OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 29 Maret 2018

Kasus Dugaan Gratifikasi Uang Duka Cita Keluarga Siyono akan Terus Ditagih

Kasus Dugaan Gratifikasi Uang Duka Cita Keluarga Siyono akan Terus Ditagih

10Berita – Ruang pengaduan Asmara Nababan Kantor Komnas HAM, pada Senin (11/04/2016) penuh sesak, dan semua orang yang hadir saat itu menjadi saksi dibukanya 2 bungkusan uang yang diberikan polisi atas kematian Siyono. Meski telah dilaporkan ke KPK, belum ada kejelasan terkait uang pemberian pimpinan Densus 88.

Saat itu, Ketua Bidang Hukum PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas berdiri menghadapi dua gepok bungkusan kertas yang dibalut lakban coklat. Dia ditemani Komisioner Komnas HAM Siane Indriani dan Hafidz Abbas. Sesaat sebelum membuka dua bungkusan itu, Busyro berkata, “di kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta Ibu Suratmi menyerahkan uang ini dengan alasan kami menerima uang ini perasaannya malah tidak nyaman, sesak kata dia.”

“Kita tanya apakah ibu pernah melihat uang ini apalagi menghitung. (Suratmi menjawab) belum pernah sama sekali karena kami tidak mau menerima. Itu kan pendidikn moral, kejujuran, keperwiraan yang datang dari orang kecil,” kata Busyro.

Dua gepok uanga itu masing-masing berisi Rp50 juta, sehingga totalnya berjumlah Rp100 juta. Uang itu diberikan kepada istri Siyono, saat dia didatangkan ke Jakarta untuk diberitahu bahwa suaminya telah meninggal saat dalam penanganan Densus 88. Dua orang polwan menyerahkan gepokan uang itu kepada Suratmi di Hotel Leaf Jakarta tempat dia menginap.

Sejak diberikan kepadanya Suratmi tak pernah membukan bungkusan tersebut. Dia kemudian membawa dua gepok uang itu ke Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta. Uang itu diserahkan kepada Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum Busyro Muqoddas.

Di Kantor PP Muhammadiyah Suratmi mengungkapkan, saat menyerahkan bungkusan polwan tersebut mengatakan bahwa uang itu untuk santunan dan biaya pemakaman. “Saya diminta mengikhlaskan, kematian suami saya sudah takdir,” tutur Suratmi.

Bungkusan uang Rp100 juta yang dibuka dibuka di Komnas HAM saat itu segera memicu spekulasi. Mabes Polri segera menyatakan bahwa uang yang diberikan kepada keluarga Siyono bukan uang negara. “Itu uang pribadi, bukan uang negara, sah-sah saja,” kata Badrodin Haiti, Kapolri aktif saat itu.

Mabes polri mengungkap uang tersebut merupakan Kepala Detasemen Khusus Antiteror 88, Brigadir Jenderal Eddy Hartono. Badrodin menyebut uang itu sebagai bentuk rasa duka cita.

Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak bersama sejumlah aktivis membawa uang itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diduga uang tersebut berasak dari beberapa pihak, hasil dari gratifiksi. “Dugaan kami, uang yang semula diakui sebagai milik pribadi Kadensus ini berasal dari beberapa pihak,” kata Dahnil, Kamis (19/05/2019).

Dugaan itu bermula dari penelaahan terhadap bundel uang tunai yang diserahkan kepada keluarga Siyono. Setelah dicek, uang tersebut tidak berasal dari satu kantor cabang bank. Diduga uang tersebut ditransfer dari berbagai kantor cabang bank, dikumpulkan, baru diserahkan kepada keluarga Siyono. “Tentu, kami mau tahu juga, uang itu keluaran dari sumber mana. Kalau ada potensi gratifikasi, yang akan menentukan adalah KPK,” katanya.

KPK menyatakan akan menelaah laporan tersebut. Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Adriati saat itu mengatakan penelaahan dilakukan untuk menilai kelayakan pelaporan dalam menentukan penanganannya.

Sejauh ini, Pemuda Muhammadiyah terus menagih pimpinan KPK untuk mengusut kasus uang pemberian Kadensus 88 kepada keluarga Siyono sata itu. “Ini akan terus kami tagih. Sampai dengan detik ini KPK belum menuntaskan kasus itu dan belum memproses secara tuntas,” kata Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak kepada Kiblat.net belum lama ini.

Dahnil menyebut sumber uang yang diberikan kepada keluarga Siyono telah jelas, yaitu dari pejabat Kadensus 88 saat itu, yang sekarang menjadi Wakadensus Eddy Hartono. Dia menilai KPK agak kesulitan menentukan kategori suap atau gratifikasi yang terjadi dalam kasus kelurga Siyono, karena yang diberi bukan aparatur negara.

Meski telah terang sumber dananya, tetapi Dahnil menilai KPK tak segera bersikap terang terkait dengan kasus itu. Dia menyebut lembaga antirasuah itu selalu gamang jika menangani kasus-kasus yang melibatkan polisi. Salah satu sebabnya, menurut Dahnil, karena penyidik-penyidik di KPK kebanyakan berasal dari Polri.

Sumber :Kiblat.