)
Menasehati pemimpin dengan nasehat yang baik dan cara yang bijak adalah ibadah yang sangat mulia. Bahkan ketika Nabi ditanya jihad apa yang paling utama? Beliau menjawab:
كلمة حق عند سلطان جائر
“Kalimat yang benar yang disampaikan di sisi pemimpin yang dzalim“.(HR. Imam Nasai, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shahihah: 491)
Banyak orang salah paham tentang hadits ini dan menjadikannya dalil untuk mendiamkan kemungkaran para pemimpin dan melarang orang untuk mengkiritik pemimpin secara terbuka dengan alasan bahwa hadits ini terdapat lafadz عند سلطان (di sisi pemimpin) yang berarti mesti menyampaikannya secara langsung dihadapan pemimpin dan tidak boleh secara terbuka. INI PEMAHAMAN YANG KELIRU YANG DI MUNCULKAN OLEH SEGELINTIR KELOMPOK SEKTE MULUKIYAH (Penjilat Para Pemimpin) dan sesuai kepentingan para penguasa itu sendiri.
Adapun perintah Allah kepada Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi Fir’aun secara langsung dan menasehatinya dengan lembut sebagaimana yang tercantum dalam Qur’an surat Thoha ayat 43-44, lalu ayat ini dijadikan argument oleh khalifah Umar Bin Abdil Aziz Rahimahullah di masa lalu saat beliau dikritik keras oleh seseorang. Sang Khalifah pun berkata: “Aku tidak sejahat Fir’aun, sedang Anda tidak sebaik Musa; tapi Musa dan Harun diperintah untuk menasehati Fir’aun dengan qaulan layyinan, kata-kata yang baik.”
Maka argumen ini hanya mengkritik sikap kasar dalam menasehati pemimpin; bukan menghilangkan hak menasehati pemimpin itu sendiri. Karena menasehati pemimpin dijamin sepenuhnya oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ‘Alaihi Sholawatu Wa Salam.
Kalau bisa menasehati secara damai, lembut, santun,dan secara langsung maka lakukanlah. Namun kalau tidak bisa karena tidak efektif, ya silahkan lakukan cara lain yang lebih efektif dan menghasilkan pengaruh nyata.
Adapun kita menyebut kejelekan pemimpin di forum umum seperti facebook, mimbar umum atau sampai menyebarkan hal-hal yang tidak pantas tentang pribadi pemimpin atau bahkan mengajak melakukan pemberontakan dsb, maka ini bukanlah nasehat atau kritik,akan tetapi justru lebih kepada memprovokasi rakyat untuk melakukan hal-hal yang merusak dan membuat kekacauan dalam suatu negara, sehingga menimbulkan kerusakan dan pemberontakan yang tidak disyari’atkan dalam islam.
Akan tetapi, bukan berarti menasehati atau mengkritik pemimpin secara terbuka itu HARAM atau TERLARANG, bahkan hal itu di syari’atkan bila kondisinya menuntut demikian, demi sampainya kebenaran dihadapannya (baik secara langsung atau tidak) dan tegakknya hujjah serta amar makruf nahi mungkar.
Sebagaimana yang yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berikut ini:
مسألة مناصحة الولاة، من الناس من يريد أن يأخذ بجانب من النصوص وهو إعلان النكير على ولاة الأمور، مهما تمخض عنه من المفاسد، ومنهم من يقول: لا يمكن أن نعلن مطلقاً، والواجب أن نناصح ولاة الأمور سراً كما جاء في النص الذي ذكره السائل، ونحن نقول: النصوص لا يكذب بعضها بعضاً، ولا يصادم بعضها بعضاً، فيكون الإنكار معلناً عند المصلحة، والمصلحة هي أن يزول الشر ويحل الخير، ويكون سراً إذا كان إعلان الإنكار لا يخدم المصلحة، لا يزول به الشر ولا يحل به الخير.
“Masalah menasehati penguasa, ada dari sebagian orang yang hendak berpegang dengan sebagian dalil,yakni mengingkari penguasa secara terbuka, walaupun sikap tersebut hanya mendatangkan kerusakan. Di sisi lain ada pula sebagian orang yang beranggapan bahwa mutlak tidak boleh ada pengingkaran secara terbuka, sebagaimana dijelaskan pada dalil yang disebutkan oleh penanya. Namun demikian, saya menyatakan bahwa dalil-dalil yang ada tidaklah saling menyalahkan dan tidak pula saling bertentangan. Oleh karena itu, BOLEH MENGINGKARI PENGUASA SECARA TERBUKA BILA DI ANGGAP DAPAT MEWUJUDKAN MASLAHAT, yaitu hilangnya kemungkaran dan berubah menjadi kebaikan. Dan boleh pula mengingkari secara tersembunyi atau rahasia bila hal itu dapat mewujudkan maslahat, sehingga kerusakan tidak dapat ditanggulangi dan tidak pula berganti dengan kebaikan.(Liqa’ Al-Baabul-Maftuh)
Para ulama terdahulu dari kalangan Salafus Shalih berani mengingatkan penguasa yang berbuat salah. Tak jarang,karena enggan diajak kompromi maka mereka akhirnya berhadapan dengan ”siksaan”. Dan itu semua dihadapi dengan penuh ketegaran, diantaranya seperti Imam Ahmad Bin Hanbal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dll.Dengan menjaga jarak terhadap penguasa dan tetap berkata HAQ dihadapan para penguasa,para ulama tidak terbebani, demikian pula mereka tidak terbebani ketika harus melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada para penguasa. Bahkan kerap kali para ulama harus berhadapan dengan resiko yang besar ketika melakukan hal itu. akan tetapi, mereka tidak pernah gentar.
