OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 10 Maret 2018

Menguak Kedustaan Sang Profesor (Tanggapan Atas Pernyataan Prof. Yudian Wahyudi di PTUN Jakarta Pada Kamis, 8 Maret 2018)

Menguak Kedustaan Sang Profesor (Tanggapan Atas Pernyataan Prof. Yudian Wahyudi di PTUN Jakarta Pada Kamis, 8 Maret 2018)


Oleh : Achmad Fathoni
(Direktur el-Harokah Research Center)

10Berita, Bukan hanya memfitnah Muslimah yang memakai cadar dengan tuduhan sesat dan akan dikeluarkan dari kampus, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Drs. Yudian Wahyudi, MA, Ph.D, yang hadir sebagai ahli dari pemerintah, juga malah menyamakan para ulama’ yang mewajibkan khilafah dengan PNS/ASN di zaman sekarang yang berpendapat bukan berdasar dalil syara’.

Jadi kata dia PNS-PNS zaman Soeharto akan mengatakan loyal kepada Soeharto, pada sistem yang ada, pada pemerintahan yang ada, semua juga Golkar karena sistemnya mengharuskan begitu. “Kemudian rezimnya berubah seperti sekarang, ASN/PNS tidak harus memilih Golkar, sekarang bebas-bebas saja, berubah sikap,” Ujarnya (https://mediaumat.news/bukan-hanya-cadar-rektor-uin-jogja-pun-salah-besar-dan-lancang-soal-kewajiban-khilafah/)

Selain itu, saksi ahli tersebut juga menyatakan pada pokoknya bahwa Khilafah mengganggu eksistensi negara karena ujung-ujungnya dakwah HTI adalah menegakkan Khilafah. Dan Khilafah tidak ada di dalam rukun Islam dan rukun Iman. Pemberontakan terhadap Pancasila merupakan pemberontakan terhadap Allah SWT (dikutip dari Pernyataan Candra Purna Irawan, M.H., Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI di Jakarta, 8 Maret 2018).

Tentu saja pernyataan Sang Profesor tersebut sangat tendensius dan insinuatif, yang seharusnya tidak keluar dari lisan seorang yang bergelar “Guru Besar” dan merepresentasikan seorang cendekiawan Muslim, yang berasal dari Perguruan Tinggi Islam ternama di negeri ini.

Dari pernyataan Sang Professor tersebut patutlah publik mengkritisi secara seksama. Pernyataan yang menyamakan para ulama’ yang mewajibkan khilafah dengan PNS/ASN di zaman sekarang yang berpendapat bukan berdasar dalil syara’ atau dengan istilah lain hanya menggunakan hawa nafsu, jelas itu pernyataan yang amat dangkal, tendensius, dan catat secara intelektual. Pasalnya para ulama’ yang mewajibkan menegakkan khilafah itu berdasarkan wahyu, dan tidak ada sama sekali yang mendasarkan semuanya itu dengan hawa nafsu.

Bahkan pendapat ulama’ yang mewajibkan tegaknya khilafah itu telah terdokumentasi secara lengkap dan turun-temurun dalam khasanah kitab-kitab ulama’ salaf (klasik) maupun ulama’ khalaf (kontemporer).

Bahkan secara tegas ulama’ terkemuka dari Mazhab Syafi’i, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa mereka (para ulama’) bersepakat atas wajibnya kaum Muslimin mengangkat seorang khalifah, dan kewajibanya berdasarkan syara’ bukan akal. Pendapat Imam An-Nawawi Asy-Syafi’I tersebut diperkuat oleh pandangan ulama’ muta’akhirin yang terkemuka, Syaikh Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, yang menjelaskan bahwa mayoritas umat Islam dari kalangan ahlus sunnah, syiah, murji’ah, dan mu’tazilah berpendapat bahwa al-khilafah atau al-Imamah adalah perkara wajib, suatu kefardhuan yang pasti (sumber: kitab al-Fiqhu al-Islamiy wa ‘adilatuhu juz VIII halaman 273). Dan tentunya masih banyak ribuan kitab mu’tabar lain yang menyatakan wajibnya menegakkan khilafah bagi kaum Muslimin.

Jadi jelaslah, pernyataan Prof. Yudian Wahyudi tersebut bathil alias rusak secara keilmuan dan intelektual, serta tidak layak diperhatikan, karena jelas-jelas bertentangan dengan pendapat ulama’ yang mu’tabar di kalangan ahli ilmu.

Selanjutnya, terkait dengan tuduhan bahwa khilafah mengganggu eksistensi negara karena ujung-ujungnya dakwah HTI adalah menegakkan khilafah. Ini juga terkategori pernyataan yang keji dan sangat gegabah.

Bagaimana bisa dia menuduh khilafah mengganggu eksistensi negara, padahal khilafah itulah yang pernah berjasa dan punya andil besar dalam proses kemerdekaan negeri ini dari penjajahan fisik negara-negara Imperealis Barat. Banyak bukti sejarah yang tidak dilihat dan dinegasikan oleh Prof. Yudian Wahyudi. Berikut data sejarah yang bisa publik ketahui, dengan ditemukannya sebuah arsip Khilafah Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Alaudin Riayat Syah kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni yang dibawa oleh Husein Effendi. Dalam surat ini, Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai Khalifah Islam. Selain itu, surat ini juga berisi laporan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekkah.

