Kartini, Tak Sekadar Kebaya dan Konde
Oleh:
Rizki Amelia Kurnia Dewi, S.I.Kom
Ibu Rumah Tangga, Owner RBB “Cerdas Media”
BULAN April selalu identik dengan Hari Kartini. Tepatnya tiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia memperingati hari kelahiran pahlawan yang dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita, yaitu RA Kartini. Seluruh elemen masyarakat, mulai dari anak TK sampai orang dewasa bersuka cita menyambut Hari Kartini ini dengan mengadakan berbagai lomba serta kegiatan sosial. Dari seluruh perayaan yang diselenggarakan, ada satu kesamaan yang menjadi ciri khas dari momen Kartini ini, yakni kebaya dan konde.
Ibarat sebuah tradisi, budaya ber-kebaya dan ber-konde selalu dilekatkan pada wanita Indonesia, termasuk sosok ibu kita Kartini. Tak sedikit masyarakat Indonesia, terutama kaum wanita, yang sangat bangga ketika mengenakan kebaya dan konde. Seolah mereka telah menjelma menjadi sosok yang anggun, bermartabat, serta menjunjung tinggi nasionalisme. Hingga salah satu tokoh di negeri ini pun menciptakan sebuah puisi yang begitu mengagungkan konde sebagai warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.
Pertanyaannya, mengapa Hari Kartini selalu diidentikkan dengan kebaya dan konde? Apakah perjuangan Kartini hanya sebatas perjuangan kebaya dan konde? Nyatanya tidak, kan? Perjuangan Kartini tentu lebih besar dari pada sekedar berbusana nasional. Perjuangan Kartini tentu lebih mulia dari pada sekedar melestarikan budaya nasional. Perjuangan Kartini adalah perjuangan menyelamatkan kaum wanita dari ketertinggalan dan ketertindasan. Mengangkat harkat dan martabat wanita dari direndahkan menjadi dimuliakan.
Kebaya dan konde hanyalah tampilan luar yang tak dapat menjamin keluhuran budi serta tingginya martabat seorang wanita. Nyatanya, banyak kita saksikan, wanita dengan dandanan kebaya dan konde tapi justru terjerat narkoba, korupsi, ataupun pergaulan bebas.Oleh karena itu, memperingati Hari Kartini hanya dengan lomba-lomba atau pun ajang peragaan busana sama saja mengerdilkan perjuangan besar RA Kartini.
Lalu, bagaimana seharusnya wujud teladan kita pada perjuangan Kartini? Tidak lain adalah dengan menjadikan diri kita sebagai wanita yang bermartabat serta bermanfaat bagi masyarakat. Wanita yang senantiasa menjaga kesopanan dalam berbusana, berucap, serta bertingkah laku. Cerdas dan mampu menempatkan diri sesuai peran dan tugas utamanya sebagai pendidik generasi.
Tidak sekadar berkebaya dan berkonde, tetapi lebih dari itu, ia mampu menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian yang diperintahkan oleh Sang Pencipta. Sebagaimana Kartini yang bertekad menjadi muslimah yang baik dengan memenuhi seruan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 257, “minadz-dzulumaati ilan nuur” (dari kegelapan menuju cahaya). Ayat inilah yang mendorong Kartini untuk merubah diri dari pemikiran yang salah kepada ajaran Allah.
Sumber : voa-islam.com