Anehnya, banyak kalangan mulukiyah (para penjilat berjubah) yang menyalahkan dan membid’ahkan para Da’i yang ikhlas mengkritik pemerintah/pemimpin secara terbuka dengan alasan “itu manhaj khawarij” atau alasan lain semisal “kita harus menasehati secara langsung empat mata”, padahal, dirinya sendiri TAK PERNAH BERHADAPAN LANGSUNG DENGAN PEMIMPIN SECARA EMPAT MATA, yang ada adalah diam terhadap kemungkaran pemimpin dan mencari aman,sehingga mereka justru menjadi manusia pengecut dan penjilat ! Hal seperti ini dinilai oleh ulama salaf dahulu sebagai suatu cabang dari cabang-cabang kemunafikan, sebagaimana kata Imam Abu Hazim,”Sebaik-baik umara adalah mereka yang mendatangi ulama dan seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mencintai penguasa.”
Jadi menasehati atau mengkritik pemimpin dengan cara yang bijak (baik secara langsung atau tidak langsung) adalah kemuliaan dan keberanian. Adapun diam terhadap kemungkaran penguasa dengan alasan tidak boleh mengumbar aib penguasa di media umum adalah KEHINAAN dan CABANG KEMUNAFIKAN. Tidaklah dilakukan kecuali oleh para penjilat dan pengecut.
Marilah kita senantiasa menasehati pemimpin sesuai kemampuan kita, bila dengan cara langsung dihadapannya kita rasa mampu maka lakukanlah, namun bila dengan cara pembentukan opini dan kritik terbuka yang bisa kita lakukan dan diharap dapat mendatangkan maslahat atau minimal mengurangi madhorot maka silahkan lakukan, seraya tetap mendoakan kebaikan untuk pemimpin kita agar dibimbing oleh Allah kepada jalan yang benar sesuai ajaran Islam.Muncul pertanyaan, “APAKAH MENGKRITIK PENGUASA SECARA TERBUKA TIDAK PERNAH DI CONTOHKAN PARA ULAMA DAN HAL ITU MERUPAKAN MANHAJ KHAWARIJ ??”
Jawabannya simple, pada tahun 83 Hijriyah, sebanyak 100.000 penduduk Bashrah dan Kuffah berkumpul melawan Khalifah Abdul Malik dan panglimanya yang bernama Hajjaj. Beberapa ulama turut serta dalam perlawanan ini, seperti : Imam Sa’id bin Jubair, Imam Asy-Sya’bi, Imam Hasan Al Bashri dan Muslim bin Yasar. Walau demikian,TIDAK ADA SATUPUN ULAMA YANG MENUDUH 100.000 PENDUDUK BASHROH DAN ULAMA-ULAMA DIATAS SEBAGAI KHAWARIJ.
Imam Ahmad bin Nasr Al-Khuza’i memberontak pada khalifah dimasanya sampai beliau terbunuh. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal mendengar kabar ini beliau bersedih dan berkata: “Semoga Allah merahmati beliau, sungguh beliau telah berjuang di jalan Allah”. Kisah ini terdapat dalam Kitab Al-Bidayah wa Nihaayah di jilid ke-10.
Jadi, tidak semua yang memberontak penguasa adalah khawarij. Memberontak penguasa saja belum tentu menjadi “khawarij”,mesti dilihat dulu konteks kasusnya,apalagi hanya sekedar mengkritik dan menasehati penguasa secara terbuka.
Ulama pada masa Al-Hajjaj seperti Asy-Sya’bi, Imam An-Nakha’i, Imam Mujaahid dll mengkafirkan Al-Hajjaj sedangkan Hasan Al-Bashri, Anas Bin Malik dll tidak mengkafirkan Al-Hajjaj. Apakah Imam Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Mujaahid divonis “khawarij” oleh Ulama lain di masanya? Jawabnya tidak.!
Di dalam Kitab Al-Bidayah wa Nihayah juz 8 halaman 217 disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali Radhiyallahu’anhu,pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari kepemimpinan penguasa fajir Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain Radhiyallahu’anhu dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 Hijriyah. Beliau juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain Radhiyallahu’anhu pada saat itu termasuk firqah sesat atau “khawarij”.
[Lihat Kitab Al-Bidayah wa An Nihayah]
Demikianlah cara yang dilakukan oleh Imam Husain Bin ‘Ali Radhiyallahu’anhu untuk mengoreksi dan mengkritisi kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah,walau berujung pada pembantaian berdarah keluarga Ahlul Bait dan beliau gugur sebagai Syahid. Ingat!! Beliau di bantai di karbala’ karena keteguhan beliau keluar dari ketaatan penguasa fajir lagi zholim,yakni Yazid Bin Mu’awiyah.
Lantas, bagaimana kalau para ulama diatas melakukan hal seperti itu dizaman sekarang ?? bisa-bisa terkena cap “khowarij” juga kali ya…?? Ya, yang ngecap “khawarji” itu tidak lain adaah para “penjilat berjubah”.
Demikianlah bila orang dungu hanya memahami terminologi khowarij, padahal Ulama membagi pemberontak menjadi 4 macam; yaiti khowarij, muharribun, ahlul baghiy dan ahlul haq. Namun kenapa para Da’i dan pencari ilmu hanya dicecoki “khawarij saja” ??
Semoga Allah membimbing pemimpin-pemimpin kita ke jalan yang lurus dan memberi petunjuk kepada kita semua baik rakyat maupun pemimpin, Allaahumma Aamiin…
Sumber : Eramuslim