Apa yang Mendorong Kekerasan Anti-Muslim di Sri Lanka?
10Berita, Sehari sebelum massa anti-Muslim menyerang sebuah kota yang damai di pusat Sri Lanka, seorang pemimpin kelompok nasionalis Sinhala berjalan-jalan melalui pusat kota.
“Kami telah membagikan selebaran dan sekarang telah mencapai Digana,” Amith Weerasinghe mengatakan di depan kamera handphonenya. ”Tetapi masalahnya ialah kita bahkan belum menemukan 20 toko yang dimiliki oleh etnis Sinhala,” kutip Aljazeera.
Kemudian dia melanjutkan: ”Kota ini menjadi hanya milik orang Muslim. Kita seharusnya sudah mulai mengatasi masalah ini sejak lama.”
“Kita, sebagai orang Sinhala, yang harus disalahkan. Jika ada orang Sinhala di Digana atau dekatnya, silahkan datang.”
Video itu, yang diposting di Facebook, YouTube dan Twitter, telah disebarkan secara luas.
Video itu merupakan awal dari kampanye vandalisme dan serangan pembakaran di distrik Kandy pusat, di mana Digana berlokasi, mendorong pemerintah mengerahkan tentara, mendeklarasikan keadaan darurat dan memblokir akses internet.Kekerasan tersebut, yang dipicu oleh kematian seorang pria Sinhala setelah dipukuli oleh sekelompok pria Muslim karena permasalahan lalu lintas, menyebabkan setidaknya dua orang tewas, dan masjid-masjid, serta lusinan rumah dan toko, dibakar atau dihancurkan.
Insiden itu menimbulkan kekhawatiran akan instabilitas di Sri Lanka, sebuah negara Asia Selatan yang masih berjuang untuk pulih dari perang etnis sipil selama hampir tiga dekade.
Konflik – dengan separatis Tamil – berakhir pada tahun 2009, tetapi sebuah garis patahan telah muncul sekali lagi di Sri Lanka. Kali ini, dalam perbedaan agama, antara Sinhala Buddha yang merupakan 75 persen dari 21 juta populasi negara Samudera Hindia itu, dan minoritas Muslim, yang hanya 9 persen dari populasi.
Minoritas yang terancam
Dua komunitas telah hidup secara harmonis selama beberapa generasi, namun keresahan masih ada diantara komunitas Sinhala, serta perubahan ekonomi dan budaya yang baru-baru ini terjadi di masyarakat Sri Lanka telah melahirkan benang beracun nasionalisme Sinhala Buddha, menurut para analis.
Jehan Perera, direktur eksekutif Dewan Perdamaian Nasional berbasis di Colombo, mengatakan meningkatnya sentimen anti-Muslim sangat berkaitan dengan”kegelisahan historis etnis Sinhala yang menganggap diri mereka sebagai sebuah minoritas yang terancam”.
Separatis Tamil yang dianggap sebagai bagian dari populasi Tamil yang lebih besar Tamil Nadu India, sementara Muslim dianggap sebagai ”bagian dari kolektivitas yang lebih besar – komunitas global Islam – yang suatu hari nanti akan mengambil alih Sri Lanka,” katanya.
Anggapan itu telah menyebabkan kekhawatiran akan peningkatan populasi Muslim dan menimbulkan rumor palsu tentang rencana Muslim untuk mengurangi populasi Sinhala, termasuk memberi mereka alat kontrasepsi.
Nama ormas Bodu Bala Sena (BBS) mencuat sebagai aktor penting dalam kekerasan sektarian di Sri Lanka selama beberapa tahun terakhir
Rumor semacam itu menyebabkan massa membakar toko-toko Muslim pada Februari di wilayah timur negara itu. Di sana, seorang koki Muslim dituduh memasukkan”pil sterilisasi” ke makanan yang dijual pada pembeli etnis Sinhala.“Ini benar-benar palsu dan karangan,” kata Perera.
Faktor lain yang memicu sentimen anti-Muslim ialah kecemburuan kota kecil karena persepsi bahwa Muslim lebih memiliki kekuatan ekonomi yang lebih, kata Nizamuddeen Mohamed Ameen, presiden Dewan Muslim Sri Lanka.
