OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 09 Maret 2018

Diduga Berdusta di PTUN Sidang Pembubaran HTI, Guntur Romli Berpotensi Dipidana 7 Tahun

Diduga Berdusta di PTUN Sidang Pembubaran HTI, Guntur Romli Berpotensi Dipidana 7 Tahun


10Berita, Sidang gugatan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (8/3/2018).

Politisi PSI Muhammad Guntur Romli dihadirkan sebagai saksi dari pihak tergugat Kemenkumham RI. Statusnya sebagai saksi fakta karena Guntur Romli mengaku pernah ikut aktivitas HTI selama 5 bulan sewaktu kuliah di Mesir.


Namun kesaksian Guntur Romli ini dinilai oleh Koalisi 1000 Advokat Bela Islam berisi kedustaan yang berpotensi terkena delik pidana memberikan keterangan palsu didalam sebuah persidangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 242 KUHP, dengan ancaman pidana 7 tahun penjara.

Berikut catatan yang disampaikan Ahmad Khozinudin, S.H. dari Koalisi 1000 Advokat Bela Islam:

CATATAN KEDUSTAAN GUNTUR ROMLI

(Sebuah Catatan Kritis untuk Saksi Tersumpah)

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Koalisi 1000 Advokat Bela Islam

Guntur Romli memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan PTUN Jakarta dibawah sumpah, yang dihadirkan pihak Pemerintah. Setelah berkali-kali gagal dengan narasi Khilafah ala HTI, Kemenkumham bersikeras untuk mencoba mengaitkan HTI dengan berbagai tuduhan palsu melalui keterangan saksi yang dihadirkan di persidangan.

Guntur Romli, secara fasih mengajukan berbagai tuduhan palsu terhadap HTI dipersidangan dengan berbagai keterangan yang diberikan. Kadangkala tudingan itu diklaim melalui penglihatan, pendengaran dan kejadian yang dialami sendiri. Kadangkala, juga ngeles tudingan didasarkan pada informasi yang diperoleh melalui internet.

Majelis hakim sempat mengingatkan, agar Guntur Romli fokus memberi keterangan seputar apa yang diketahui dan dialami sendiri oleh saksi, bukan mengutip informasi dari internet atau sarana lainnya. Artinya, sudah tepat hakim membatasi kesaksian hanya pada apa yang saksi ketahui atau alami sendiri. Bukan kesaksian testimoni de auditu.

Beberapa dusta yang dinyatakan Guntur Romli di persidangan, sejauh pengamatan penulis adalah sebagai berikut:

Pertama, Guntur mengaku telah mengkaji seluruh kitab HTI dalam waktu 6 (enam) bulan. Guntur juga berapi-api menjelaskan berbagai kesimpulan yang diperoleh dari kajian yang dilakukan.

Diantaranya, Guntur menyebut dalam kajian HTI tidak pernah dikaji Al Quran dan Al Hadits. Semua kajian yang dilakukan HTI diarahkan pada materi Khilafah. Semua pembahasan kitab-kitab kajian HTI hanya membahas tentang Khilafah.

Ketika dikonfirmasi oleh jubir HTI mengenai kajian yang dilakukan, apakah Guntur Romli mengkaji atau sekedar membaca? Guntur baru mengakui, dirinya tidak mengkaji melainkan hanya membaca.

Aneh memang, sebab bagaimana mungkin seseorang mampu mengkaji kitab-kitab Hizbut Tahrir hanya dalam tempo 6 (enam) bulan ? Padahal, setidaknya ada 13 (tiga belas) kitab muttabanat yang diadopsi Hizbut Tahrir sebagai kitab rujukan untuk membina kader dan umat untuk memahami syariat Islam.

Pengalaman penulis, untuk mengkhatamkan kajian kitab Nidzamul Islam (peraturan hidup dalam Islam) yang merupakan kitab dasar dalam pembinaan di Hizbut Tahrir, setidaknya penulis membutuhkan waktu hampir 1,5 tahun untuk menyelesaikannya.

Maka klaim telah mengkaji dalam waktu 6 bulan, yang kemudian diralat dengan ungkapan "membaca" adalah bentuk kedustaan yang nyata seorang Guntur Romli. Betapapun ungkapan kajian telah diganti dengan membaca, penulis masih belum bisa mempercayainya, sebab tebal dan banyaknya kitab mutabanat HTI.

Kesimpulan HTI tidak pernah mengkaji Al Quran dan hadits dalam kajiannya juga terbantahkan. Guntur juga kembali kelabakan Ketika Jubir HTI menunjukan kitab Nidzamul Islam dimana bab awal tentang JALAN MENUJU IMAN, didalam kitab tersebut di kutip dalil Quran surat Ar Ra'du ayat 11, "sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sebelum kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka".

