OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 06 Mei 2018

Penetrasi Cina, Belajar dari Turkistan Yang Hilang Dari Muka Bumi

Penetrasi Cina, Belajar dari Turkistan Yang Hilang Dari Muka Bumi


10Berita – MASYARAKAT Indonesia disajikan akrobat proxy war antara asing dengan rakyat. Bahkan, pertentangan satire antara ECI (China) versus Pribumi. Namun, Pribumi menjadi musuh bersama dari kans neolib, kolonialis, Aseng, Asing dan Taipanisme.

Diksi propaganda dan agitasi itu telah menjadi metodologi perjuangan antar kelompok, ras bahkan agama. Masing-masing mereka merebut lahan kekuasaan politik sebagai sumber segalanya.

Di Indonesia sendiri, kurun waktu 30 tahun ini, diskursus China versus pribumi belum usai, bahkan bermetamorfosis pada pembentukan metodologi baru yang dinamakan penguasaan “Taipanisme”. Hingga sekarang belum ada kata damai. China dianggap lakukan offside terhadap kedaulatan bangsa Indonesia. Karena, mereka dicurigai membangun tatanan baru melalui konspirasi politik tingkat tinggi.

Kita bisa lihat, 4 tahun ini di Indonesia, agenda-agenda penyajian pertarungan propaganda melawan gagasan Belt and Road Initiatif terus berlanjut tentang win-win sustainaibility (solusi berlanjut) akan pengembangan dan masa depan China. Bahkan, ada yang meyakini kelompok pribumi akan melawan, seperti semangat melawan Belanda sejak 500 tahun yang lalu.

Menurut Allesandro Alduino (2018: 13) dalam bukunya “China’s Private Army: Protecting the New Silk Road” bahwa sejak peluncuran BRI pada tahun 2013, publik Tiongkok melakukan diplomasi ekonomi, politik dan keamanan. Hal itu dilakukan untuk memanfaatkan metafora Global Silk Connectivity pembangunan berkelanjutan bagi China untuk menguasai dan menyambungkan jalur perdagangan dunia.

Di Indonesia sendiri, China terus berusaha mengelola issue-issue politik dan menjamin keamanan warga negaranya agar terhindar dari kecemasan perilaku dan tindakan yang bersifat represif dari Pribumi. China lakukan pengelolaan issue-issue strategis: kekuasaan politik di Indonesia semata-mata untuk pertahankan upaya “kebangkitan China dan Kepastian Kawat Jalur Sutra”.

Lanjut, Allesandro Alduino (2018) yang diakui oleh para pengamat intelijent melalui testimoni dalam bukunya itu bahwa “upaya BRI China masuk wilayah Indonesia sudah mulai sejak 20 tahun lalu, setelah berakhirnya masa rezim Soeharto. Wilayah pertama dijadikan aneksasi konflik adalah Sipadan-Ligitan dan laut China Selatan. Melalui propaganda militer itulah, sambil mengintip wilayah Indonesia. Tetapi, cara masuk kejantung Indonesia melalui infrastruktur yang memang selama ini menjadi kebutuhan rakyat Indonesia”.

Eliet-elit partai politik sebagai pemegang kekuasaan di Indonesia, harus mampu mengelola issue ini secara baik agar tidak terjerembab pada konflik komunal. Karena sampai hari ini, cukup kuat bangsa ini dan bersyukur belum berhasil untuk membuat Indonesia masuk dalam konflik, seperti apa yang dilakukan China melalui konflik senjata di beberapa negara Islam di dunia.

Sala satu misal Turkistan. Banyak orang tak mengenal negeri Turkistan. Tetapi bagi masyarakat dunia takan akan kenal dengan salah satu negeri Islam yang kemasyhurannya hampir menyamai Andalusia, sangatlah naib. Bukankah nama-nama ilmuwan berasal dari sana? Al-Bukhari, Al-Biruni, Al-Farabi, Abu Ali Ibnu Sina, dan sejumlah tokoh ilmuwan intelektual lainnya yang sampai kini merupakan tokoh-tokoh paling tak terlupakan, berasal dari negeri tersebut.

Kita bangsa Indonesia harus belajar dari fakta sejarah Turkistan yang termaktub dalam buku berjudul “Turkistan: Kisah Hilangnya Negara Islam” yang ditulis oleh Najib Al-Kailany, seorang sastrawan terkenal dari Mesir. Bahwa eksplorasi Turkistan yang terletak di Asia Tengah dengan penduduk mayoritas keturunan Turki, merupakan salah satu benteng kebudayaan dan peradaban Islam. Pada abad ke-16 sampai abad ke-18, Negara Cina dan Rusia mulai gergaji kekuasaan Turkistan dan melakukan ekspansi teritorial militer.

China mulai bergerak menaklukkan Turkistan Timur dan kemudian merubah namanya menjadi Sinkiang, sementara Turkistan Barat telah lebih dahulu dicaplok Rusia. Dengan berbagai alasan politik, Soviet menghapuskan nama Turkistan dari peta dunia dan memancangkan nama Republik Soviet Uzbekistan, Republik Soviet Turkmenistan, Republik Soviet Tadzhikistan, Republik Soviet Kazakestan, dan Republik Soviet Kirgistan.

Atas aksi ekspansif militer dan infrastruktur China tersebut, Turkistan, kini benar-benar telah raib (musnah) dari peta dunia. Rusia dan Cina telah memecahnya menjadi negara-negara yang kini termasuk bagian dari Rusia dan Republik Rakyat Cina.

China melalui One Belt One Road dengan program invasi infrastruktur itu telah mengadakan konflik militer atas nama perlindungan terhadap infrastruktur secara total di Turkistan. Indonesia harus belajar dari hilangnya Turkistan.

