OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 16 April 2018

Penjelasan MUI Soal Partai Setan

Penjelasan MUI Soal Partai Setan

Elite politik diminta bijak dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat.

10Berita , JAKARTA -- Pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menuai pro dan kontra terkait adanya dua partai, yaitu partai Allah (hizb Allah) dan partai setan (hizb syaithan) yang ada dalam Alquran. Hal ini pun mendapat tanggapan dari Wakil Ketua Umum MUI Pusat Zainut Tauhid.

Zainut menjelaskan di dalam Alquran surat Al-Mujadilah ayat 19-22 itu menerangkan adanya dua golongan manusia, yaitu golongan setan (hizb as-syaithan) dan golongan Allah (hizb Allah). Menurut dia, golongan setan itu disebutkan sebagai golongan orang yang selalu berdusta, lupa mengingat Allah, dan suka menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya. Orang yang masuk dalam kategori itu disebut golongan orang yang merugi.

Sementara, golongan Allah itu disebut sebagai orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, yaitu orang-orang yang menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Allah. Orang yang masuk dalam kategori itu disebut golongan orang yang beruntung.

Dari penjelasan itu, Zainut menegaskan dalam konteks ayat di atas terlepas dari konteks politik seperti apa yang disampaikan Amien Rais. "Konteks ayat tersebut di atas lebih pada makna transendental, yaitu tentang akidah, keyakinan, atau keimanan kepada Allah SWT bukan dalam konteks politik," ujar Zainut dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/4).

Karena itu, menurut dia, tidak tepat jika ada pihak yang mengaitkan ayat tersebut di atas dengan konteks politik kepartaian di Indonesia. Namun, Zainut mengungkapkan dirinya tetap berprasangka baik terhadap Amien Rais.

"Saya berprasangka baik Pak Amien Rais tidak bermaksud mengaitkan ayat tersebut dengan kondisi partai-partai di Indonesia," ucapnya.

Atas munculnya kontroversi ini, Zainut pun mengimbau kepada semua elite politik bijak dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat, khususnya ketika mengutip ayat suci Alquran atau ajaran agama lainnya sehingga terhindar dari tuduhan melakukan politisasi agama atau eksploitasi agama untuk kepentingan politik.

"Lebih dari itu untuk menghindari timbulnya kesalahpahaman, konflik dan kegaduhan di masyarakat," katanya.

Sumber : Republika.co.id