OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 06 Maret 2018

Strategi Baru Palestina dalam Perundingan Damai

Strategi Baru Palestina dalam Perundingan Damai

10Berita, LONDON  Penjajahan Zionis “Israel” terhadap Palestina adalah penyebab semua masalah di kawasan Timur Tengah. Jika tidak diselesaikan, maka perdamaian tak kan pernah tercapai di kawasan ini, ungkap perwakilan diplomatik Otoritas Palestina saat menghadiri konferensi Yerusalem di London, Inggris.

Perwakilan diplomatik Palestina itu, Manuel Hassassian, mengatakan bahwa setelah keputusan sepihak Presiden Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota wilayah jajahan “Israel”, Amerika Serikat (AS) telah kehilangan statusnya sebagai ‘broker’perdamaian yang dipercaya.

“Masyarakat internasional harus mengerti bahwa konflik Palestina-‘Israel’ adalah celah bagi semua masalah di Timur Tengah. Dan, tanpa menyelesaikannya, tidak akan pernah ada perdamaian dan keamanan regional,” kata Hassassian kepada Anadolu Agency di London, Senin (5/3/2018).

Dia menganggap, langkah sepihak Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota “Israel” adalah “pelanggaran” hukum internasional dan status quo Palestina.

“Amerika telah memutuskan untuk berada di sisi yang salah atas sejarah, dengan memaksakan solusinya sebagai pihak ketiga,” katanya.

“Amerika kehilangan hak istimewa untuk menjadi ‘broker’ perdamaian yang jujurdan telah mendiskreditkan dirinya sebagai pihak ketiga. Oleh karena itu Otoritas Palestina menganggap cukup jelas bahwa orang Amerika tidak dapat melanjutkan proses perdamaian, sementara mereka benar-benar dan tegas mendukung ‘Israel’,” tandasnya.

Keputusan sepihak Trump itu telah memicu protes dunia. Berbagai aksi penolakan pun dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Keputusan ngawur itu juga mengakibatkan puluhan orang Palestina terbunuh di tangan militer penjajah tersebut lantaran demonstran Palestina itu melakukan aksi penolakan.

Yerusalem tetap menjadi jantung konflik Palestina-“Israel” yang berlangsung puluhan tahun. Di samping itu, orang-orang Palestina sendiri berharap Yerusalem Timur—yang sekarang diduduki “Israel”—pada akhirnya menjadi ibu kota negara Palestina yang merdeka.

Hassassian mengatakan bahwa orang-orang Palestina telah terlibat dalam proses perdamaian yang dinilai “sia-sia” itu. Proses yang, kata dia, tidak membawa apa-apa selain membuat “lebih banyak lagi permukiman dan “Yahudihisasi Yerusalem” dalam 25 tahun terakhir.

Dia juga mengatakan bahwa Palestina sekarang akan mencari pendekatan baru untuk keseluruhan proses perdamaian karena AS telah “mendiskreditkan dirinya sendiri” sebagai pihak ketiga.

“Rencana alternatif kami adalah kembali ke sistem legal internasional, ke hukum internasional, ke resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Yerusalem dan seluruh proses perdamaian. Itulah sebabnya sekarang kami mencoba mencari pengganti pemegang palu untuk proses perdamaian. Pihak yang menggantikan adalah konglomerasi badan internasional yang terdiri dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, ditambah perwakilan dari Uni Eropa, dunia Arab, juga dunia Islam,” terang Hassassian.

Karena itulah, dia menjelaskan, Presiden Palestina Mahmoud Abbas sedang mencari dukungan dalam kunjungannya.

“Yerusalem adalah jantung Palestina dan itu adalah ibu kota ‘abadi’ orang-orang Palestina,” Hassassian menekankan.

Negara Palestina

Menurut mantan penasihat hukum Kantor Luar Negeri

Inggris dan Otoritas Palestina, Kevin Chamberlain, langkah baru yang diambil untuk mengatasi kebuntuan dalam konflik Palestina-“Israel” kemungkinan akan berlanjut kepada pengakuan internasional atas negara Palestina.

Kepada kantor berita Anadolu, Chamberlain menuturkan bahwa beberapa langkah menuju pengakuan atas negara Palestina telah diambil, karena Palestina telah menjadi anggota penuh UNESCO.

“Saya yakin jika masalah tersebut muncul di depan Majelis Umum PBB, mungkin mayoritas akan mendukung. Tapi masalahnya adalah dari mana Anda berangkat untuk masalah tersebut? Karena tanpa cara praktis untuk mewujudkan kenegaraan, itu tidak ada artinya, “katanya.

“Masalahnya adalah dengan permukiman ‘Israel’. Kelangsungan hidup negara Palestina semakin sulit lantaran hal tersebut, dan tentu saja, masyarakat internasional menganggap pendirian permukiman ini sebagai pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa Keempat dan ilegal. Tapi ‘Israel’ tidak mengindahkan hal itu,” kata Chamberlain.

Strategi baru

Sami Abu Shehadeh, ketua eksekutif Yaffa Youth Movement, mengatakan bahwa banyak kalangan akademisi Palestina akan “memikirkan kembali tentang proyek nasional Palestina”.

“Ada sesuatu yang harus diubah,” kata Shehadeh kepada Anadolu Agency.

“Apakah ini mengarah ke sebuah proyek politik yang serius? Kami tidak tahu, tapi kami tahu ada banyak gerakan dan konferensi, dan semua orang membicarakannya,” terangnya.

Abu Shehadeh mengatakan bahwa dia percaya tidak banyak yang bisa dilakukan dalam situasi seperti saat ini. Apalagi, menurutnya, sebelum pengakuan sepihak Trump, Wilayah Gaza telah menderita selama satu dekade terakhir lantaran blokade yang dilakukan penjajah Zionis.

“Orang tidak bisa hidup normal di Gaza. Mereka tidak bisa memiliki air bersih di Gaza. Mereka tidak bisa makan makanan normal di Gaza. Dan tidak ada yang peduli,” kata  Shehadeh.

Shehadeh mengungkapkan bahwa dia tidak percaya ada banyak hal yang harus dilakukan dalam beberapa tahun ke depan. Tapi dia menjelaskan bahwa yang bisa dilakukan adalah membangun kepemimpinan muda bagi orang-orang Palestina yang percaya akan hak-hak orang Palestina.

Shehadeh juga menekankan perlunya kesatuan visi untuk mencapai solusi bagi orang-orang Palestina. (MNM/)

Sumber :Salam-Online