Buya Hamka: Hizbullah atau Partai Allah, Mereka itulah yang Pasti Menang !
(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).
“Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi pemimpin, maka sesungguhnya Partai Allah, mereka itulah yang akan menang.” (QS. al-Maa’idah: 56).
Menanglah mereka, pasti menang!
Menang dalam kejayaan dunia seluruhnya, bukan hanya meliputi satu daerah, tegaklah keadilan di seluruh alam.
Dan inilah cita-cita!
Alangkah gelapnya hidup yang tidak mempunyai cita-cita!
Partai Allah itulah yang akan menang akhir kelaknya.
Menang di dalam diri pribadi menghadapi perdayaan setan iblis, hawa nafsu.
Menang di dalam menegakkan kebenaran dan menolak kekufuran; menang di dalam menuju dunia yang lebih baik, dan kemenangan terakhir ialah menang mendapatkan surga yang kekal di hari kemudian.
Ayat ini menjadi peringatan keraslah bagi kita kaum Muslimin yang mengaku dirinya pejuang yang menegakkan cita-cita Islam dalam tanah air kita Indonesia ini, atau dimana-mana saja pun dalam dunia Islam.
Tadi di atas diterangkan bahwa orang yang beriman tidaklah akan mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pemimpinnya.
Di ayat yang sekarang ini dijelaskan lagi, bahwa yang memimpin umat Islam itu ialah Allah, sesudah itu Rasul, sebab Rasul menjalankan perintah Allah.
Sesudah itu orang yang beriman,
Sebab orang Mukmin itu selalu berusaha menjalankan bimbingan Allah dan Rasul.
Pahamkanlah ujung ayat ini baik-baik.
Yaitu Partai yang akan menang ialah yang menjadikan Allah, dan Rasul, dan orang-orang yang beriman jadi pemimpinnya.
Mafhum Mukhalafah, yaitu sebaliknya dari ayat ini, satu partai umat Islam yang bukan Allah dan Rasul pemimpinnya, dan bukan pemimpin yang Mukmin pemimpinnya, tidaklah akan menang, malahan akan kalah.
Hizbullah, atau Partai Allah, mereka itulah yang pasti menang!
Hendaklah dipahamkan benar-benar apa maksud ayat ini.
Sebab yang dimaksud ialah menang kebenaran dan menang keadilan.
Bukan menang karena mendapat kedudukan yang empuk.
Sebab dalam kenyataan, banyak sekali orang yang mengkhianati Allah dan Rasul dan mengkhianati amanah, mereka itu mendapat kemenangan.
Tercapai kehendaknya, terpenuhi hawa nafsunya.
Terutama dalam berjuang merebut kekuasaan, orang-orang yang menjual pendirian, itulah yang menang.
Dan orang-orang yang jujur, berjuang karena Allah; mengenyampingkan kepentingan diri sendiri dan kepentingan golongan, berjuang menegakkan cita-cita, mendapat berbagai cobaan dan rintangan,
Sampai banyak pemimpin yang benar-benar menegakkan iman, hidupnya melarat, teraniaya, terbuang, dibunuh, dan dihinakan.
Kalau pandangan kita atas hidup hanya ditujukan kepada kebendaan, memang yang menang ialah pengambil muka dan oportunis, yang sudi menjual iman dan agama dengan harta yang sedikit.
Tidak kenal malu dan tidak memerhatikan nilai-nilai budi.
Tetapi kalau pandangan kita dipusatkan kepada pimpinan yang benar, dan salahnya yang salah, maka yang bertahan kepada pimpinan Allah dan Rasul dan orang-orang yang beriman itulah yang menang.
Mereka tetap menang menghadapi segala perdayaan dan bujuk-cumbu dunia, walaupun untuk itu mereka menderita.
Kita lihat sajalah sejarah Imam-Imam dan Pemuka-Pemuka Islam pada pendirian, yang tidak takut kepada celaan orang yang mencela, hinaan orang yang menghina.
Mereka tidak duduk di atas tahta dan tidak bersemayam di dalam istana.
Mereka kadang-kadang hanya duduk di dalam pondok yang reot, tetapi mereka berkuasa dan disegani.
Kehidupan orang semacam itu dipandang sebagai kehidupan yang ideal.
Semua orang yang berakal budi ingin hendak hidup sebagaimana demikian, tetapi mereka tidak sanggup melakukannya dan menurutinya.
Itu saja pun sudah bukti dari kemenangan.
Oleh sebab itu, maka orang-seorang atau golongan atau partai yang hendak memperjuangkan Islam, sekali-kali janganlah menukar jalan pikirannya dengan jalan pikiran yang bukan Islam.
Pemimpinnya yang pertama ialah Allah, kedua Sunnah Rasulullah, dan ketiga ialah memilih pemimpin yang benar-benar beriman.
Wahum raki’un.
Ujung ayat ini memberi petunjuk supaya pemimpin itu saleh dan taat kepada Allah.
Tidak cukup hanya semata shalat yang kita artikan sembahyang.
Sebab shalat itu bisa juga diartikan berdoa.
Bahkan disini ditekankan, hendaklah dia ruku’, hendaklah dia shalat menurut contoh Nabi Muhammad dengan lengkap syarat dan rukunnya, ruku’ dan sujudnya.
Sebab dengan mengerjakan ibadah shalat itu si pemimpin akan bertambah dekat dengan Allah, dan bertambah datang kepadanya ilham dari Allah, sehingga segala sepak terjang pimpinannya tidak lepas daripada tuntunan Allah dan Sunnah Rasul.
Demikianlah konsekuensinya kalau Islam yang hendak diperjuangkan.
Kalau tidak demikian, nama Islam dipakai, tetapi suruhan Allah tidak dikerjakan, maka yang menang hanyalah diri sendiri untuk kepentingan pribadi, dan Islam itu sendiri akan tetap ditindas oleh kezaliman manusia.
Dan orang-orang yang mendabik dada mengatakan memperjuangkan Islam itu hanya akan diambil oleh golongan tidak beragama buat penambal-nambal yang robek, untuk mengelabui mata umat Islam awam yang taat dan setia dalam agamanya.
Di dalam pemerintahan Islam, penguasa Islam dibolehkan memberikan kepercayaan kepada pemeluk agama lain untuk memegang satu jabatan, sebab pimpinan tertinggi adalah di tangan Islam.
Sebab itu tidaklah ada kekhawatiran.
Tetapi kalau timbul khawatir tidaklah boleh.
(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 703-730, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).
Sumber :Sangpencerah