Pemilu Mesir Upaya Sisi ‘untuk Melegitimasi Rezim Diktator’
Pemilu Mesir ‘untuk melegitimasi rezim diktator’ – Kartun (Foto: Alaraby.co.uk)
10Berita, Pemilihan Presiden (Pilpres) Mesir adalah upaya Jenderal “berdarah” Abdel Fattah Al Sisi untuk “melegitimasi rezim diktator yang kejam”, kepala Dewan Revolusi Mesir, Maha Azzam, mengatakan hal itu seperti dilansir Middle East Monitor, Jumat (23/3/2018).
Tempat pemungutan suara di seluruh negeri akan dibuka pada Senin (26/3) dan Al-Sisi secara luas akan mengamankan kemenangannya.
Pemimpin partai Ghad, Moussa Mustafa Moussa, adalah satu-satunya pesaing Al-Sisi setelah kandidat oposisi seperti Sami Anan dan Ahmed Shafiq diganggu supaya keluar dari arena pemilihan sebagai kandidat presiden. Bahkan mantan perdana menteri Shafiq yang urung menjadi kandidat kini mendukung Al-Sisi sebagai presiden.
Sementara pencalonan Moussa telah dikecam secara luas sebagai capres karena ia telah mendukung Al-Sisi untuk masa jabatan kedua, baik sebelum penawaran maupun setelah dia menjadi capres.
Beberapa hari jelang pemilihan, Al Sisi mengatakan bahwa dia berharap ada sepuluh kandidat yang melawannya, tetapi, ujarnya, orang Mesir belum siap untuk berdemokrasi. Dia juga meminta US$2 triliun kepada orang Mesir untuk membantu membangun kembali negara tersebut.
Awal pekan ini, anggota parlemen Mesir, Mostafa Bakry, menawarkan untuk memenggal kepalanya jika Al-Sisi memintanya untuk melakukannya. Dalam konferensi pers, Bakry meminta warga Mesir untuk berpartisipasi dalam pemilihan yang dijadwalkan pekan depan.
Al-Sisi memenangkan pemilu pada 2014 dengan 97 persen suara, tetapi dengan jumlah pemilih yang rendah. Sekarang, ada ketakutan di kalangan penguasa bahwa tahun ini jumlah pemilih juga tidak akan berbeda dari pilpres sebelumya, sehingga akan merusak legitimasi pemerintah.
Dalam upaya penguasa untuk melawan ini, kata Azzam, banyak orang ketakutan dibunuh dan diintimidasi, jika mempertanyakan legitimasi calon tunggal dalam pilpres nanti.
“Banyak yang takut dibunuh, diintimidasi dan pembunuhan karakter yang kejam terhadap siapa pun yang mempertanyakan legitimasi pemilihan calon tunggal sebagai tidak patriotik dan ancaman terhadap integritas dan stabilitas Negara,” ungkap Azzam.
Pada Rabu (21/3), seorang pejabat Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa tindakan keras di Mesir membuka jalan bagi aturan jangka panjang yang dibuat Sisi.
Penguasa telah melarang para jurnalis melakukan jajak pendapat ‘menanyakan siapa yang akan mereka pilih’, kemudian menangkap beberapa wartawan dan memblokir sejumlah situs berita, termasuk mengusir wartawan BBC, Orla Guerin, dan larangan mewawancarai keluarga korban penyiksaan pada akhir Februari yang secara paksa menghilang.
Mesir sudah dianggap negara terparah ketiga di dunia dalam hal memperlakukan jurnalis. Sejak 2015, hukuman mati telah meningkat sebagaimana jumlah warga sipil yang diadili di pengadilan militer.
Billboars Abdel Fattah Al-Sisi di Kairo, Mesir. (Foto: Mohammed Bendari/Apaimages)
Empat belas organisasi internasional dan regional menyatakan bahwa Al-Sisi telah menghambat kebebasan asasi, kata Azzam.
“Demi menegakkan setidaknya beberapa kemiripan menghormati nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, komunitas internasional harus berbicara secara terbuka menentang penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim militer saat ini di Mesir,” pinta Azzam.
Sebuah koalisi kelompok oposisi Mesir telah menyerukan untuk memboikot pemilu yang mereka gambarkan sebagai “absurditas yang berbatasan dengan kegilaan”. (S)
Sumber: Middle East Monitor, Salam Online.