Karena itu, bantuan Khilafah Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) (Sumber: Farooqi, “Protecting the Routhers to Mecca”, hal. 215). Sultan Sulaiman al-Qonuni wafat tahun 974 H / 1566 M, akan tetapi petisi Aceh mendapat dukungan Sultan Salim II (974-982 H / 1566-1574 M), yang mengeluarkan perintah kesultanan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh.

Sekitar September 975 H / 1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan Sultan. Namun dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir tahun 979 H / 1571. Menurut catatan sejarah, pasukan Khilafah Turki Utsmani yang tiba di Aceh pada tahun 1566 – 1577 M sebanyak 500 orang tentara, termasuk ahli-ahli senjata api, penembak, dan ahli-ahli teknik. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568 M (Sumber: Marwati Djuned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 1984 hal. 54).

Khilafah Turki Utsmani bersifat pro-aktif dalam memberikan perhatian kepada penderitaan kaum muslimin di Indonesia dengan cara membuka perwakilan pemerintahannya (Konsulat) di Batavia pada akhir abad ke-19. Kepada kaum muslimin yang ada di Batavia para konsul Turki berjanji akan memperjuangkan hak-hak orang-orang Arab sederajat dengan orang-orang Eropa. Selain itu, Turki juga akan mengusahakan agar seluruh kaum Muslimin di Hindia Belanda terbebas dari penindasan Belanda (Sumber: Snouck Hurgronje, 1994, Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah Hindia Belanda; 1889-1936, Jakarta: INIS, hal. 1631). Itulah data otentik dalam sejarah yang ditutup-tutupi oleh para pendengki khilafah, termasuk di dalamnya Prof. Yudian Wahyudi.

Di samping itu, tuduhan bahwa Khilafah mengganggu eksistensi negara, merupakan tuduhan yang tidak fair dan tidak objektif. Mengapa Sang Profesor kita ini, tidak pernah mengkritisi dan menggugat sepak terjang kelompok separatis, semisal: OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan RMS (Republik Maluku Selatan).

Padahal kelompok separatis itu telah jelas-jelas secara faktual telah melakukan tindakan makar dan telah merongrong kedaulatan negeri ini. Dan tentunya telah mengganggu eksistensi negara ini. Bahkan telah mengangkat senjata untuk melawan pemerintah Indonesia dan telah membunuh aparat TNI-Polri yang bertugas di sana dan melenyapkan ribuan nyawa rakyat yang tidak berdosa di Papua dan Maluku lebih dari lima dekade terakhir.

Namun, mengapa OPM dan RMS tidak dipersoalkan eksistensi dan sepak terjangnya? Itu artinya pernyataan yang dituduhkan secara serampangan oleh Prof. Yudian Wahyudi kepada khilafah dan HTI adalah salah alamat dan melenceng dari logika berpikir yang rasional.

Apalagi tuduhan “ngawur” bahwa Khilafah tidak ada di dalam rukun Islam dan rukun Iman. Sekiranya Prof. Yudian Wahyudi mau sedikit berpikir objektif maka dia akan menutup lisannya rapat-rapat dalam sidang di PTUN itu. Pasalnya, ada banyak pertanyaan mendasar yang harusnya dijawab sejara jujur oleh dia, yaitu sistem demokrasi-sekuler yang dia bela mati-matian, adakah dalam rukun Islam dan rukun Iman?.

Juga, apakah ada dalam rukun Islam dan rukun Iman tentang paham liberalisme, yang dia agung-agungkan itu?. Juga kebijakan dia yang akan memperkarakan mahasiswinya yang bercadar, apakah tindakan itu ada dasarnya dari rukun Islam dan rukun Iman? Tentu jawabanya jelas tidak ada, justru sistem demokrasi-sekuler, paham liberalisme, kebijakan melarang cadar itulah yang bertentangan secara diametral dengan akidah dan syariah Islam. Namun, mengapa dia tidak mempersoalkan paham liberalisme dan sekulerisme yang dia bangga-banggakan, padahal paham menyimpang itu tidak ada rujukannya dalam rukun Islam dan rukun Iman.

Sejatinya, banyak hukum Islam yang wajib untuk dilaksanakan oleh umat Islam, namun tidak termaktub dalam point-point rukun Islam dan rukun Iman. Misalnya, kewajiban menutup aurat, kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, kewajiban menuntut ilmu, kewajiban jihad fii sabilillah, kewajiban berbuat jujur, kewajiban menolong saudaranya yang tertimpa musibah, kewajiban menjawab salam, dan masih banyak kewajiban yang lain yang tidak terdapat secara tekstual dalam rukun Islam dan rukun Iman.

Namun demikian, semuanya itu merupakan perkara yang wajib dilaksanakan oleh kaum Muslimin, termasuk di dalamnya kewajiban menegakkan sistem Islam, yaitu khilafah Islamiyah. Jadi, semakin jelas bahwa pernyataan dan kesaksian Prof. Yudian Wahyudi di PTUN pada Kamis, 8 Maret 2018 tidak layak dijadikan rujukan, karena hanya berisi ujaran profokatif, tendensius, dan rendah secara intelektual. Maka waspadalah!. Wallahu a’lam.

Sumber :Dakwah media