Sadar saksi ngarang dalam memberi keterangan, kuasa hukum Pemerintah berusaha melindungi Guntur dengan mengajukan pertanyaan apakah saat kajian kitab HTI, para pengkajinya juga membawa Al Quran ? Di jawab tidak.

Rupanya, untuk mengkaji Al Quran seolah dipersyaratkan harus membawa Al Quran. Bagaimana jika kajian fiqh dan hukum itu digali dari kitab-kitab klasik seperti Kitab Riyadus Shalihin karya Imam an Nawawi, Kitab Al Um milik Imam Syafi'i, atau kitab kitab kuning lain yang banyak dikaji di pondok pesantren. Apakah itu bisa diklaim tidak mengkaji Al Quran meskipun para Imam menukil dalil Quran dalam kitab yang mereka karang ?

Penulis bisa memahami kondisi kuasa hukum Pemerintah yang tidak paham
Syariat Islam, sehingga keliru membuat kesimpulan dan bahkan keliru membangun pertanyaan di persidangan. Kemudian, secara serampangan kuasa hukum Pemerintah mengalihkan pertanyaan pada kajian Tafsir Quran. Ini yang disebut Jahil Murokab.

Kedua, Guntur berdusta atas klaim telah membaca semua kitab HTI. Setelah dirinci dengan pertanyaan apa sudah membaca kitab Ajhizah ketika berada di Mesir, Guntur menjawab tidak. Ini pengingkaran pada keterangan awal yang mengklaim telah mengkaji semua kitab-kitab HTI, kemudian berubah dengan klaim telah membaca semua kitab-kitab HTI. Dan terakhir, klaim atas pembacaan semua kitab HTI kembali didustaan oleh Guntur sendiri.

Ketiga, Guntur juga dusta perihal kitab-kitab HTI yang diklaim melulu membahas Khilafah. Padahal, kitab-kitab HTI sangat variatif. Ada kitab yang membahas masalah ekonomi Islam seperti kitab Nidzamul Iqtishodi fiil Islam. Ada kitab min muqowimat nafsiyah Islamiyah, kitab yang sengaja dikaji agar setiap muslim memiliki kepribadian Islam. Ada kitab yang membahas tentang interaksi sosial ditengah masyarakat, khususnya terkait hubungan pria dan wanita serta apa yang terkait dengannya, seperti dalam kitab Nidzamul ijtimai fiil Islam.

Setelah merasa gagal dan terbongkar dusta atas keterangannya, Guntur mencoba menutupinya dengan menyampaikan alasan semua kitab ujung-ujungnya diarahkan untuk membahas Khilafah.

Keempat, Guntur menuduh HTI menganut pemahaman takfiri yakni mudah menuding umat Islam lainnya kafir. Tapi lagi-lagi, setelah diselidiki jubir HTI, Guntur terdiam karena faktanya HTI tidak pernah mengkafirkan sesama muslim.

Jadi menuding sesama muslim kafir itu takfiri, tetapi jika menyatakan orang non muslim kafir ya memang faktanya non muslim dalam fiqh Islam disebut kafir. Maka ketika Pilkada DKI Jakarta, HTI tegas menolak Ahok karena Ahok kafir. Ini fakta bukan fitnah, Ahok memang kafir. Dan menyebut Ahok kafir itu bukan takfiri.

Merasa tersudut dan keliru atas tudingan takfiri, Guntur mengalihkan diskursus persidangan pada klaim HTI menyebut negara yang tidak menerapkan hukum Islam disebut Darul kufur, bukan Darul Islam. Artinya, Guntur memindahkan diskursus tentang orang, tentang persoalan personal, menuju pembahasan institusi negara. Tidak nyambung.

Lagi pula, pendapat tentang devinisi Darul Kufur adalah negara yang tidak menerapkan hukum Islam meskipun mayoritas penduduknya muslim, bukan melulu pendapat HTI. Jubir HTI kemudian menjelaskan kepada Guntur beberapa pendapat ulama mengenai definisi Darul Kufur.

Memang benar, untuk menutupi satu kedustaan seseorang akan membuat kedustaan lainnya. Sampai orang itu akan digelari pendusta, sebab banyaknya kedustaan yang diutarakan.

Kiranya, untuk Umat Islam perlu untuk merenungkan kembali hadits Nabi SAW yang berbunyi :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم – قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat (HR. Al- Bukhari).

Kepada Guntur Romli penulis ingatkan, terhadap kedustaan yang dilakukannya berpotensi terkena delik pidana memberikan keterangan palsu didalam sebuah persidangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 242 KUHP, dengan ancaman pidana 7 tahun penjara.***

*Sumber: fb, PI