OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 22 Februari 2018

Peraturan Larangan Warga Etnis Tionghoa Miliki Tanah, Sri Sultan Digugat ke Pengadilan

Peraturan Larangan Warga Etnis Tionghoa Miliki Tanah, Sri Sultan Digugat ke Pengadilan


10Berita, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Yogyakarta menolak gugatan terhadap kebijakan kepemilikan tanah di DIY yang diatur dalam Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor K.898/I/A/1975. Dalam instruksi tersebut, berisi larangan bagi warga nonpribumi untuk memiliki tanah di DIY.

“Mengadili dalam pokok perkara, menolak gugatan penggugat, menghukum penggugat membayar biaya perkara Rp 407 ribu,” kata Hakim Ketua, Cokro Hendro Mukti, saat membacakan amar putusan di PN Yogya, Selasa (20/2/2018).

Pihak penggugat yakni seorang pengacara, Handoko. Dalam gugatannya yang ditujukan kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dia menilai ada perlakuan diskriminasi terkait pemberlakuan Instruksi Wagub DIY Nomor K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang penyeragaman policy pemberian hak atas tanah pada seorang WNI nonpribumi. Hal itu dinilainya bertentangan dengan Inpres 26/1998 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Sehingga, Handoko menilai gubernur dan BPN telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Majelis hakim dalam pertimbangannya berdasarkan pemeriksaan surat-surat dan keterangan saksi serta ahli di persidangan, mengatakan bahwa Instruksi Wagub DIY Nomor K.898/I/A/1975 tidak bisa diuji di pengadilan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi karena bukan merupakan peraturan perundangan, melainkan peraturan kebijakan setelah berlakunya UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga untuk mengetahui apakah penerapan produk peraturan kebijakan merupakan perbuatan melawan hukum sesuai dalil penggugat, hanya bisa diuji dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Selain itu, majelis hakim juga berpendapat berdasarkan sejarah, hak asal-usul, dan UU Keistimewaan DIY, maka Pemda DIY diberi keistimewaan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berbeda dibanding daerah lain, yaitu untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa yang terdiri dari tata cara pengisian jabatan dan tugas gubernur/wagub, kelembagaan Pemda DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.

Alasan tergugat bahwa penerapan Instruksi Wagub DIY Nomor K.898/I/A/1975 untuk melindungi masyarakat ekonomi lemah, keistimewaan DIY, menjaga kebudayaan dan keberadaan Kasultanan Yogyakarta keseimbangan pembangunan masa depan DIY, dan demi pembangunan masa depan DIY, majelis hakim juga berpendapat hal itu tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Atas putusan yang menolak gugatan penggugat, majelis hakim mempersilakan pihak-pihak yang berkeberatan untuk menempuh upaya banding.

“Kami bersyukur atas putusan ini dalam pokok perkara dan putusan, gugatan penggugat ditolak. Kami siap jika (penggugat) ajukan banding,” kata kuasa hukum Gubernur DIY, Adi Bayu Kristanto, yang merupakan Kabag Bantuan dan Layanan Hukum, Biro Hukum Setda DIY.

Sementara itu, Handoko berniat mengajukan banding atas putusan hakim. Menurutnya, jika salah satu alasan penerapan Instruksi Wagub K.898/I/A/1975 untuk melindungi masyarakat ekonomi lemah, menurutnya tolok ukurnya bukan ras atau identitas kelompok.

“Melindungi golongan lemah, harusnya pengukurnya kekayaan, luasan tanah, bukan terhadap ras. Masalah putusan bukan kewenangan saya, saya hormati putusan hakim tapi saya akan banding,” tandasnya saat ditemui seusai persidangan.

Handoko sendiri mengajukan gugatan pada bulan Oktober 2017. Sebelumnya, dia sudah dua kali melakukan gugatan dengan materi serupa dan hasilnya juga sama, yakni ditolak pengadilan.

Sumber : moslemcommunity.net