“Ini mitos,” katanya.”Di banyak kota, banyak toko-toko kecil milik Muslim. Mereka memang orang bisnis, tetapi bisnis mereka kecil, menjual kebutuhan sehari-hari.
Sumber ketidakpercayaan lainnya termasuk meningkatkan pengaruh Arab dalam budaya Muslim Sri Lanka pada beberapa tahun ini, kata Ameen dan Perera.
Muslim secara tidak proporsional mewakili lebih dari satu juta orang Sri Lanka yang pergi keluar negeri untuk bekerja, terutama di Timur Tengah. Ketika mereka kembali, mereka”membawa pulang uang dan kembali dengan pola pikir Arab yang lebih banyak daripada saat mereka pergi,” kata Perera.
“Di satu sisi, banyak uang datang dari negara-negara Arab ke dalam Sri Lanka, banyak masjid dibangun. Dan banyak wanita Muslim berpakaian berbeda – tidak seperti sebelumnya, mereka menggunakan niqab,” katanya.
Ameen menyetujui:”Ibu-ibu kami menutupi rambu mereka, tetapi mereka tidak menggenakan niqab. Cara berpakaian orang Muslim telah berubah, dan [Sinhala] mengira [Muslim] sedang mengikuti model Arab Saudi dan negara Arab lain.”
Kekebalan
Anggapan dan rumor seperti ini menyebar dan diperjelas di media sosial melalui postingan, meme, dan video, khususnya di laman Facebook milik kelompok-kelompok nasionalis Sinhala, kata para analis.
Kelompo nasionalis paling terkenal ialah Mahason Balakaya dan Bodu Bala Sena (BBS) yang dipimpin biksu Buddha Galagoda Atte Gnanasara, yang terakhir ini memiliki hubungan dengan kelompok Buddha garis keras Ma Ba Tha di Myanmar.
Karena sikap mereka, BBS dan Mahason Balakaya tidak menerima dukungan rayat, sehingga beberapa sentimen anti-Muslim mereka disebarkan oleh etnis mayoritas Sinhala.
Keberanian mereka didorong oleh kegagalan pemerintahan Presiden Maithiripala Sirisena dalam mengambil sikap terhadap penghasutan dan ujaran kebencian, aktivis lain mengatakan.
Contohnya, sebuah pidato Juni 2014 oleh Gnansara secara luas dianggap memicu kerusuhan anti-Muslim di Aluthgama, di mana empat orang terbunuh dan sekitar 80 orang lainnya terluka. Tetapi dia tidak ditangkap pada saat itu.
Kemudian, pada 2017, kepolisian mengumumkan dia masuk daftar buronan setelah tidak menjawab panggilan pengadilan untuk kasus ujaran kebencian.
Tidak lama setelah itu dia menyerahkan diri, hanya untuk dilepaskan dengan jaminan. Kasus tersebut masih berjalan.
Dalam kerusuhan Kandy, otoritas berwenang Sri Lanka telah menangkap Weerasinghe dan sembilan rekannya, tetapi banyak kritik mengatakan tindakan tersebut terlalu sedikit, terlambat.
Thyagi Ruwanpathira, seorang aktivis HAM Sri Lanka, mengatakan penangkapan Weerasinghe”sama sekali tidak cukup”.
Penangkapan telah dilakukan setelah serangan lainnya di masa lalu, tetapi”kita jarang melihat hukuman”, katanya.
“Jika pemerintah dan aparat penegak hukum dapat mematahkan putaran kekebalan dan kelambatan ini dalam menghadapi kekerasan terhadap etnis dan agama minoritas, para pelaku tidak akan merasa berani,” katanya.
Para pemimpin politik dan agama harus menyampaikan pada publik bahwa”kekerasan terhadap minoritas tidak akan ditoleransi dan bahwa tidak ada etnis atau komunitas agama yang berhak pada negara ini di atas yang lain,” katanya.*/Nashirul Haq AR
Sumber :Hidayatullah.com