Dahaga Infrastruktur dan Penetrasi China

Gayung bersambut, rakyat Indonesia dan elit politiknya masuk kategori “Dahaga Infrastruktur.” Bahkan, beberapa hari kemaren perwakilan pemerintahan China telah datang menemui Ketua DPR dan pejabat negara lainnya.

Konteks dahaga ini puluhan tahun Indonesia setelah merdeka terus memakai pendekatan infrastruktur sebagai model untuk menaikkan tingkat kesejahteraan dan menggurangi kemiskinan. Padahal, ada cara lain. Kalau invasi dan penetrasi China ini tidak terkontrol, maka Indonesia bisa lepas dan hilang dari muka bumi.

Dahaga infrastruktur itulah pertanda bahwa rakyat Indonesia masuk dalam kategori “haus kekuasaan, haus atas kemiskinan”. Padahal kalau jeli dan teliti membacanya itu bagian dari penguasaan terhadap kedaulatan bangsa ini.

Sekarang bisa diamati secara detail, China memasok perusahaan atau korporasi miliknya (BUMN China) yang menyebarkan di Indonesia untuk mengontrol kesenjangan atas munculnya persepsi yang berkaitan dengan ancaman keamanan warga negaranya. Cara kontrol mereka dilakukan melalui bentuk pemanfaatan kontraktor keamanan dan Master Of Understanding antara pengusaha. Kemudian, memasukkan tenaga kerja secara berkelompok.

Sebagian besar BUMN dan perusahaan swasta Cina yang membangun infrastruktur di sepanjang jalur BRI, termasuk Indonesia cenderung meremehkan risiko: misal tenaga kerja yang kurang pengalaman dan teknik penguasaan spesifikasi pekerjaan.

Allesandro Alduino (2018) mengatakan polarisasi ekonomi global, memunculkan perusahaan swasta China yang menawarkan layanan militer sebagai bagian dari model bisnis inti mereka. Tentara bayaran modern menjadi alat penggerak, menawarkan layanan investasi, penggerak infrastruktur dan mereka juga melakukan propaganda politik saat suksesi politik disuatu negara yang termasuk jalur BRI (Belt And Road Initiatif). Tentara-tentara yang menjelma sebagai sipil itu menggerakkan opini, agitasi, dan propaganda melalui media sosial, termasuk Facebook.

Pada setiap jalur BRI, BUMN China membutuhkan satu set layanan terintegrasi di mana personil bersenjata hanyalah satu komponen dengan investasi. Contoh kasus: setelah pembunuhan 17 warga sipil Irak di Nisour Square di Baghdad, tindakan PSC Blackwater Amerika (Tentara Bayaran), juga berlabel PMSC (sala satu pengaman perusahaan China), menghasilkan sebuah protes media terhadap pekerjaan kontraktor keamanan swasta China. Karena, propaganda senjata itulah membuat kejatuhan warga sipil. Lalu, segera memaksa CEO Blackwater Eric Prince meninggalkannya Bagdadh. Itu merupakan pelajaran seandainya, ada sesuatu yang terjadi di bangsa ini.

Karakter Suksesi Politik 2019

Seorang intelektual Peter Calven dalam bukunya berjudul “The Process Of Political Succession” Peter Calvert (Editor dkk), diterbitkan oleh Palgrave Macmillan, published in the United States of America in 1987, mengatakan suksesi politik di Republik Rakyat China dan negara-negara Jalur Belt And Road Initiatif (BRI) memaksa aturan yang mereka berlakukan melalui kerjasama bilateral.

Peter Calven (1987) mengungkapkan setidaknya tiga model suksesi politik dijalur Belt and Road Initiatif (BRI) yakni: 1). Model totaliter, yang menganggap pemimpin individu aturan pribadi dan mencakup semua sebagai sektor penting. Sekarang dianut oleh China. 2). Model konflik, bahwa kebijakan BRI harus menentukan struktur kekuasaan politik yang dibentuk berdasarkan kekuatan partai politik. 3). Model birokrasi, mereka akan pengaruhi kekuasaan politik untuk melayani kepentingan mereka dengan memberi penekanan pada pemimpin untuk menjalankan sistem kekuasaan sesuai keinginan mereka. Hal yang paling spesifik adalah menyiapkan Kartu Tanda Penduduk bagi warga negara China untuk kepentingan apapun, termasuk pemilihan (pemilu).

Namun, Robinson dalam tulisannya yang dimuat dalam buku “The Process Of Political Succession” (1987) bahwa cara suatu sistem diatur agar berjalan sesuai aturan dan norma yang berlaku dalam sistem politik. Robinson pun menyarankan China menggunakan pendekatan ini: 1). pendekatan lingkungan yang berfokus pada arah ekonomi Cina, populasi keseimbangan pangan, ancaman perbatasan, dan status negara-negara koloninya. 2). pendekatan kepribadian, terutama individu, faksi, dan gender harus dimanfaatkan. 3). pendekatan kemasyarakatan, yang mendalilkan masyarakat: lingkungan sosial, budaya, sejarah, dan struktur dan operasi institusi keluarga ekonomi sosial politik dalam menentukan pilihan politik.

Dari pendekatan di atas, sudah bisa kita prediksi semua itu terjadi di Indonesia. Menentukan pilihan politik, tentu sudah pada porsi yang telah ditentukan. Jadi konteks 2019, pendekatan itulah yang terjadi dan kehati-hatian memilih pemimpin. [rakyatmerdeka]

Rusdianto Samawa

Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)

Sumber : rmol, Eramuslim.com