Karikatur Tempo, Etika Jurnalistik Tempo dipertanyakan
Gemas” Karikatur Tempo”
Oleh: Ahmad Rizal – Dir. Indonesia Justice Monitor
Karikatur pria yang duduk dan bersorban dengan balon teks yang berbunyi, “Maaf… Saya tidak jadi PULANG” dengan gambaran di depan seorang wanita yang duduk pula dengan balutan busana yang tak islami dengan balon teks, “Yang kamu lakuin itu JAHAT….” diprotes oleh massa FPI karena dianggap telah menghina Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.
Detik.com memberitakan bahwa Massa Front Pembela Islam (FPI) mendatangi kantor Majalah Tempo untuk memprotes karikatur yang dimuat majalah tersebut. Massa aksi menganggap karikatur itu menghina Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.
“Tempo harus minta maaf karena karikatur yang melecehkan ulama dan cucu Nabi Muhammad SAW,” ucap orator tersebut. (https://m.detik.com/news/berita/d-3920124/tiba-di-kantor-tempo-massa-fpi-orasi-protes-karikatur-pria-bersoban)
Masih Punya Etika?
Bagaimanapun, karikatur tersebut memang terkesan tendensius. Sesungguhnya pertanyaannya adalah untuk apa Tempo menerbitkan karikatur tersebut? Apa tujuannya? Apa motifnya?
Apapun jawaban yang dikemukakan Tempo nantinya tetap saja penerbitan karikatur tersebut tak bisa dianggap sebagai produk jurnalistik yang beretika dan bijaksana. Pasalnya gambar yang dibuat jelas menunjukkan busana seorang ulama yang duduk berdua berhadapan dengan seorang wanita tak berbusana islami. Kita coba bertanya ulang, untuk apa karikatur itu dibuat?
Itu dari segi pembuatan sketsa karikatur. Belum kemudian dengan adanya balon teks bertuliskan, “Maaf… Saya tidak jadi PULANG”. Tentu saja bayangan publik tertuju kepada imam besar FPI Habib Rizieq Shihab. Dengan sketsa busana sedemikian rupa dan balon teks yang menunjukkan peristiwa tidak jadinya HRS kembali ke tanah air beberapa waktu lalu. Siapa lagi kalau bukan HRS yang ada dalam benak publik melihat karikatur tersebut?
Begini, ulama merupakan panutan dan simpul umat Islam di Indonesia, siapapun sosoknya. Apa yang digambarkan oleh Tempo telah jelas menunjukkan bahwa pria bersorban setidaknya menggambarkan gambaran seorang ulama jika konteksnya di Indonesia. Dengan balon teks yang terkesan dibuat “guyon” atau main-main telah menunjukkan ketidakhormatan Tempo kepada sosok ulama, setidaknya pada gambar tersebut.
Terlepas siapapun yang dimaksud oleh Tempo pada karikatur tersebut, sketsa tersebut jelas telah menjadikan gambaran ulama sebagai bahan “begejekan” (main-main). Dengan demikian tentu etika Tempo perlu ditanyakan, apalagi kepada sosok ulama. Masihkah Tempo memiliki etika?
sumber: justicemonitor