OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 08 Maret 2018

Tebang Pilih Kasus Hoaks

Tebang Pilih Kasus Hoaks


10Berita, Sejak Februari hingga awal Maret, kepolisian telah menangkap enam orang terkait kasus penyebaran hoaks atau berita bohong dan ujaran kebencian. Mereka ditangkap di lokasi berbeda dan segera ditetapkan sebagai tersangka. Polisi menyatakan keenam orang itu tergabung dalam kelompok Muslim Cyber Army (MCA), dan masuk di grup WhatApp bernama The Family MCA.

Polisi menyebut grup itu bukan satu-satunya grup WhatsApp yang memakai nama MCA atau menyerupainya, dimana para tersangka ikut bergabung di dalamnya. Sedikitnya ada sembilan grup yang memakai nama itu antara lain Akademi Tempur MCA, Pojok MCA, The United MCA, The Legend MCA, Muslim Coming, MCA News Legend, Special Force MCA, Srikandi Muslim Cyber dan Muslim Sniper. Namun, tak diketahui secara pasti siapa pihak yang membuat grup-grup itu.

Isu tentang hoaks dan dikaitkan dengan Muslim Cyber Army (MCA) itu seketika menjadi bahan berita utama media-media nasional. Keterangan polisi hanya menjadi satu-satunya rujukan dan sumber berita. Bahkan, saking pentingnya isu soal MCA sampai-sampai Presiden Jokowi mengobarkan perang melawan hoaks.

Fakta yang muncul menunjukkan perang melawan hoaks kemudian bergeser menjadi perang melawan MCA. Kampanye di media sosial sampai-sampai menggunakan data palsu alias hoaks untuk menyerang MCA dan menyudutkan kelompok tertentu. Tak tanggung-tanggung, dari organisasi jurnalis Muslim hingga Wakil Ketua DPR bahkan turut menjadi korban berita palsu terkait isu MCA. Mereka yang kritis terhadap pemerintah dituding sebagai penyebar hoaks.

Penindakan terhadap MCA ini pun menutupi kasus-kasus terkait hoaks yang sebelumnya telah dilaporkan ke polisi. Salah satunya, kasus situs penyebar hoaks yang dilaporkan Pemuda Muhammadiyah, hingga kini tak pernah ada kabar perkembangannya. Serupa dengan laporan kasus-kasus ujaran kebencian dengan pelaku pihak-pihak yang selama ini dikenal sebagai pendukung penguasa.

Kondisi itu lantas memunculkan anggapan bahwa aparat tebang pilih dalam perang melawan hoaks. Penindakan cepat terhadap MCA berlangsung sangat kilat, tak seperti penindakan terhadap pelaku hoaks lainnya. Apakah karena ada kata Muslim nya? Kita pun tah tahu pasti. Yang jelas, polisi seharusnya mengedepankan prinsip equality before the law dalam menangani kasus hoaks. Jangan sampai ada anggapan dari masyarakat bahwa sikap tebang pilih itu seakan menjadi pembenar pernyataan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara yang pernah mengatakan ada hoaks yang membangun, sehingga pelakunya harus diperlakukan berbeda.

Soal keberadaan MCA, sebuah analisis jejak digital di dunia maya mengungkapkan bahwa istilah MCA muncul di akhir-akhir 2016. Kala itu seruan ditujukan kepada pengguna media sosial yang disebut Muslim Cyber Army untuk memprotes penutupan sepihak terhadap akun-akun yang dikenal kritis terhadap pemerintah. Seperti dikatakan senator Ibukota, MCA hanyalah umat yang semangat berjuang di media sosial karena merasa terzalimi.

Kemunculan MCA kala itu menjadi satu rangkaian dalam aksi umat Islam menuntut penindakan kasus penodaan agama Islam yang dilakukan Ahok. Selain MCA, aksi-aksi itu juga menandai persatuan dan kebangkitan kaum muslimin di berbagai bidang. Di bidang ekonomi muncullah gerakan Koperasi 212 yang wujud fisiknya berupa gerai-gerai minimarket yang kini telah tersebar di beberapa tempat.

Akhirnya, patut dicermati jika perang terhadap hoaks ini kemudian mengarah kepada perang terhadap MCA secara umum. Jika dirunut mundur, sebelumnya juga telah terjadi kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis Islam yang selama ini juga jadi simbol kebangkitan umat Islam. Lantas, apakah simbol kebangkitan umat yang lain, termasuk di bidang ekonomi, akan jadi sasaran berikutnya?

Sumber: Kiblat