Tumbal-Tumbal Infrastruktur Jokowi
10Berita, Tanda-tanda bahwa proyek infrastruktur juga akan mengalami kegagalan membayang di pelupuk mata, seiring banyaknya terjadi kecelakaan kerja. Proyek infrastruktur adalah pertaruhan terbesar bagi masa depan politik Jokowi. Bila proyek ini juga gagal, lantas apalagi yang bisa dijual Jokowi kepada para pemilih?
Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menghentikan sementara semua proyek infrastruktur dalam skala besar. Banyaknya kecelakaan, bahkan sampai meminta korban nyawa, menunjukkan ada yang salah dengan proyek ini.
“Dalam dua tahun ada 14 kali kecelakaan. Ono opo?,” tanya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljo masygul.
Keputusan pemerintah walaupun terlambat, patut diapresiasi. Ambruknya cetakan beton kepala pilar (bekisting pierhead) di proyek jalan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang mengakibatkan tujuh orang pekerja terluka (20/2) memaksa pemerintah harus segera bertindak.
Bila dihitung dalam lima bulan terakhir saja, ada 11 kecelakaan terjadi, atau lebih dua kali dalam sebulan. Sejauh ini setidaknya sudah ada delapan nyawa yang melayang sia-sia, menjadi korban, tumbal sebuah pembangunan. Para korban tewas tersebar di Jakarta, Bogor, Pasuruan, Cengkareng dan Palembang.
Kecelakaan terparah terjadi saat sebuah crane proyek pembangunan rel dwiganda (double-double track) di Jatinegara, Jakarta Timur (4/2) yang mengakibatkan empat pekerja tewas.
Sehari kemudian (5/2) drama tragis dan horor terjadi ketika tembok beton underpass di Jalan perimeter Bandara Soekarno-Hatta ambruk dan menimpa mobil yang melintas. Dua orang karyawan wanita yang berada di dalam mobil tersebut terjebak lebih dari 10 jam. Keduanya berhasil dievakuasi, namun satu orang tewas karena luka dan dehidrasi.
Menteri Basuki menemukan fakta ada kesalahan teknis dalam pembangunan proyek underpass tersebut dan langsung menyurati Menteri Perhubungan agar dibongkar.
Sebenarnya jika mengikuti saran banyak kalangan, berbagai kecelakaan tersebut tidak perlu terjadi. Menteri PUPR juga tidak perlu bertanya dengan nada heran dan sedih “ono opo?” alias ada apa? Sudah sejak awal berbagai proyek infrastruktur dikebut, tanpa perhitungan yang cukup matang, termasuk dari perencanaan anggarannya.
Pengamat Ekonomi Faisal Basri sejak beberapa bulan lalu sudah mengingatkan, agar ditunda. Dia menilai pembangunan infrastruktur pemerintahan Jokowi dilakukan secara ugal-ugalan, tanpa mempertimbangkan pengelolaan anggaran yang baik.
Seperti ungkapan tanya ono opo? Ugal-ugalan adalah kosa kata yang berasal dari bahasa Jawa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan kurang senonoh, kasar, kurang ajar dan nakal.
Faisal menilai semuanya dilakukan dengan ambisi untuk mengejar target.
“Tidak bisa kerja hanya dengan modal ambisi. Uang tidak datang dari langit,” tegasnya.
Berdasarkan data dari Kementrian Keuangan dalam tiga tahun terakhir (2015-2017), pemerintah mengalokasikan dana infrastruktur sebesar Rp 913,5 triliun. Pada APBN 2018, dana infrastruktur kembali naik menjadi Rp 410,7 triliun.
Dana infrastruktur menyerap anggaran terbesar di APBN pemerintah (19%), dan hanya kalah dibandingkan dengan anggaran pendidikan (20%). Itupun kata Menteri Keuangan Sri Mulyani masih kurang besar.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menilai cara pemerintah membangun infrastruktur seperti sopir angkot yang kejar setoran. “Yang penting selesai, tanpa mengutamakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan penumpangnya,” tegasnya.
Berbagai kecelakaan tersebut menurut Ketua Masyarakat infrastruktur Indonesia Harun Al Rasyid Lubis adalah fenomena gunung es. “Ada kesalahan sistem. Akar masalahnya sangat mendasar. Bisa jadi passive factor terkait manajemen. Bukan sekadar active factor jika melihat dari man-machine interaction,” tuturnya.
Sebagai fenomena gunung es, Sekjen DPP PAN Eddy Soeparno mengkhawatirkan bila proyek tersebut terus dilanjutkan, tidak hanya berbahaya bagi para pekerja, tapi juga para penggunanya di kelak kemudian hari. Bila itu yang terjadi dampaknya akan sangat fatal.
Salah satu contoh bahwa pembangunan infrastruktur dilakukan secara ugal-ugalan adalah munculnya keluhan dari Gubernur DKI Anies Baswedan. Ada 10 proyek infrastruktur di DKI yang dilaksanakan tanpa mengajukan analisa mengenai dampak lingkungan lalu lintas (Amdal Lalin). Akibatnya terjadi kemacetan lalu lintas luar biasa menjadi pemandangan sehari-hari di Jakarta.
Sepuluh proyek yang dituding Anies tidak mempunyai amdal lalin antara lain, flyover Pancoran, flyover Cipinang-Lontar, flyover Bintaro, underpass Mampang-Kuningan, underpass Kartini, underpass Matraman, LRT Cawang-Dukuh Atas, LRT Velodrome-Kelapa Gading, pembangunan ruas tol dalam kota koridor Sunter-Pulogebang, pembangunan tol Depok-Antasari, serta tol Becakayu.
Ketika meresmikan tol Becakayu, Presiden Jokowi membantah tudingan tersebut dengan santai dan berkata pendek “ Lha wong sudah dipakai, gimana sih.”
Kepentingan Pilpres 2019
Mengapa pemerintahan Jokowi begitu berambisi mengejar pembangunan proyek infrastruktur dan sampai harus mengabaikan berbagai faktor? Mulai dari keseimbangan neraca keuangan pemerintah, sampai dengan hal yang sangat fundamental masalah keselamatan pekerja, dan juga keselamatan publik penggunanya?
Hal itu tampaknya erat kaitannya dengan Pilpres 2019. Infrastruktur akan menjadi “jualan” utama dalam kampanye Jokowi. Para pendukungnya sering membangga-banggakan betapa dahsyatnya pembangunan infrastruktur di masa Jokowi dibanding masa SBY.
Total ada 245 proyek infrastruktur yang masuk dalam Proyek Strategsi Nasional (PSN). Hingga akhir 2017, baru 26 PSN yang rampung. Padahal, pemerintah menargetkan 170 proyek rampung pada 2020.
Tahun ini pemerintah menargetkan 50 proyek selesai. Tahun 2019 ditarget 56 proyek selesai dan 2020 sebanyak 23 proyek selesai.
Dalam berbagai survei juga menunjukkan masyarakat sangat puas dengan pembangunan infrastruktur di masa Jokowi. Isu ini diperkirakan bisa menggantikan jualan utama Jokowi yang bisa membawanya ke puncak kekuasaan, yakni “kesederhanaan,” Isu tersebut sekarang sudah mulai tidak laku.
Bila berhasil, proyek infrastruktur juga bisa menutupi kelemahan pemerintah pada tiga isu utama: masalah hubungan dengan umat Islam, utang pemerintah yang terus menggunung, dan membanjirnya pekerja Cina yang datang bersamaan dengan bantuan dana proyek infrastruktur.
Namun tanda-tanda bahwa proyek infrastruktur juga akan mengalami kegagalan membayang di pelupuk mata, seiring banyaknya terjadi kecelakaan kerja. Proyek infrastruktur adalah pertaruhan terbesar bagi masa depan politik Jokowi. Bila proyek ini juga gagal, lantas apalagi yang bisa dijual Jokowi kepada para pemilih?
Jangan sampai terjadi seperti dikatakan oleh Wakil ketua DPR Fahri Hamzah, “Pemerintahan sebelumnya kebanyakan mikir, tapi tidak kerja. Sebaliknya pemerintahan Jokowi, hanya fokus kerja….kerja….kerja…. Tapi tidak mikir.
Penulis: Hersubeno Arief, Konsultan media dan politik
Sumber : Eramuslim